Perbaikan Parpol Dinilai Jadi Kunci Hasilkan Pejabat Berintegritas

10 September 2021 18:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti ICW Divisi Korupsi Politik, Almas Syafrina. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti ICW Divisi Korupsi Politik, Almas Syafrina. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi masih menjadi momok bagi masyarakat Indonesia. Para pejabat yang tidak berintegritas dan amanah, kerap terjerumus dalam lubang perilaku lancung ini.
ADVERTISEMENT
Teranyar, KPK mengamankan pelaku tindak rasuah dari unsur pejabat daerah. Nama Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya yang anggota DPR RI dari Fraksi NasDem Hasan Aminuddin mencuat. Mereka ditetapkan sebagai tersangka KPK gara-gara jual beli jabatan pejabat kepala desa.
Jauh sebelum Puput dan suami, banyak juga pejabat yang dijerat tersangka oleh KPK. Mulai dari kepala daerah, anggota DPR, hingga pejabat sekelas menteri.
Peneliti ICW Almas Sjafrina membahas secara khusus mengenai korupsi di daerah. Dia menyampaikan solusi agar hal tersebut tak terulang. Salah satunya berangkat dari calon yang diusung partai politik, haruslah berintegritas dan berkualitas.
"Tidak hanya membenahi sistem dan menguatkan penindakan tapi juga menjawab akar persoalannya yaitu mereform partai politik kita agar lebih bersih," ujar Almas dalam diskusi virtual bertajuk Mencegah Korupsi dan Memperkuat Pengawasan di Pemerintah Daerah, yang digelar Visi Integritas, Jumat (10/9)."
ADVERTISEMENT
"Sehingga nanti mencalonkan kepala daerah lebih berdasarkan kualitas, berdasarkan kompetensi, bukan hal yang lain yang merugikan publik dan juga menjadikan birokrasi kita birokrasi yang bersih dari problem korupsi," sambungnya.
Perubahan dalam tubuh partai, kata Almas, dapat dimulai dari memilih kandidat calon kepala daerah yang benar-benar berkualitas. Ketimbang menjatuhkan pilihan pada kandidat yang siap secara modal namun belum mumpuni untuk menduduki jabatan publik.
Almas menyarankan agar partai menjatuhkan pilihan mereka kepada calon kandidat yang jelas siap baik secara program maupun kapasitas.
Masalah pemilihan kandidat ini juga tak terlepas dari tingginya ongkos politik yang harus mereka tebus untuk dapat dicalonkan oleh partainya. Kondisi itu pula, menurut Almas, nantinya memaksa para calon terpilih ini mencari berbagai cara untuk menutupi tingginya mahar politik yang telah ia keluarkan, salah satunya melalui korupsi.
ADVERTISEMENT
"Karena kita dihadapkan pada persoalan di mana ada masalah dalam proses kandidasi di partai politik. Tidak asing lagi istilah mahar politik atau kandidasi buying dalam konteks kontestasi pencalonan Pemilu tidak hanya pilkada sebetulnya," ucap Almas.
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Tingginya mahar politik dari tiap calon itulah yang menurut Almas tak lain disebabkan dari jamaknya penggunaan cara-cara instan yang ditempuh oleh para bakal calon ini sebelum waktu pemilihan berlangsung.
Cara instan tersebut dinilai masih banyak diminati oleh para bakal calon pejabat publik, tidak hanya di daerah tetapi juga di pusat. Parpol jadi tidak memutar roda kaderisasinya untuk mendapatkan calon berkualitas.
"Kalau dihitung ya bagaimana cost politik tidak menjadi tinggi gitu ya kalau kemudian yang dipakai adalah cara-cara instan bukan kemudian me-maintain konstituen, turun ke konstituen dan lain-lain," beber dia.
ADVERTISEMENT
Karenanya, jika parpol memang serius untuk menekan munculnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para kadernya akibat tingginya ongkos politik, mereka harus siap merombak total cara mereka dalam berpolitik.
Turun ke lapangan, dengar kemauan masyarakat, rintis karier politik dari tingkat terendah, bangun kepercayaan masyarakat dengan prestasi menurut Almas dapat jadi sedikit cara yang diambil oleh parpol dalam menyiapkan kader terbaik mereka.
Hal tersebut menjadi solusi dari mahar politik yang berujung cara instan pada proses kampanye.
"Pantauan ICW memang ada irisan yang sangat dekat antara korupsi dengan pemilu, di mana kebutuhan kampanye dan kebutuhan untuk memenangkan pemilu secara curang itu tinggi. Sedangkan pendapatan atau sumbangan dana kampanye dari sumber-sumber yang legal dan sumber-sumber yang tidak mengikat itu tidak banyak," kata Almas.
ADVERTISEMENT
"Ini kemudian yang membuat Kepala Daerah berada pada sistem ya gimana kalau kemudian enggak korupsi ya, walaupun persoalannya juga kalau kita mau tarik lebih ke belakang ya seharusnya mereka membangun citra dulu, bekerja banyak untuk publik dulu, baru kemudian masuk ke Pemilu. Sehingga tidak butuh cara-cara ilegal dan pengeluaran-pengeluaran yang berbiaya tinggi untuk memenangkan hati publik untuk memilih mereka," pungkas dia.