Populasi Penduduk Dunia pada 2100 Diprediksi Capai 8,8 Miliar Orang

15 Juli 2020 7:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi populasi penduduk. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi populasi penduduk. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington merilis hasil penelitian mengenai prediksi populasi dunia pada tahun 2100 atau abad ke-22.
ADVERTISEMENT
IHME yang didirikan pada 2007 dan didukung Bill and & Melinda Gates Foundation telah menjadi referensi global untuk statistik kesehatan, terutama laporan Global Burden of Disease setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil penelitian IHME, populasi dunia pada 2100 diprediksi mencapai 8,8 miliar jiwa. Jumlah tersebut 2 miliar lebih sedikit dari proyeksi PBB. Sebab IHME menilai tingkat kesuburan di negara-negara maju mulai menurun dan banyak populasi yang mulai menua.
Penelitian tersebut menyatakan pada akhir abad ini, 183 dari 195 negara akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan tingkat populasi.
Populasi di lebih dari 20 negara termasuk Jepang, Spanyol, Italia, Thailand, Portugal, Korea Selatan, dan Polandia diprediksi berkurang setengahnya dari jumlah saat ini.
Sementara China yang kini memiliki populasi 1,4 miliar, diprediksi turun menjadi 730 juta orang dalam 80 tahun.
Pengemudi ojek duduk di atas sepeda motor mereka, yang populer disebut "Okada", di Obalende, Pulau Lagos, Nigeria, Selasa (28/1). Foto: REUTERS/Temillade Adelaja
Sebaliknya, populasi di negara-negara di Afrika dinilai akan bertambah 3 kali lipat menjadi sekitar tiga miliar orang. Secara khusus, Nigeria dianggap akan mengalami ledakan penduduk menjadi hampir 800 juta orang pada tahun 2100.
ADVERTISEMENT
Nigeria diprediksi berada di posisi kedua yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah India dengan 1,1 miliar orang..
"Prakiraan ini menunjukkan kabar baik bagi lingkungan, dengan lebih sedikit tekanan pada sistem produksi pangan dan emisi karbon yang lebih rendah, serta peluang ekonomi yang signifikan untuk negara-negara di Afrika sub-Sahara," ujar Direktur IHME, Christopher Murray, seperti dilansir AFP pada Selasa (14/7) waktu setempat.
"Namun, sebagian besar negara di luar Afrika akan melihat menyusutnya tenaga kerja dan membalikkan piramida populasi, yang akan memiliki konsekuensi negatif yang mendalam bagi perekonomian," lanjut Murray.
Murray menyatakan, bagi negara-negara berpenghasilan tinggi yang ingin mempertahankan tingkat populasi dan pertumbuhan ekonomi, perlu menerapkan kebijakan imigrasi yang fleksibel dan dukungan sosial untuk keluarga yang menginginkan anak.
ADVERTISEMENT
"Namun, dalam menghadapi penurunan populasi ada bahaya yang sangat nyata bahwa beberapa negara mungkin mempertimbangkan kebijakan yang membatasi akses ke layanan kesehatan reproduksi, dengan konsekuensi yang berpotensi menghancurkan," Murray mengingatkan.
Warga saat melakukan protes penutupan sementara waktu pantai Huntington Beach di California, Amerika Serikat. Foto: REUTERS/Kyle Grillot

866 Juta Orang Lebih pada 2100 Berusia di Atas 80 Tahun

Murray mengatakan, layanan sosial dan sistem perawatan kesehatan perlu dirombak untuk mengakomodasi populasi yang menua.
Saat tingkat kesuburan turun dan harapan hidup meningkat di seluruh dunia, jumlah anak balita diperkirakan akan menurun lebih dari 40 persen, dari 681 juta pada 2017 menjadi 401 juta pada 2100.
Murray menyebut dalam penelitian itu, sekitar 2,37 miliar orang atau lebih dari seperempat populasi global pada 2100 akan berusia lebih dari 65 tahun.
ADVERTISEMENT
Sementara mereka yang berusia di atas 80 pada 2100 akan meningkat drastis dari sekitar 140 juta orang saat ini menjadi 866 juta. Penurunan tajam dalam jumlah dan proporsi populasi usia kerja juga akan menimbulkan tantangan besar di banyak negara.
"Masyarakat akan berjuang untuk tumbuh dengan lebih sedikit pekerja dan pembayar pajak," kata seorang profesor di IHME, Stein Emil Vollset.
Sejumlah siswa menghadiri kelas di salah satu sekolah di Wuhan Hubei, China. Foto: China Daily/ via REUTERS
Jumlah penduduk usia kerja di China pada 2100, misalnya, diprediksi turun 62 persen dari sekitar 950 juta saat ini menjadi hanya sekitar 350 juta pada akhir abad ini.
Penurunan angkatan kerja juga terjadi di India yang diproyeksikan turun dari 762 menjadi 578 juta.
Sebaliknya di Nigeria angkatan kerja aktif meningkat dari 86 juta saat ini menjadi lebih dari 450 juta pada tahun 2100.
ADVERTISEMENT
Para peneliti memperkirakan pergeseran ini akan mengubah susunan dalam hal pengaruh ekonomi.

Indonesia Diprediksi Menjadi Ekonomi Terbesar ke-12 di Dunia pada 2100

Pada 2050, produk domestik bruto (PDB) China akan menyusul Amerika Serikat, tetapi kembali ke tempat kedua pada tahun 2100.
PDB India akan naik ke tempat nomor tiga di dunia. Sementara Jepang, Jerman, Prancis, dan Inggris akan tetap berada di jajaran 10 besar dunia.
Adapun Brasil diproyeksikan turun dari peringkat 8 hari ini ke urutan 13. Sementara Rusia dari posisi 10 diprediksi turun ke posisi 14. Kekuatan ekonomi Italia dan Spanyol di dunia juga dinilai akan turun dari 15 ke 25 dan 28.
Sementara Indonesia dapat menjadi ekonomi terbesar ke-12 secara global. Sementara Nigeria yang kini menduduki peringkat 28 di dunia, diproyeksikan akan masuk dalam 10 besar pada 2100.
ADVERTISEMENT
"Pada akhir abad ini, dunia akan menjadi multipolar, dengan India, Nigeria, China, dan Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan," kata Richard Horton yang menggambarkan penelitian tersebut sebagai garis besar "pergeseran radikal dalam kekuatan geopolitik."
Ilustrasi logo PBB Foto: Reuters
Diketahui sejauh PBB memperkirakan populasi dunia mencapai 8,5 miliar pada 2030; 9,7 miliar pada 2050; dan 10,9 miliar pada 2100.
Perbedaan antara angka PBB dan IHME sangat bergantung pada tingkat kesuburan. Saat ini tingkat kesuburan untuk populasi yang stabil adalah 2,1 kelahiran per wanita.
Perhitungan PBB mengasumsikan bahwa negara-negara dengan kesuburan rendah hari ini akan melihat angka-angka itu meningkat rata-rata menjadi sekitar 1,8 anak per wanita seiring waktu.
"Analisis kami menunjukkan bahwa ketika wanita menjadi lebih berpendidikan dan memiliki akses ke layanan kesehatan reproduksi, mereka memilih untuk memiliki rata-rata kurang dari 1,5 anak," tutupnya.
ADVERTISEMENT
***