Polemik RUU Minol: Antara Moral Bangsa dan Matinya Ekonomi Petani Arak

14 November 2020 8:33 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bir Foto: dok.Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bir Foto: dok.Shutterstock
ADVERTISEMENT
RUU Larangan Minuman Alkohol (RUU Minol) menjadi perhatian masyarakat setelah diusulkan oleh DPR. Menurut rencana, RUU ini akan dibahas pada persidangan tahun ini.
ADVERTISEMENT
RUU ini pun menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Anggota Baleg Fraksi PKS Bukhori Yusuf mengatakan, fraksinya berpandangan RUU itu sangat perlu mengingat banyaknya dampak sosial yang negatif akibat minuman beralkohol.
"Secara sosiologi, secara fakta sosial, bahaya terhadap minuman beralkohol ini sudah cukup lampu merah menurut saya. Karena paling tidak 58 persen dari total kriminal yang terjadi di negara kita karena konsumsi minuman keras," kata Bukhori saat dimintai tanggapan, Jumat (13/11).
Alasan kedua, lanjut Bukhori, menurut data WHO, angka kematian karena minuman alkohol mencapai 2 juta pada 2011. Pada tahun 2014, lebih dari 3,3 juta yang meninggal dunia karena minuman keras.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf. Foto: DPR
"Dan di negara kita, yang mengkonsumsi minuman beralkohol untuk anak muda yang berjumlah 60 jutaan itu sekitar 14 juta orang itu mengkonsumsi alkohol, ini data tahun 2014," papar Bukhori.
ADVERTISEMENT
"Artinya, ini fakta-fakta sosial yang mengkhawatirkan. Kalau kemudian kita sebagai bagian dari negara ini dan punya kewenangan untuk melakukan sesuatu, ketika tidak melakukan sesuatu, berdosa kita. Berdosa kepada negara, berkhianat pada janji kita," imbuhnya.
Berbeda dengan PKS sebagai salah satu fraksi pengusul RUU Minol, NasDem berpandangan RUU tersebut masih belum perlu sehingga harus betul-betul dikaji kembali urgensinya.
"Kalau menurut saya, RUU ini masih belum perlu. Karena kalau belajar dari pengalaman yang kita lihat di berbagai negara, kalau minuman beralkohol ini terlalu ketat peraturannya sehingga sangat sulit terjangkau, justru berpotensi menimbulkan munculnya pihak yang nakal yang melakukan pengoplosan alkohol ilegal atau bahkan meracik sendiri," kata Wakil Ketua Komisi III Fraksi NasDem, Ahmad Sahroni.
ADVERTISEMENT
"Jadi harus betul-betul dipertimbangkan lagi,” imbuh dia.
Wakil Ketua Komisi III DPR F-NasDem Ahmad Sahroni. Foto: DPR
Ia mengatakan yang penting adalah penegakan aturan minuman beralkohol yang sudah ada selama ini di masyarakat. Sebab, bagi Sahroni, mau aturannya sedemikian rupa dibuat, yang penting penegakannya di lapangan.
"Sekarang kita lihat, aturan soal larangan konsumsi alkohol di bawah 21 tahun saja belum benar-bener ditegakkan. Begitu juga larangan nyetir kalau mabuk,” sebutnya.
Sementara Fraksi Partai Demokrat menyebut RUU Minol seperti deja vu saat UU Narkotika dibahas. Menurutnya sistem hukum di Indonesia selalu menggunakan pendekatan sanksi pidana. Padahal belum tentu pendekatan ini adalah yang terbaik.
"Saya merasakan deja vu akan situasi ini. Pendekatan sanksi pidana bagi setiap orang yang melanggar rasanya sudah menjadi culture dalam hukum positif kita. Sekali lagi, deja vu yang saya rasakan adalah perasaan yang sama ketika melihat permasalahan UU Narkotika yang sudah lebih dari satu dasawarsa mengirim para pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika ke penjara," kata anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan.
ADVERTISEMENT
"Hasilnya, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di negara kita penuh sesak oleh manusia, banyaknya instrumen HAM yang tidak terpenuhi, dan yang lebih penting adalah soal pemborosan anggaran yang diakibatkan penuhnya Lapas," imbuh Hinca.
Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan terkait penyelenggaraan kongres V Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Cikini, Jakarta, Jumat (13/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ia juga menyebut RUU Minol over-kriminalisasi. Ia khawatir niat baik untuk menekan angka kejahatan karena alkohol bertolak belakang dengan hasil yang didapatkan.
"Over-kriminalisasi. Ini yang akan tergambar dalam imaji saya soal RUU Larangan Minuman Beralkohol. Kita tidak pernah mendudukkan persoalan sistem peradilan pidana secara menyeluruh, terutama dengan pendekatan cost and benefit dari suatu peraturan yang akan dibentuk," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta masyarakat tak perlu menanggapi berlebihan terkait dinamika RUU Minol yang masih panjang.
ADVERTISEMENT
"Dinamika yang berkembang di masyarakat saya pikir tidak perlu berlebihan dan kita akan lihat prosesnya sampai sejauh mana. Apakah ini nanti bisa dimasukkan lagi ke Prolegnas ke depan atau tidak," ujarnya.
Menurut Ketua Harian DPP Gerindra itu, usulan RUU Larangan Minuman Alkohol muncul lantaran aturan mengenai minuman beralkohol impor belum terlalu kuat untuk melindungi masyarakat. Namun, kata dia, RUU itu memang harus dikaji lebih dalam.
"Sebenarnya kalau kemudian aturan terutama di daerah-daerah yang produksi itu kan sudah ada. Nah, tapi ini yang menyangkut misalnya minuman impor dan lain-ain mungkin dirasa oleh pengusul belum kuat untuk melindungi masyarakat. Tetapi nanti kita sama-sama lihat, karena hal seperti ini memang harus dikaji lebih dalam," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sejumlah destinasi wisata di Indonesia tak bisa dipisahkan dari minuman alkohol seperti Bali, pun dengan adat istiadat dan kebudayaannya. Padahal pada Februari 2020, Gubernur Bali Wayan Koster melegalkan arak sesuai Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi Dan/Atau Destinasi Khas Bali.
Aturan ini untuk melindungi, memelihara keragaman budaya Bali, sekaligus mendukung pemberdayaan ekonomi berkelanjutan berbasis budaya.
Kepala Disperindag Provinsi Bali, Wayan Jatra, enggan berkomentar mengenai RUU Minol. Dia mengaku belum membaca secara utuh RUU tersebut.
"Saya tidak pada posisi pada mengomentari ini. Kami hanya memegang regulasi yang ada. Kami tidak bisa mewakili masyarakat. Saya Disperindag mengawal birokrasi. Saya tidak memberi komentar tentang itu," kata dia saat dihubungi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, tak perlu ada aturan khusus tentang minol, terutama untuk Pulau Dewata. Aturan ini sudah termuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Polresta Denpasar sita 835.400 liter Arak Bali Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan
"Dalam kesehariannya, warga Bali mengkonsumsi alkohol sekadar untuk berkumpul bersama. Sejak ada Pergub tersebut, arak menjadi lebih mudah diakses di Bali. Bahkan, ada banyak warung-warung kecil seperti coffee shop yang menjualnya dengan harga terjangkau. Arak juga menjadi salah satu buah tangan wisatawan," tuturnya.
"Ini statement saya secara pribadi bukan kepala dinas. Saya dalam konteks ini bukan peminum, sepanjang itu tidak membahayakan, masih sebatas norma yang ada, dan seperti yang sekarang ini kan beredar. Sebagai masyarakat Bali. Kalau dilarang sampai nol itu, tidak (setuju). Ini kan kita beragam, kita berbagai kebudayaan dan keyakinan. Dan ini realitasnya (tradisi minol) sudah ada sejak zaman nenek moyang," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, komponen masyarakat Bali sudah mengisyaratkan akan menentang sejumlah pasal dalam RUU yang berpotensi merugikan Bali itu. Menurut penjual arak di Bali, RUU tersebut tidak hanya mematikan ekonomi petani arak, tetapi menimbulkan pembodohan bagi masyarakat.
