PM Israel Naftali Bennett soal Presiden Baru Iran: Dia Algojo Brutal

21 Juni 2021 15:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Naftali Bennett, yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri Israel berbicara di Knesset, parlemen Israel, di Yerusalem, Minggu (13/6). Foto: Ronen Zvulun/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Naftali Bennett, yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri Israel berbicara di Knesset, parlemen Israel, di Yerusalem, Minggu (13/6). Foto: Ronen Zvulun/REUTERS
ADVERTISEMENT
Dalam rapat kabinet pemerintahan Israel yang baru, Perdana Menteri Naftali Bennett menyinggung soal terpilihnya Ebrahim Raisi sebagai Presiden Iran. Menrut Bennett kemenangan Raisi merupakan peringatan kepada para pemimpin Negara Adidaya.
ADVERTISEMENT
Raisi terpilih menjadi Presiden Iran pada Sabtu (19/6) setelah memperoleh 62% suara. Raisi menggantikan posisi Hassan Rouhani yang dikenal sebagai tokoh moderat.
Saat memimpin rapat kabinet pada Minggu (20/6), Bennett menyebut Raisi “algojo”. Julukan diberikan terkait reputasi Raisi sebagai hakim yang gemar menjatuhkan eksekusi mati kepada para tahanan di Iran.
“Dari seluruh orang yang bisa dipilih oleh Ayatullah Ali Khamenei, ia memilih algojo Teheran, pria yang terkenal di Iran dan penjuru dunia atas eksekusi ribuan warga negara Iran yang tidak bersalah selama bertahun-tahun,” ujar Bennett di hadapan kabinetnya, dikutip dari Aljazeera.
Selain itu, Bennett juga menyinggung soal kesepakatan nuklir Iran dan Barat di dunia. Kesepakatan yang terjalin pada 2015 runtuh ketika rezim Donald Trump berkuasa di AS.
ADVERTISEMENT
Bennet menegaskan, negara-negara Barat musti berpikir masak-masak soal memulai kembali perundingan dengan Iran yang kini dipimpin Raisi. Sebab, Israel menganggap Raisi punya reputasi buruk.
“Menangnya Raisi sebagai Presiden Iran adalah kesempatan terakhir bagi negara-negara adidaya untuk bangun, sebelum kembali ke perjanjian nuklir tersebut dan untuk memahami dengan siapa mereka berurusan,” tegas Bennett.
Calon Presiden Iran, Ebrahim Raisi. Foto: Official Khamenei website/Handout via REUTERS
“Orang-orang ini [Iran] adalah pembunuh, pembunuh massa: sebuah rezim algojo brutal seharusnya tak pernah diizinkan untuk memiliki senjata pemusnah massal yang membuat mereka mampu membunuh ribuan, bahkan jutaan jiwa,” lanjut Bennett.
Israel memang sudah sejak lama menentang program nuklir Iran dan bersumpah untuk mencegah pemerintahan Iran dari kepemilikan senjata nuklir.
Tetapi, Iran terus menyangkal tuduhan Israel. Mereka menegaskan program nuklir tidak untuk membuat senjata pemusnah, melainkan untuk tujuan-tujuan damai seperti memajukan kesehatan.
ADVERTISEMENT

Penundaan Diskusi Kesepakatan Nuklir

Pengayaan nuklir merupakan salah satu topik panas hubungan Iran dan kekuatan dunia. Kendati Iran sudah berulang kali mencoba meyakinkan dunia terkait program nuklir, AS dan Israel selalu tak percaya.
Bahkan saat AS dipimpin Trump, mereka terang-terangan mengecam program nuklir Iran dan kesepakatan yang sudah dijalin. Trump mengecam kesepakatan nuklir dengan alasan bahwa regulasi terhadap Iran terlalu lemah.
Regulasi yang disepakati di bawah Presiden Barack Obama, menurut Trump menyisakan celah untuk Iran membuat senjata nuklir. Pemerintahan Trump bahkan menjatuhkan sanski ekonomi kepada Iran karena terus mengembangkan nuklir.
Sampai saat ini baik diplomat dari Iran dan keenam negara besar dunia --China, Prancis, Rusia, Inggris, AS, dan Jerman-- masih menangguhkan sementara pembicaraan soal kesepakatan nuklir ini.
ADVERTISEMENT
Mereka setuju untuk melakukan konsultasi dengan pemerintahannya terlebih dahulu, mengingat masih cukup banyak perbedaan di antara mereka yang harus diselesaikan sebelum akhirnya kembali ke meja perundingan.
“Kami semakin dekat dengan sebuah kesepakatan, tetapi jarak di antara kita, serta sebuah perjanjian yang ada dan upaya menjembataninya, bukanlah pekerjaan yyang mudah,” ujar delegasi Iran, Abbas Araqchi.
Dikutip dari Reuters, Pemimpin Agung Iran Ayatullah Ali Khamenei telah berniat untuk mengembalikan kesepakatan nuklir tersebut, sehingga sanksi dari AS bisa segera dicabut.
Sanksi AS sangat memberatkan Iran. Sebab, sanski yang kembali diberlakukan di era Trump membuat ekonomi Iran semakin terpuruk.
Fasilitas pengayaan uranium Natanz di Teheran, Iran. Foto: Raheb Homavandi/reuters

Kesepakatan Nuklir Iran

Kesepakatan nuklir Iran sendiri merupakan sebuah pakta yang diselenggarakan oleh lima negara adidaya dan Iran untuk membatasi aktivitas nuklir di Iran. Negara-negara kekuatan dunia itu ingin memastikan Iran tidak membuat senjata nuklir.
ADVERTISEMENT
Dalam kesepakatan nuklir tersebut sebagai timbal balik untuk Iran, sanksi internasional yang diberlakukan pada negara di Asia Barat itu dicabut.
Pencabutan sanksi mengizinkan Iran untuk kembali ke pasar minyak bumi internasional dan kembali menggunakan sistem keuangan global untuk perdagangan. Hal ini tentunya bisa membantu Iran keluar dari krisis ekonominya.
Iran, di bawah pemerintahan Presiden Hassan Rouhani, menyetujui pakta tersebut pada 2015.
Tetapi, pada 2018, AS di bawah pemerintahan Trump memutuskan untuk keluar dari perjanjian tersebut.
Sejak itulah, Iran mulai melanggar kesepakatan nuklir itu dengan menaikkan pengayaan nuklir dari angka yang sebelumnya disetujui, yakni 3,67%.
AS membalas tindakan Iran. Trump yang saat itu berkuasa akhirnya kembali menjatuhkan snaksi ekonomi.
ADVERTISEMENT