Perludem: Ada Tren Narasi Populisme Jadi Alasan Perpanjang Jabatan Pemerintahan

17 Maret 2022 21:33 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengungkapkan tren global terkait penundaan pemilu. Menurutnya, penundaan pemilu karena alasan darurat biasanya hanya hitungan bulan. Sementara jika ditunda hingga bertahun-tahun, ia menilai ada maksud pihak tertentu melanggengkan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diungkap Titi menanggapi PKB, PAN, hingga Menko Marves Luhut Pandjaitan yang mendorong penundaan Pemilu 2024 karena alasan pandemi dan ekonomi.
"Kalau penundaan bulan memang karena alasan kemanusiaan termasuk bencana alam, COVID-19, pandemi. Tapi itungannya bulan, tidak ada penundaan karena alasan darurat sampai tahunan kecuali perang. Kebanyakan penundaan pemilu memang dimaksudkan perpanjang masa jabatan. Ini tren globalnya," kata Titi dalam diskusi Meninjau Pandangan Publik dan Analisis Big Data soal Penundaan Pemilu di Jakarta, Kamis (17/3).
Lebih lanjut, Titi menerangkan memang ada tren di Afrika dan Amerika Latin terkait populisme terhadap presiden. Populisme ini kemudian dijadikan alat untuk memperpanjang masa jabatan pihak berkepentingan di pemerintahan.
"Dianggap mampu memimpin, tangani ekonomi, narasi-narasi yang berbasis politisme popularitas pemimpin. Ada upaya mengubah pembatasan masa jabatan. Dan kalau menurut studi, tren global mengenal ada 5 cara. Satu amandemen, kedua buat konstitusi baru, ketiga cari legitimasi melalui peradilan," terangnya.
ADVERTISEMENT
"Keempat biarkan orang dekat jadi presiden tapi yang pegang kendali tetap orang yang lama, terakhir penundaan pemilu. Ini terjadi di Angola, Pantai Gading, Kongo, dan Sudan," tambah dia.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Titi kemudian mengungkapkan analisanya mengapa di Indonesia wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode kini beralih ke penundaan Pemilu 2024. Menurutnya, ini karena penundaan Pemilu lebih melibatkan keuntungan banyak pihak dan terkesan atas kemauan rakyat.
Titi mengatakan, perpanjangan masa jabatan Jokowi menjadi 3 periode butuh amandemen, tapi harus juga kerja keras ikut pemilu. Impresinya pun mengejar kekuasaan karena 2 periode tidak cukup, dan manfaatnya hanya untuk Presiden.
"Kalau tunda pemilu tetap amandemen tapi tidak kerja keras pemilu. Impresinya mengedepankan kepentingan dan kehendak rakyat dan stabilitas ekonomi, dan artikulasi kehendak rakyat didukung konsensus politik. Jadi ada tindakan pasif di sana. Jadi [dianggap] yang mau yang di luar. Disebut 110 juta big data," paparnya.
ADVERTISEMENT
"Nah daya jangkau insetifnya juga luas, juga untuk DPR, DPD, DPRD. Jadi ada perluasan ajakan mendukung karena ada insentif tambahan pada posisi politik lain," lanjut dia.
Baik penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden, Titi menegaskan keduanya harus ditentang. Penundaan pemilu melemahkan demokrasi, dan wacana yang beredar saat ini menurutnya lebih terkesan ingin menggagalkan pemilu.
"Penundaan pemilu lebih tepat disebut penggalan pemilu. Nah narasi atau siasat tunda pemilu adalah serangan terbuka pelemahan demokrasi karena disampaikan pihak-pihak yang punya otoritas dan kekuatan massa. Dia membenturkan kedaulatan rakyat dengan ekonomi," ucapnya.
"Kedua, hak rakyat dianggap tidak sepadan untuk difasilitasi oleh anggaran negara dalam situasi pandemi dan kontradiktif dengan argumen Pilkada 2020. Pemilu dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik," tegas dia.
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Ia melanjutkan, pemilu tidak kompatibel dengan kemajuan ekonomi dan stabilitas politik pun kontradiktif dengan Pemilu 1999 yang dipercepat sebagai upaya menjaga stabilitas politik. Pemilu membebani negara. Apalagi, suara rakyat dikerdilkan oleh "suara netizen" yang tidak transparan dan akuntabel seperti klaim Luhut soal big data.
ADVERTISEMENT
"Teknologi digital digunakan untuk membenarkan opini pejabat publik, namun kemajuan teknologi tidak digunakan dalam mendorong partisipasi yang lebih bermakna dalam pembuatan kebijakan seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU MK. Jadi terlihat ambiguitas," terangnya.
Jika penundaan pemilu berhasil, Titi menilai kotak pandora pemberangusan suara rakyat akan terbuka lebar. Akan muncul pula polarisasi disintegratif dan konflik horizontal menguat yang berdampak pada ketidakpuasan, kegaduhan, kekacauan, dan instabilitas dalam berbagai sektor.
"Pola pikir yang menganggap pemilu sebagai beban dan penghambat efektivitas bernegara akan terinternalisasi melembaga. Akan diikuti sikap politik baru: Pilpres tidak langsung, Pilkada tidak langsung, perpanjangan masa jabatan dan periodesasinya. Pemilu berkala (periodik) tidak dipraktikkan sebagai indikator pemilu demokratis, memicu ketidakpastian politik dan hukum yang akhirnya akan berdampak pada ketidakpastian ekonomi," pungkas dia.
ADVERTISEMENT