"RUU ini menempatkan minuman beralkohol sekelas dengan narkoba yang patut dilarang. Kalau memproduksi saja tidak boleh, tentu tidak ada yang diperdagangkan apalagi dikonsumsi. Walaupun ada pengecualian Pasal 8, RUU ini gagal memahami filosofi dan sosiologi tentang minuman beralkohol yang ada di masyarakat kita," kata penjual Arak Edukasi Bali, Ngakan Made Giriyasa.
Pria yang juga ini pengamat kebijakan publik ini menilai tak elok menggunakan batasan moral yang digunakan untuk mengesahkan aturan tersebut. Dia menilai edukasi pengendalian diri agar tidak konsumsi berlebihan lebih tepat diterapkan.
ADVERTISEMENT
"Mencerdaskan manusia dengan melatih pengendalian diri lebih penting daripada mengatur apa yang boleh dikonsumsi seseorang," kata dia.
Giri yang juga pendamping pembuatan petani arak di Desa Dukuh Karangasem mengatakan, setiap hari penduduk desa mampu memproduksi 400 liter arak per hari dengan pendapatan sekitar Rp 25 juta. Menurut dia, larangan minol sungguh mematikan ekonomi petani arak.
"Kalau produksi dilarang, apa yang mau dijual, memang di Pasal 8 ada pengecualian boleh diproduksi dan dijual terbatas untuk wisatawan. Namun bukan ini substansinya. Apa kalau boleh dijual kepada wisatawan lalu kita cekoki wisatawan dengan minol? Saya kira cara berpikir penyusun RUU ini aneh sama sekali tidak mencerdaskan," imbuh Giri.
"Didiklah masyarakat untuk memahami apa yang dikonsumsi, bukan melarang makan ini atau itu, RUU ini tidak hanya mematikan potensi ekonomi, yang lebih parah adalah upaya pembodohan yang dilakukan melalui RUU ini," kata Giri.
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi III DPRD Bali, AA Ngurah Adi Ardhana menilai, kajian akademis dari RUU itu terlalu dangkal dalam menggali pola-pola pengendalian yang telah diwariskan oleh leluhur.
"Kajian akademisnya sepertinya terlalu dangkal, Bali pasti menolak, kita itu negara kesatuan yang dibangun di atas kebhinekaan apalagi ada potensi ekonomi yang terlibat di dalamnya," ujarnya.
Pecalang atau petugas pengamanan adat Bali memberikan penjelasan kepada wisatawan mancanegara terkait penutupan sementara objek wisata Pantai Batu Belig. Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
"Kalau pada RUU yang diajukan malah kembali dan berbalik dengan tidak melihat praktik di lapangan dan sekadar hanya memperhitungkan keinginan sekelompok orang, maka akan sangat tidak adil bagi masyarakat yang secara adat dan budaya bisa menerima minuman beralkohol dan juga dijamin UUD 1945 ," terangnya.
Adi bahkan memberikan arahan agar Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang sedang membahas RUU itu fokus pada aturan pengendalian bukan pada larangan yang mengekang. "Jadi sebatas mana alkohol akan memabukkan itu jelas harus dilarang, bukan produknya yang diharamkan," tutur Adi.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, RUU tersebut dinilai berpotensi melahirkan transaksi jual beli ilegal atau pasar gelap alias black market minol. Menurut Ketua Asosiasi Distributor Minuman Beralkohol (ADMA) Golongan A Bali, Frendy Karmana, black market tercipta karena warga sulit mengakses minol.
"Menurut saya kalau dilarang justru akan banyak black market. Pasar gelap. Alkohol tidak akan bisa hilang," kata dia.
"Kita belajar dari Jawa Barat (Jabar). Jabar dengan provinsi perda paling banyak di Indoensia. Akhirnya orang akan mencoba meracik sendiri dan ini berbahaya dan menyebabkan orang meninggal itu karena minol di Jabar, metanol dicampur dan segala macam. Kalau produk pabrikan sudah ada quality control. Tidak ada orang meninggal karena bir Bintang. Kalau enggak dioplos, ya," sambung Frendy.
ADVERTISEMENT