news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pilkada 2020 Berpotensi Diikuti 28 Calon Tunggal, Mengapa Bisa Terjadi?

9 September 2020 13:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melakukan simulasi rekapitulasi secara elektronik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (25/8).  Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melakukan simulasi rekapitulasi secara elektronik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (25/8). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Paslon tunggal mewarnai perhelatan Pilkada Serentak 2020. Setidaknya, terdapat 28 daerah yang berpotensi hanya memiliki satu paslon saja dan akan melawan kotak kosong.
ADVERTISEMENT
Lantas, mengapa calon tunggal di Pilkada 2020 begitu meningkat dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya?
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menuturkan sejumlah faktor yang dinilai mempengaruhi tingginya calon tunggal. Pertama, yakni faktor petahana.
"Kalau dilihat data dari 28 daerah yang diikuti calon tunggal, 23 di antaranya calon petahana, baik petahana sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Kemudian dari 23 daerah yang diikuti calon tunggal, 10 di antaranya diikuti kepala daerah yang kembali berpasangan. Bupati atau wali kotanya kembali berpasangan yang sama," jelas Arya dalam webinar 'Oligarki Parpol dan Fenomena Calon Tunggal', Rabu (9/9).
Pengamat Politik CSIS, Arya Fernandes dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk 'Menakar Efektivitas Debat Capres dalam Meraih Suara' di gedung parlemen DPR RI, Jakarta. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Faktor kedua yakni tingginya biaya politik. Arya menilai dengan situasi pandemi corona saat ini membuat biaya politik yang harus dikeluarkan justru semakin meningkat. Mulai dari makin panjangnya masa kampanye hingga investor dengan kondisi ketidakpastian untuk bisnisnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, petahana bisa memiliki keuntungan lebih besar mengingat mereka sudah punya modal, baik secara ekonomi maupun sumber daya.
"Apalagi ada pengunduran pilkada berarti ada tambahan biaya politik. Jadi lebih mahal di situasi pandemi. Kampanye dibatasi, orang harus door to door campaign. Kalau kandidat yang enggak populer bakal mikir 1.000 kali, karena biaya yang dikeluarkan mahal," tutur dia.
"Dengan situasi seperti ini, faktor pandemi mendorong mahalnya biaya politik. Ditambah sosialisasi yang panjang dan investor terbatas membuat yang punya potensi banyak dukungan adalah yang petahana dan pengusaha," lanjutnya.
Sejumlah petugas melakukan simulasi rekapitulasi secara elektronik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (25/8). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Faktor ketiga adalah terjadinya multi-partai ekstrem karena tidak adanya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di daerah dan alokasi kursi di daerah pemilihan tingkat DPRD. Arya menuturkan, calon alternatif sulit terwujud karena pembentukan koalisi, khususnya bagi partai menengah-kecil.
ADVERTISEMENT
Faktor keempat, menurut Arya, adalah basis partai yang berkontribusi kuat dalam meningkatnya calon tunggal. Ia menjelaskan, sebagian besar daerah yang diisi calon tunggal merupakan basis kuat salah satu parpol.
Bahkan, dalam hasil temuannya, Arya mendapati mayoritas daerah yang berpotensi calon tunggal memiliki hubungan dengan PDIP.
"Saya temukan 12 dari 28 daerah yang punya calon tunggal punya hubungan dengan PDIP. Pertama, dari 12 itu, maju sebagai calon kepala daerah, kader PDIP ada di 10 daerah. Dari 10 itu, 8 di antaranya petahana, 1 orang dinasti di Kediri, dan 1 berasal dari DPRD," ungkap Arya.
"Sisa duanya maju sebagai wakil, jadi 1 wakil bupati petahana, dan 1 pengusaha. Pengusaha ini juga punya hubungan kekerabatan dengan PDIP," imbuhnya.
ADVERTISEMENT

Apa solusi untuk mendorong supaya tak ada calon tunggal kepala daerah?

Menurut Arya, alternatif kebijakan yang bisa dilakukan mulai dari mendorong multi-partai sederhana di tingkat lokal. Yakni dengan ikut memberlakukan PT minimal 4 persen di daerah.
"Saya menduga ini kompromi menyelamatkan partai kecil di daerah. Tetapi kita dorong keselarasan itu, kalau nasional diberlakukan PT, di lokal juga diberlakukan," kata Arya.
Selain itu, menerapkan standardisasi rekrutmen politik seperti diatur dalam UU Partai. Salah satu yang didorongnya adalah penerapan batasan waktu minimal keanggotaan partai untuk mencalonkan calon tertentu. Misalnya, setidaknya harus 1 tahun menjadi anggota partai, atau pernah menjadi pengurusnya.
Selanjutnya, ia juga mendorong desentralisasi pencalonan sehingga tiap-tiap daerah juga punya otoritas dalam mencalonkan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
"Keempat, menurunkan syarat pencalonan, baik partai maupun perseorangan," tandasnya.
=====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona