Pengacara Nilai Richard Eliezer Tak Bisa Dipidana, Ini Argumennya

26 Januari 2023 13:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kuasa hukum terdakwa Richard Eliezer, Ronny Talapessy, di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kuasa hukum terdakwa Richard Eliezer, Ronny Talapessy, di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum Richard Eliezer, Ronny Talapessy, menyebut kliennya tidak bisa dipidana dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Sebab, Eliezer menembak Yosua atas perintah dan dalam kondisi tertekan. Dia dinilai hanya dijadikan alat oleh Ferdy Sambo untuk mengeksekusi Yosua.
ADVERTISEMENT
Hal itu merupakan salah satu poin dalam nota pembelaan kuasa hukum Eliezer yang dibacakan dalam sidang lanjutan pembunuhan Yosua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (25/1) malam.
Adapun atas perbuatan itu, Eliezer dituntut oleh jaksa 12 tahun penjara. Dia dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 55 KUHP adalah terkait dengan delik penyertaan.
Ronny menjelaskan, dalam delik penyertaan menyuruh melakukan (doenplegen) setidaknya ada dua orang yang terlibat yakni orang yang menyuruh melakukan disebut “manus domina”, sedangkan orang yang disuruh melakukan disebut “manus ministra”.
"Terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu merupakan pelaku yang disuruh melakukan tindak pidana (manus ministra) oleh terdakwa Ferdy Sambo (manus domina), sehingga terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu hanya merupakan 'alat' yang tidak memiliki kesalahan, oleh karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana," kata Ronny Talapessy.
ADVERTISEMENT
Ronny menjelaskan, yang dimaksud dengan 'alat' apabila seorang pelaku memperalat orang lain melakukan tindakan pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis membuat penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif.
Irjen Ferdy Sambo (tengah) bersama sejumlah ajudan. Foto: Dok. Istimewa
Dia menyebut, dengan menggunakan alat ini, membuat terwujudnya tindak pidana tetapi bukan disebabkan langsung oleh penyuruh, tetapi oleh orang yang disuruh. Sehingga, menurut dia, yang seharusnya dipidana adalah pihak yang menyuruh.
"Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah perbuatan penyuruh," kata Ronny.
"Bahwa perintah jabatan yang diberikan oleh Saksi Ferdy Sambo kepada Terdakwa merupakan perintah yang mengandung tekanan moral yang secara psikologis tidak mungkin untuk ditolak, diabaikan dan dihindari, sehingga menghapus elemen melawan hukum dan sekaligus kesalahan dari penerima perintah," ucap Ronny.
ADVERTISEMENT
Sehingga, lanjut Ronny, telah terbukti bahwa Eliezer merupakan pelaku yang disuruh melakukan tindak pidana oleh yang menyuruh dalam hal ini Sambo. Sehingga, Eliezer hanyalah merupakan alat yang tidak memiliki kesalahan, oleh karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Di samping itu, kata Ronny, Eliezer juga tidak memiliki niat jahat untuk menghilangkan nyawa temannya yakni Yosua, sehingga berlaku asas 'Tiada Pidana Tanpa Kesalahan' atau dikenal dengan istilah 'geen strafzonder schuld' atau 'nulla poena sine culpa'.
"Culpa yang dimaksud adalah dalam arti luas yang mencakup kesengajaan dan kelalaian," ungkapnya.
Adanya Daya Paksa
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, Richard Eliezer alias Bharada E, tiba untuk menjalani sidang dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (25/1/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Ronny mengatakan, dalam penembakan 3-4 kali oleh Eliezer kepada Yosua, kliennya itu dalam situasi keterpaksaan batin yang tidak dapat dilawan. Ronny mengutip keterangan ahli psikologi yang dihadirkan di persidangan yakni Liza Marelly Djaprie yang salah satunya menerangkan:
ADVERTISEMENT
Terdakwa punya rasa takut yang tinggi, kondisi tertekan jiwa batinnya sangat terganggu, bisa mengakibatkan terjadinya tindakan yang sebenarnya tidak baik; maka dia patuh dan tidak mempunyai free will dan locus of controlnya ada pada orang lain.
Berangkat dari situ, Ronny mengutip keterangan ahli pidana yakni Alphi Sahari yang menerangkan bahwa daya paksa yang bersifat relatif yaitu daya paksa yang timbul dari seseorang karena suatu keadaan yang dikatakan sebagai overmacht dilihat dari kondisi kejiwaan dan ahli berpendapat kondisi ini dapat dikualifikasi sebagai alasan pemaaf.
"Berdasarkan uraian di atas dikaitkan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan mengenai daya paksa, kami menyimpulkan bahwa ketika melakukan perbuatannya Terdakwa berada dalam pengaruh daya paksa sebagaimana dimaksud Pasal 48 KUHP sehingga perbuatan terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana," kata Ronny.
ADVERTISEMENT
Ronny juga mengutip kesaksian Eliezer di persidangan yang menerangkan tugasnya sebagai polisi. Bahwa dalam kesatuan dan level kepangkatannya sama sekali tidak pernah diajarkan untuk menganalisa atau mempertanyakan perintah dalam pelatihan-pelatihan yang diterimanya, namun hanya diajarkan untuk taat dan patuh menjalankan perintah.
Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo usai memenuhi panggilan pemeriksaan di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Mengacu pada Pasal 51 ayat (1) KUHP, lanjut Ronny, perintah yang diberikan oleh Saksi Ferdy Sambo yang memiliki otoritas baik secara de facto dan de jure, serta memiliki pengendalian yang efektif terhadap Eliezer yang merupakan personel kepolisian berlatar belakang brimob adalah Perintah Jabatan.
"Untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang yaitu melakukan penembakan yang menimbulkan akibat berupa hilangnya nyawa dari Korban Yosua, sehingga elemen melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Eliezer menjadi hapus," kata Ronny.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian, pemberi perintah jabatan tersebut, yaitu Saksi Ferdy Sambo tetap dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan Terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu selaku penerima perintah jabatan tersebut patut untuk dilepaskan dari pertanggungjawaban pidana," sambungnya.
Atas dasar dan analisis yuridis tersebut, Ronny meminta Eliezer divonis bebas oleh hakim. Adapun dalam sidang tuntutan pekan lalu, jaksa menuntut Eliezer 12 tahun penjara karena terbukti turut serta dalam pembunuhan berencana Yosua.
"Menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan," kata Ronny.
"Memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan segera putusan ini diucapkan. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya," pungkasnya.