Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Pentingnya Sumber Valid untuk Memastikan Produk Terafiliasi Israel atau Tidak
2 Desember 2023 15:22 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Desember 2023 10:23 WIB

Banyak produk yang sudah sangat dekat di hati para ibu tak luput dari sasaran boikot masyarakat. Sebut saja produk kecantikan, susu, popok bayi, atau produk kebutuhan dapur yang sudah sejak lama dekat dengan keseharian ibu-ibu, seperti Royco atau Bango yang diproduksi Unilever –salah satu Perusahaan yang ramai jadi perbincangan.
Ibu-ibu yang resah karena aksi boikot ini jadi mempertanyakan; Apakah produk-produk tersebut betul-betul terafiliasi dengan Israel atau tidak? Lantas produk apa yang cocok sebagai penggantinya? Apakah jika menggunakan produk pengganti, kualitasnya dan keunggulannya akan tetap sama?
Sejauh ini, pemerintah Indonesia maupun lembaga yang berwenang tak pernah mengeluarkan daftar produk yang terafiliasi dengan Israel.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa No 83 tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina, yang berisi larangan membeli produk pendukung Israel, sebagai wujud penegasan pelarangan soal aktivitas mendukung agresi Israel di Palestina atau pihak yang mendukung Israel secara langsung maupun tidak langsung, namun tidak dalam penyebutan daftar produk.
MUI membantah keras pernah merilis daftar produk yang dilarang atau bahkan diharamkan, seperti yang beredar di beberapa media dan platform online.
"Produknya itu tetap halal selama masih memenuhi kriteria kehalalan. Yang jelas, MUI sama sekali tidak pernah merilis daftar produk itu," tegas Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda.
Lantas bagaimana cara menelusuri dan memastikan produk tersebut terafiliasi Israel atau tidak?
Akademisi Indonesia, Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A. (Hons), Ph.D, membahas terkait polemik boikot tersebut. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Monash ini mengatakan, aksi boikot ini tak semudah yang dibayangkan. Sebab, banyak hal yang harus diperhatikan, termasuk sumber yang menyatakan produk itu terafiliasi Israel atau tidak?
Dalam unggahannya di akun Instagram @nadirsyahhosen_official, ia menyebutkan, saat ini ada sejumlah situs yang dijadikan acuan oleh masyarakat untuk mencari list produk yang terafiliasi dengan Israel. Namun ketika dibandingkan antara situs yang satu dengan yang lain, bisa jadi hasilnya berbeda.
“Nah, mana yang benar jadinya? Rumit bin ribet kan?,” imbuh pria yang mendapat gelar PhD dalam bidang hukum Islam di National University of Singapore ini.
Dr. Nadirsyah pun angkat bicara terkait peluang pengusaha lokal dan UMKM Indonesia untuk masuk mengisi pasar akibat boikot. Namun ia mempertanyakan terkait kapasitas UMKM untuk masuk ke pasar tersebut saat ini.
"Bisnis itu kan enggak semudah membalikkan telapak tangan. Apa UMKM bisa menampung pegawai yang misalnya terkena PHK akibat boikot?" terangnya.
Perlunya Sumber yang Valid dan Jelas
Oleh karena itu, Dr. Nadirsyah mengatakan, masyarakat perlu bersikap kritis, bukan hanya sekadar mendukung dengan emosi. Perlu adanya data dan proses verifikasi yang jelas dan terukur tentang produk yang dianggap mendukung Israel.
"Agar tidak jadi bola liar dan tak satu pun yang nanti mau bertanggung jawab terhadap dampak ekonominya, semisal banyak yang kehilangan pekerjaan," pungkas dia.
Sikap kritis ini juga harus dilakukan untuk mencegah agar ajakan boikot ini tidak dimanfaatkan oknum untuk kepentingan memenangkan persaingan secara tidak sehat. Oleh karena itu, pemerintah harus hadir menjelaskan produk mana yang diboikot dan mengapa.
Terkait polemik ini, Wakil Presiden Ma'ruf Amin telah meminta adanya proses seleksi dan pengumuman soal produk yang diharamkan untuk dibeli.
Sebab, dalam fatwa MUI tak disebutkan secara rinci perusahan mana saja yang produknya haram dibeli. Ma'ruf khawatir jangan sampai fatwa itu nantinya malah merembet dan merugikan pihak yang justru membela Palestina.
"Nanti harus pemerintah atau pihak-pihak yang tertentu yang itu harus juga menyeleksi ya, sebab MUI kan tidak mengatakan perusahaan ini, perusahaan ini," ucap dia di Kampus Uninus, Kota Bandung, pada Kamis (16/11).
"Nanti perusahaan-perusahaan apa saja yang memang itu dianggap berafiliasi dan memberikan bantuan, sebab nanti ke mana-mana ini supaya jangan, nanti jangan merugikan banyak pihak ya," imbuh Ma'ruf.
Masyarakat pun diminta untuk tak terpancing dengan sumber-sumber yang tak valid sehingga memunculkan hoaks dan kebingungan soal daftar produk terafiliasi Israel.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga melihat adanya kesalahan informasi yang beredar di masyarakat mengenai identitas perusahaan yang disinyalir mendukung agresi Israel.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani memastikan, perusahaan-perusahaan itu tidak berafiliasi dan mendukung perlakuan Israel tersebut.
“Jadi kebetulan mungkin miss information. Kenyataan yang kami lihat sebagian besar itu produk-produk buatan Indonesia, jadi ini merugikan kita sendiri. Dia (produk-produk tersebut) bukan produk-produk Israel, dia produk buatan Indonesia,” terang Shinta di Jakarta, Selasa (28/11).
Namun, jika ditemukan adanya afiliasi atau perlakuan dukungan dari perusahaan tertentu terhadap Israel, maka Apindo akan turut mendukung boikot produk dari perusahaan tersebut.
Apindo juga akan segera merilis daftar identitas perusahaan yang masuk ke dalam deretan aksi boikot pro Israel. Usai daftar identitas perusahaan tersebut dirilis, masyarakat sebagai konsumen nantinya bisa melihat apakah perusahaan-perusahaan tersebut berafiliasi dengan Israel atau tidak.
Shinta mencontohkan salah satu perusahaan yang selama ini menjadi korban salah sasaran dari aksi boikot adalah PT Unilever Indonesia Tbk. Shinta memastikan Unilever Indonesia yang menyerap tenaga kerja dalam negeri dan melibatkan banyak pelaku usaha lokal dalam rantai pasok produksi mereka tidak berafiliasi dengan Israel.
Shinta juga memandang, apabila aksi boikot terus dilakukan, maka akan menyebabkan multiplier effect di sektor ini.
“Bayangin aja kalau itu kena pada produk-produk buatan Indonesia sendiri, kena ke pekerja-pekerja Indonesia, petani-petani Indonesia, walah itu kan dampaknya jauh,” tutup Shinta.
(LAN)