Pengacara Novel Nilai Jaksa Agung Perlu Deponering Kasus Burung Walet

11 November 2019 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hadiri acara Inspiring Talks Dedikasi untuk Negeri di Jakarta, Sabtu (9/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hadiri acara Inspiring Talks Dedikasi untuk Negeri di Jakarta, Sabtu (9/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet tahun 2004 yang dituding dilakukan oleh Novel Baswedan kembali mencuat. Lantaran, terpidana kasus korupsi OC Kaligis menggugat Jaksa Agung melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membuka kembali kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut diduga terjadi saat Novel masih menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu. Namun, kasus ini malahan baru muncul pada 2012 saat Novel tengah menangani kasus korupsi proyek simulator SIM.
Novel Baswedan Foto: D Lidya Natalia
Saat itu, ada dugaan keras penetapan tersangka kepada Novel berkaitan dengan kasus yang sedang diurusnya. Perkara yang ditanganinya saat itu menjerat Kakorlantas Polri saat itu Irjen Djoko Susilo.
Terkait kasus burung walet itu, kuasa hukum Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa, menilai bahwa kasus itu penuh dengan rekayasa. Terlebih hal itu diperkuat dengan temuan investigasi oleh Ombudsman pada 2015 silam.
"Sebagai informasi kasus Novel di Bengkulu penuh dengan dugaan rekayasa dan hal tersebut sudah dibuktikan oleh Ombudsman," kata Al Ghifari saat dihubungi, Senin (11/11).
Alghiffari Aqsa, kuasa hukum Novel Baswedan. Foto: Muhammad Faiz/kumparan
Dalam investigasi Ombudsman yang dikeluarkan pada 17 Desember 2015 setebal 90 halaman itu, termaktub sejumlah permasalahan. Seperti adanya pelanggaran prosedur pelaporan hingga penggeledahan yang tak berizin pengadilan.
ADVERTISEMENT
Kasus pun sempat terus bergulir hingga pelimpahan berkas oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu. Namun hingga akhirnya Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
SKPP itu diterbitkan pada 22 Februari 2017. Salah satu alasan diterbitkannya SKPP itu adalah karena kurangnya bukti dalam kasus yang jerat Novel.
Namun, SKPP itu kemudian digugat secara praperadilan ke PN Bengkulu. Hasilnya, pengadilan mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa SKPP itu tidak sah dan tak punya kekuatan hukum mengikat. Artinya, kasus itu kini masih berlanjut.
Hakim praperadilan bahkan menyatakan Kejaksaan Negeri Bengkulu untuk menyerahkan berkas perkara Novel Baswedan ke Pengadilan dan melanjutkan proses penuntutan. Putusan ini yang jadi dasar OC Kaligis menggugat Jaksa Agung melalui PN Jaksel.
ADVERTISEMENT
Terkait itu, Alghiffari menilai dalam menanggapi gugatan ini, seharunya Kejaksaan bisa bersikap konsisten dengan sikapnya saat menerbitkan SKPP. Sehingga, bisa membantah gugatan yang diajukan oleh OC Kaligis.
"Kejaksaan sudah seharusnya konsisten dengan sikapnya ketika menerbitkan SKPP dan membantah gugatan tersebut. Terlebih OC Kaligis tidak jelas standing dan motifnya menggugat," kata dia.
Sementara, apabila kasusnya nanti berlanjut, Alghiffari menilai Jaksa Agung perlu untuk mengeluarkan deponering guna menghentikan kasus Novel. --Deponering merupakan hak istimewa Jaksa Agung untuk menghentikan perkara.
"Kalau berlanjut seharusnya Kejaksaan Agung keluarkan Deponering. Kasusnya banyak rekayasa kesaksian dan bukti. Banyak maladministrasi juga menurut Ombudsman," tegasnya.
Ia juga mengomentari pelaporan oleh OC Kaligis. Menurut dia, gugatan perdata dari OC Kaligis menambah kejanggalan dalam penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Terlebih waktunya berdekatan dengan laporan Dewi Tanjung yang menuding Novel merekayasa soal penyiraman air keras.
ADVERTISEMENT
"Gugatan perdata diduga kuat bagian strategi besar untuk serang Novel dan buat kasusnya mengambang," pungkasnya.