Pernikahan di Indonesia: Tentang Poligami hingga Orang Kaya Nikahi Orang Miskin

20 Februari 2020 19:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan agar pernikahan dilangsungkan antara orang kaya dan miskin. Wacana itu, ia sampaikan sebagai usulan fatwa kepada Kementerian Agama.
ADVERTISEMENT
Menurut mantan Mendikbud itu, selama ini masyarakat salah memahami tafsir agama soal pernikahan yang dianggap harus se-kufu (setara). Muhadjir melihat, hal itu akan menimbulkan masalah dalam perkawinan.
"Orang miskin cari juga sesama miskin. Akibatnya ya jadilah rumah tangga miskin baru, inilah problem di Indonesia,” kata Muhadjir Effendy, dalam sambutannya di Rapat Kerja Kesehatan Nasional di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (19/2).
Sepanjang sejarah Indonesia, urusan pernikahan memang bukan semata-mata urusan keluarga. Ia juga merupakan bagian dari kepentingan agama dan negara.
Menurut Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya Nafi’ Mubarok dalam artikel jurnal berjudul "Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia", agama memiliki kepentingan signifikan atas institusi keluarga. Pasalnya, keluarga memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama.
ADVERTISEMENT
"Sementara itu, negara sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya," tulisnya dalam jurnal AL-HUKAMA (2012).
Pergulatan agama dan negara pun sempat terjadi dalam menentukan berbagai regulasi atau kebijakan pernikahan di Indonesia. Seperti apa perjalanannya?

Masa Penjajahan Belanda

Di era penjajahan Belanda ini, berlaku aturan perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Hal itu dituangkan dalam kitab hukum bernama Compendium Freijer yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC mengatur perkawinan di Indonesia.
Namun dalam perjalanannya, hukum perkawinan menurut agama ini ditentang. Di antaranya oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang mengeluarkan teori bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat.
Ilustrasi pengantin pria menanda tangani dokumen pernikahan. Foto: Shutter Stock
Dalam perkembangannya, muncul Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat pada Juni 1937. Bagi warga pribumi ditetapkan hukum perkawinan yang mengatur 3 hal:
ADVERTISEMENT
Namun, aturan ini mendapat penolakan keras dari Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam, Kelompok Barisan Penjadar Sjarikat Islam, hingga Muhammadiyah. Sebab, ia bertentangan dengan syariat Islam. Pemerintah Hindia Belanda pun membatalkan aturan tersebut.
Sebagai gantinya, Komite Perlindungan kaum Perempuan dan Anak Indonesia dibentuk pada 1937. Institusi yang kemudian diubah namanya menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP) didirikan untuk mengusahakan perbaikan dalam peraturan perkawinan.
ADVERTISEMENT

Zaman Jepang dan Awal Kemerdekaan

Bisa dikatakan bahwa pada masa penjahan selanjutnya, Jepang hanya mengikuti kebijakan Belanda soal peradilan agama dan perkawinan. Sementara, Indonesia juga tak langsung punya Undang-undang tentang perkawinan yang rinci setelah merdeka.
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock
Tercatat, ada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berisi 7 pasal. Namun karena ringkas, Nafi' menyebut dalam tulisannya bahwa secara materil masih belum ada ketetapan tentang hukum yang berlaku dalam bidang hukum perkawinan Islam di Indonesia.
Menyiasati kekosongan hukum, para ulama menggunakan kitab kuning sebagai hukum materil. Baru pada 1953, Departemen Agama RI menetapkan 13 kitab fikih yang jadi pedoman putusan perkara di pengadilan agama.

Pembentukan UU Perkawinan 1974

Setelah hampir 30 tahun merdeka, barulah Indonesia memiliki hukum pernikahan yang lengkap. Hukum ini terkodifikasi melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal yang baru dalam aturan ini, di antaranya, pembatasan usia perkawinan.
ADVERTISEMENT
Negara menetapkan, perkawinan diizinkan apabila laki-laki mencapai umur 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Meski demikian, masyarakat berhak mengajukan dispensasi ke pengadilan, apabila ada penyimpangan umur di bawah ketentuan.
Ilustrasi pernikahan. Foto: thinkstock
Pengaturan usia perkawinan dipandang sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi problem perwakinan di bawah umur. Hal itu diungkap oleh Mark E. Cammack dalam artikel jurnal berjudul “Islamic Law in Indonesia’s New Order" (1989).
Cammack juga melihat unifikasi hukum perkawinan agar sesuai dengan persatuan Indonesia, berdasarkan Pancasila, dan memenuhi tuntutan kemodernan. Hal itu seperti yang diterapkan di negara-negara lain. Meskipun, pergulatan negara dan agama dalam mengatur urusan perkawinan tetap terjadi sebelum pembentukan UU.

Revisi UU Perkawinan pada 2019

Batasan usia pernikahan antara laki-laki dan perempuan pada UU No. 1 Tahun 1974 direvisi pada tahun 2019. Rapat Paripurna DPR 16 September 2019 menetapkan batasan usia 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Dispensasi bisa diberikan, namun harus melalui persetujuan pengadilan yang diajukan oleh orang tua pihak laki laki maupun perempuan.
"Hakim dalam memutuskan perkara dispensasi usia perkawinan harus mempertimbangkan semangat pencegahan usia perkawinan dini, nilai-nilai agama, budaya, dan adat-istiadat masyarakat setempat," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Totok Daryanto kala itu (16/9/2019).
Pengesahan revisi UU ini berawal dari desakan eks Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Yohana Susana Yembise. Desakan itu dilandaskan untuk menekan angka perkawinan anak yang masih tinggi di Indonesia.

Wajib Sertifikasi untuk Menikah

Pemerintah tengah merealisasikan rencana diwajibkannya sertifikasi bagi para pasangan yang akan menikah pada 2020. Untuk mendapatkan sertifikasi, pasangan yang akan menikah wajib mengikuti kelas atau bimbingan pranikah terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Tujuan bimbingan ini untuk memastikan setiap pasangan siap menjalin hubungan pernikahan. Dalam kelas pranikah, pasangan akan diberi pelatihan mengelola emosi, mengelola keuangan, hingga kesehatan untuk bekal pernikahan.
Menko PMK Muhadjir Effendy. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
"Untuk memastikan bahwa dia memang sudah cukup menguasai bidang-bidang pengetahuan yang harus dimiliki itu harus diberikan sertifikat," tutur Menko PMK Muhadjir Effendy di Gedung SICC, Sentul, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019).
Apabila pasangan sudah mendapatkan pemahaman soal pernikahan, Muhadjir berharap angka perceraian di Indonesia bisa ditekan.
Ternyata, ide Muhadjir terkait pernikahan tidak berhenti di urusan sertifikasi. Dia pun, kembali mengutarakan ide lain pada pertengahan Februari 2020.
Yakni, gagasan adanya fatwa yang mendorong orang kaya untuk menikahi orang miskin. Tujuannya, agar pernikahan tidak menyebabkan munculnya keluarga miskin baru di Indonesia.
ADVERTISEMENT