Polemik Ivermectin, Benarkah Sudah Disetujui BPOM sebagai Obat Terapi Corona?

15 Juli 2021 15:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi IVERMECTIN, obat cacingan yang disebut-sebut efektif mengatasi COVID-19. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi IVERMECTIN, obat cacingan yang disebut-sebut efektif mengatasi COVID-19. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Penggunaan obat antiparasit (obat cacing) ivermectin sebagai obat terapi COVID-19 telah memasuki babak baru. Dan terus menuai pro dan kontra.
ADVERTISEMENT
Pada Selasa (13/7), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: PW.01.10.3.34.07.21.07 Tahun 2021 tentang Pendistribusian Obat dengan Persetujuan Penggunaan Darurat.
Surat yang berfungsi mencegah terjadinya penimbunan obat di apotek itu kemudian ramai diperbincangkan di media sosial lantaran menyebutkan sejumlah obat-obatan, termasuk ivermectin, pada halaman terakhir SE.
Terdapat 8 jenis obat yang disebut, yaitu remdesivir, oseltamivir, dexametason, favipiravir immunoglobulin, tocilizumab, aithromycin, dan ivermectin.
SE BPOM Distribusi Obat dengan Persetujuan Penggunaan Darurat yang menyebut ivermectin. Foto: BPOM
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI pada 5 Juli 2021, Kepala BPOM Penny K. Lukito menyampaikan baru ada dua jenis obat yang mendapatkan persetujuan penggunaan darurat (EUA) untuk COVID-19. Obat tersebut hanya remdesivir dan juga favipirafir.
"Ini adalah obat-obat yang sudah dapat Emergency Use Authorization adalah 2, remdesivir dan favipiravir," kata Penny kala itu.
Kepala BPOM Penny Lukito dalam jumpa pers peredaran ivermectin, 2 Juli 2021. Foto: Youtube/BPOM
Ivermectin hingga saat ini masih dalam tahap uji klinik sebagai obat COVID-19. Ivermectin baru mendapatkan izin uji klinik dari BPOM pada 28 Juni 2021. Lamanya waktu uji klinik adalah 28 hari.
ADVERTISEMENT
Jika dihitung sejak hari pemberian izin hingga Kamis (15/7) ini, baru mencapai 17 hari. Namun, itu juga bukan berarti lamanya proses uji klinik telah berlangsung lantaran tidak diketahui pasti kapan uji klinik dimulai sejak pemberian izin.
Delapan rumah sakit kemudian ditunjuk sebagai lokasi pelaksanaan uji klinik yaitu RS Persahabatan Jakarta, RS Sulianti Saroso, RS Sudarso Pontianak, RS Adam Malik Medan, RSPAD Gatot Subroto, RSAU dr. Esnawan Antariksa, RSU Suyoto, dan RSDC Wisma Atlet.
Dalam kesempatan konferensi pers terkait pemberian izin uji klinik ivermectin tersebut, Kepala BPOM Penny K. Lukito menyampaikan bahwa ivermectin tak hanya bisa digunakan di 8 rumah sakit yang telah ditunjuk. Penny mengatakan obat ini bisa diberikan pada pasien COVID-19 lainnya selama dokter yang menangani mengikuti protokol uji klinik.
ADVERTISEMENT

Pendapat Ahli tentang Ivermectin

Isu mengenai penerbitan EUA untuk ivermectin ini juga mendapatkan perhatian dari para ahli. Salah satunya yaitu ahli biomolekuler dan juga CEO Lipotek, Dr. Ines Atmosukarto.
Menurut Ines, hingga saat ini banyak penelitian terkait ivermectin yang tidak menunjukkan hasil yang konsisten mengenai manfaat penggunaannya pada pasien COVID-19. Selain itu, uji klinik yang dilakukan oleh BPOM juga belum diketahui hasilnya.
Dr Ines Atmosukarto, ahli biomolekuler dan vaksinolog. Foto: jcsmr.anu.edu.au
"Sesungguhnya posisi saya begini, sebagian besar uji klinik menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai manfaat ivermectin untuk pasien COVID-19. Pengertian saya, posisi Indonesia masih menunggu hasil uji klinis yang kini sedang dilakukan di beberapa rumah sakit, karena itu saya bingung keputusannya berdasarkan informasi apa, sedangkan hasil uji kliniknya belum diumumkan," jelas Ines saat dihubungi kumparan, Kamis (15/7).
ADVERTISEMENT
Ines juga menegaskan bahwa sampai sekarang WHO juga tidak merekomendasikan obat ini untuk pasien COVID-19 kecuali dalam tahap uji klinik. Ia juga mengatakan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia juga sejalan dengan penyataan WHO.
"Hingga kini, WHO tidak merekomendasikan penggunaan ivermectin pada pasien COVID-19 kecuali dalam rangka uji klinik dan beberapa negara (termasuk AS dan Australia)," tambahnya.
Sehingga, menurut Ines, pengumuman hasil uji klinik sangatlah penting sebelum sebelum obat itu diberikan EUA. Ia menegaskan soal pentingnya transparansi hasil uji.
"Baiknya begitu. Transparansi memang penting," pungkas Ines.
Epidemiolog UI, Pandu Riono. Foto: Dok. Pribadi
Salah satu epidemiolog yang juga kerap memberikan perhatian serius tentang penggunaan ivermectin adalah Pandu Riono. Dalam akun Twitter-nya, Pandu meminta agar BPOM segera mengeluarkan pernyataan klarifikasi atas isu yang beredar ini.
ADVERTISEMENT
"Apakah benar @BPOM_RI? Saya tunggu klarifikasinya secepat-cepatnya," tulis Pandu, Kamis (15/7).
Sebelumnya, Pandu juga sempat menjelaskan terkait Surat Edaran BPOM yang kadung ramai dibahas di media sosial. Ia mengatakan surat tersebut sebenarnya membahas mengenai tata kelola pendistribusian kedelapan obat keras tersebut, termasuk ivermectin.
"Surat Edaran @BPOM_RI hanya ingin menata distribusi obat keras yang sering disalahgunakan oleh nakes dan masyarakat yang swamedikasi obat keras," jelasnya di akun Twitter.
kumparan telah berusaha menghubungi pihak BPOM untuk meminta klarifikasi. Namun sampai berita ini dipublikasikan, belum ada tanggapan dari Kepala BPOM Penny K. Lukito.