Penundaan Bab Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja Hanya Memecah Gerakan

2 Mei 2020 13:51 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi buruh saat peringatan May Day di Jateng. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aksi buruh saat peringatan May Day di Jateng. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
Beberapa hari setelah buruh mengancam akan turun aksi ke jalan, tiga orang presiden konfederasi serikat pekerja mendapat undangan dari protokoler Istana pada Selasa (21/4). Mereka adalah Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nuwa Wea, dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
“KSPI, KSPSI, dan KSBSI itu diundang Pak Jokowi karena tiga konfederasi ini yang mengancam turun ke jalan tanggal 30 April,” ucap Elly saat dihubungi kumparan pada Hari Buruh kemarin, Jumat (1/5).
Ketiganya diminta datang ke Istana hari Rabu setelah sebelumnya menjalani rapid test terlebih dahulu. Hari itu Jokowi hanya didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk menemui tiga orang perwakilan buruh. Pertemuan berlangsung tertutup.
Tiga konfederasi tersebut merupakan gabungan federasi pekerja terbesar dari total 3,3 juta buruh yang terdata berserikat. KSBSI memiliki 230 ribu anggota dari 8 federasi, KSPSI menaungi 800 ribu anggota dari 16 federasi, dan KSPI memiliki 1,7 juta anggota dari 9 federasi.
“Yang kita minta ada 3 opsi, yaitu: satu, menghentikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja di tengah pandemi; dua, menarik kembali draf itu lalu melibatkan tripartit (buruh-pengusaha-pemerintah) dari awal; dan tiga, mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dan dibuat undang-undang sendiri jika perlu,” papar Elly kemudian.
Meski begitu, menurut Elly, aturan ketenagakerjaan yang berlaku sekarang sudah cukup baik dalam melindungi buruh dari pemecatan sepihak atau persoalan lainnya. “Kemarahan kita adalah kenapa saat berbagai negara memerangi COVID-19, tapi negara kita sibuk membicarakan omnibus law RUU Cipta Kerja, ini ngomongin investor.”
Pembahasan RUU Cipta Kerja di massa pandemi. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Dua hari kemudian Jokowi menyatakan bahwa pemerintah telah meminta DPR untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta—satu dari 11 klaster yang ada pada aturan kontroversial itu. Ia tidak menunda keseluruhan, menarik draf, ataupun mencabut bab ketenagakerjaan dari RUU Cipta, melainkan hanya ditunda.
“Bahwa klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini pembahasannya ditunda sesuai dengan keinginan pemerintah,” ucap Jokowi dalam siaran persnya, Jumat (24/4).
Sepuluh hari sebelum permintaan menunda pembahasan bab tenaga kerja dari Jokowi, Baleg DPR telah berencana untuk membahas klaster tersebut di paling akhir.
“Selain klaster ketenagakerjaan, akan dibahas sesuai urutan per bab. Soal ketenagakerjaan kan yang paling banyak penolakan dari kalangan buruh dan serikat pekerja,” ucap Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas usai rapat kerja perdana bersama pihak pemerintah.
Bila alasannya agar memiliki lebih banyak waktu untuk mendalami substansi dan mendengar masukan dari pihak-pihak berkepentingan, mengapa 10 klaster lainnya juga tak ditunda?
“Kami menilai penundaan klaster ketenagakerjaan merupakan upaya pemerintah dan DPR memecah belah perjuangan rakyat yang selama ini menolak omnibus law,” kata Juru Bicara Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) sekaligus Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah dalam rilis pernyataan sikap Gebrak di Hari Buruh.
Gebrak merupakan aliansi berbagai serikat pekerja, petani, dan masyarakat sipil yang sedari awal menolak secara keseluruhan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Ilhamsyah menegaskan bahwa persoalan RUU Cipta Kerja bukan cuma soal tenaga kerja. “Sebelas kluster di dalamnya merupakan senjata yang mematikan bagi buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, pelaut, pers, bahkan tenaga pendidik, dan mahasiswa, apalagi mereka yang rentan karena identitas gender, agama dan ras. Semua gerakan rakyat telah menolak sejak awal. Ini adalah masalah bagi 99 persen warga negara Indonesia, bukan hanya kelas pekerja.”
