Permenkes PSBB Dinilai Justru Memperpanjang Birokrasi

6 April 2020 11:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga mengenakan masker saat menunggu ojek daring di jalan MH Thamrin, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengenakan masker saat menunggu ojek daring di jalan MH Thamrin, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri Kesehatan terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah terbit. Namun Permenkes itu dinilai malah menambah birokrasi dalam mengambil aksi untuk menangani virus corona.
ADVERTISEMENT
"Alih-alih mempercepat, justru peraturan tersebut malah menambah rentang birokrasi dan cenderung keluar dari mandat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Wilayah sehingga berpotensi semakin lambatnya penanganan COVID 19 oleh Pemerintah," kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, kepada wartawan, Senin (6/4).
Birokrasi yang dimaksud terkait tata cara penetapan status PSBB yang termuat dalam Pasal 4 Permenkes. Pada pasal itu, disebutkan bahwa daerah yang ingin mengajukan PSBB harus menyertakan sejumlah data, yakni peningkatan jumlah kasus menurut waktu; penyebaran kasus menurut waktu; dan kejadian transmisi lokal.
Data itu pun harus disertai kurva epidemiologi dan peta penyebaran menurut waktu, serta hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.
ADVERTISEMENT
Hal itu dinilai justru menambah birokrasi. Sebab, Pemerintah Pusat seharusnya sudah memegang data-data tersebut.
"Padahal, Pemerintah Pusat sudah melakukan penghimpunan dan pengolahan data-data tersebut pada setiap wilayah di Indonesia berdasarkan laporan setiap laboratorium tes COVID-19 yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Bahkan setiap hari Pemerintah mengumumkan data tersebut ke publik melalui juru bicaranya," ungkap Fajri.
Menurut Fajri, hal itu menunjukkan bahwa Kementerian Kesehatan seharusnya memiliki data mengenai daerah mana saja yang sudah mendesak untuk ditetapkan PSBB. Menunggu Pemerintah Daerah untuk mengajukan permohonan PSBB dinilai justru memperpanjang birokrasi.
Birokrasi semakin panjang ketika permohonan Pemda harus dikaji oleh Tim Khusus Kemenkes terlebih dulu. Meski, kerja tim tersebut dibatasi maksimal satu hari.
ADVERTISEMENT
"Tim Penetapan beranggotakan 48 orang lintas instansi, sehingga menjadi tantangan berikutnya untuk menentukan teknis pelaksanaan koordinasi sampai pengambilan keputusan apakah permohonan yang diajukan oleh pemerintah daerah akan direkomendasikan diterima atau tidak," ungkap Fajri.
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Penentu permohonan PSBB dari Pemda ialah Menteri Kesehatan yang sekarang dijabat Terawan Agus Putranto. Namun, sesuai dengan ketentuan dalam Permenkes, penetapan Menkes perlu atas pertimbangan Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 yang saat ini dijabat Kepala BNPB, Doni Monardo.
Hal itu pun dipandang sebagai perpanjangan birokrasi. Sebab Menkes sebenarnya sudah dalam bagian struktur keanggotaan Gugus Tugas Penanganan COVID-19.
"Apabila Gugus Tugas ingin mendapat peran maksimal, maka sebaiknya Gugus Tugas dijadikan sebagai forum pengambilan keputusan, karena pihak-pihak strategis sudah berkumpul disana. Bahkan akan lebih efektif apabila Menteri Kesehatan yang menjadi Ketua Gugus Tugas, karena saat ini yang terjadi adalah kondisi kedaruratan kesehatan, bukan kedaruratan bencana," papar Fajri.
Infografik Karantina Wilayah vs PSBB, Lebih Baik Mana? Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
PSHK pun mendorong Menkes merevisi Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 dengan memangkas birokrasi dalam penetapan PSBB. Penetapan PSBB didorong lebih sederhana.
ADVERTISEMENT
"Dengan menjadikan data jumlah dan persebaran kasus COVID 19 diambil dari data nasional; dan menjadikan Gugus Tugas sebagai forum koordinasi dan pengambilan keputusan wilayah mana saja yang layak diberlakukan PSBB, atau bahkan karantina wilayah," kata Fajri.
PSHK pun mendorong Presiden Jokowi melakukan restrukturisasi dalam Gugus Tugas dengan menempatkan Presiden/Wakil Presiden atau Menteri Kesehatan sebagai Ketua Gugus Tugas demi efektivitas dan akuntabilitas kerja dalam pengambilan kebijakan. Serta menyesuaikan dengan status Kedaruratan Kesehatan yang sudah ditetapkan melalui Keppres 11 Tahun 2020, dan bukan darurat bencana.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!