Penundaan bab ketenagakerjaan, bagi Ilhamsyah, hanya ilusi yang diciptakan oleh pemerintah. “Ilusi yang dibuat oleh pemerintah ini untuk menyenangkan beberapa pimpinan serikat buruh yang bertemu di Istana, sehingga mereka bisa mengatakan bahwa perjuangan ini berhasil.”
Menurutnya, semua serikat buruh harus menyadari bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja terus berlanjut dan pembahasan klaster ketenagakerjaan hanya ditempatkan di urutan terakhir. “Apa yang dilakukan Jokowi dan Puan Maharni itu semua hanya politik pencitraan,” papar Ilhamsyah sebelumnya dalam diskusi Atasi Virus Cabut Omnibus pada 28 April.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia Nining Elitos. “Tidak ada yang istimewa apa yang disampaikan presiden. Penundaan bukan berarti tidak akan ada pembahasan, ini cara untuk memecah gerakan,” ucapnya pada kumparan sehari sebelum aksi digital MayDay digelar (30/4).
“Kami teruskan mendengarkan pendapat pakar terlebih dulu. Pembahasan substansi dilakukan setelah mendengarkan pendapat pakar,” ucap Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas terkait berlanjutnya pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Massa yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta (6/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Lucius Karus, niatan pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan sebagai taktik semata. “Saya kira benar dugaan bahwa RUU Cipta Kerja ini digenjot sedemikian rupa bukan karena kebutuhan masyarakat, tapi justru karena kebutuhan pengusaha yang ada di balik partai politik atau di balik anggota DPR.”
Berdasarkan catatan Yayasan Auriga Nusantara—lembaga nirlaba yang fokus terhadap isu sumber daya alam—dan Tempo, ada 262 orang dari 575 anggota DPR (sekitar 45,5 persen) terafiliasi pada 1.016 perusahaan. Bahkan empat dari lima pimpinan DPR periode 2019-2024 diketahui memiliki atau terafiliasi dengan perusahaan. Selain itu, Walhi juga mencatat bahwa 34,21 persen menteri adalah pebisnis.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria menilai, bias yang dilakukan pemerintah bukan cuma soal penundaan klaster ketenagakerjaan, tapi bahkan sejak dari judul rancangan aturan.
“Dari judul saja sudah bias, seolah RUU Cipta Kerja ini hanya soal perburuhan. Padahal substansi RUU Cipta Kerja berbicara juga soal pertanian, perkebunan, kehutanan, pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, pertambangan,” ucap Dewi saat dihubungi kumparan.
Ia melihat pemerintah tengah memainkan narasi soal lapangan kerja. “Seolah-olah semua orang manusia Indonesia itu harus menjadi buruh, menjadi kuli, bukan menjadi aktor pembangunan itu sendiri.”
RUU Cipta Kerja akan mengubah 79 aturan dan terdiri dari 11 klaster yakni Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi.
Aturan tersebut dikhawatirkan akan merombak tatanan tenaga kerja dan sumber daya alam semata sebagai komoditas dihadapan para pemilik pemilik modal atau investor.
Infografis Menolak Omnibus Cipta Kerja Foto: kumparan
Ahli hukum lingkungan Universitas Indonesia Andri Wibisana menyatakan bahwa lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapuskannya izin administratif dan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup.
“Pasal 23 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan elementer terkait sanksi administratif dan pidana. Alhasil, RUU ini bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan, tetapi juga mempersulit penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup,” kata dia.
Selain itu, imbuhnya, “Dalam Pasal 23 tersebut juga secara serius akan membatasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup.”
Tak cuma judul dan isi peraturan yang diduga bermasalah, sedari awal proses perancangan RUU Cipta Kerja pun menuai kontroversi yang tak sedikit.
“Selama proses perancangan, pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat, bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh pemerintah dan diserahkan kepada DPR. Hal ini tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” papar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti.
Ditambah dengan pembahasan yang minim pelibatan dan pengawasan dari publik, rancangan aturan ini berpotensi cacat hukum jika terus dilanjutkan. Oleh karena itu, menurutnya, tak cuma satu klaster ketenagakerjaan saja yang mestinya ditunda, melainkan seluruhnya.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.