
Potret Kesenjangan di Balik Kecelakaan Maut Mahasiswa UGM
2 Juni 2025 19:14 WIB
·
waktu baca 10 menitPotret Kesenjangan di Balik Kecelakaan Maut Mahasiswa UGM
Di balik kecelakaan yang melibatkan Christiano Tarigan dan Argo mahasiswa UGM, ada isu soal kesenjangan yang mesti diatasi kampus. #kumparanNEWSkumparanNEWS


ADVERTISEMENT
Sabtu (24/5) pagi, Meiliana (48) mengingatkan Argo Ericko Achfandi, anak sulungnya yang tengah merantau kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), agar tak lupa menunaikan salat subuh. Namun Argo tak pernah membalas pesan terakhir sang ibunda.
ADVERTISEMENT
Meli justru diberitahu anaknya tengah berada di Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY oleh pihak RS. Ibunda tak mendapat penjelasan bahwa Argo sudah meninggal imbas kecelakaan pukul 01.00 WIB dinihari di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Yogyakarta.
Meski begitu, sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkannya 19 tahun belakangan, Meli punya feeling kuat ada sesuatu buruk terjadi pada anaknya. Perasaan itu terbukti setelah ambulans dari RS Bhayangkara tiba di rumahnya di Cilodong, Depok, malam hari setelah isya, membawa serta Argo yang sudah tak bernyawa.
“Ibunya kemudian tidak membuka jenazah, tidak ada keberanian secara mental saya kira itu yang terjadi,” kata pengacara keluarga Argo, Wasingatu Zakiyah, kepada kumparan, Sabtu (31/5).
Meli, seorang ibu tunggal yang ditinggal wafat suaminya 11 tahun lalu, kini hanya bisa merawat ingatan baik tentang Argo. Mulai dari cita-citanya menjadi seorang pengacara perusahaan (corporate lawyer) hingga melanjutkan S2 ke luar negeri dengan beasiswa LPDP.
ADVERTISEMENT
Namun harapan-harapan Argo yang dirajut dengan tabah tanpa figur ayah itu pupus sudah akibat kejadian nahas malam itu. Seorang pengemudi BMW, Christiano Tarigan, yang juga mahasiswa UGM di kelas internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis, menabrak Argo yang tengah mengendarai motor Vario milik ibunya.
“Harapan saya pastinya pupus, karena almarhum Argo ini adalah anak sulung dari dua bersaudara. Harapan besar saya, dia adalah pengganti ayahnya sebagai tulang punggung untuk saya dan adiknya,” kata Meli lirih menjawab pertanyaan kumparan, Sabtu (31/5), di kediamannya. Ia sehari-hari berjualan kue dengan sistem pesanan untuk membesarkan Argo dan adiknya.
Kepergian Argo bukan hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, tetapi juga menjadi kehilangan bagi teman-temannya yang mengenalnya sebagai sosok baik, inspiratif, dan berdedikasi tinggi.
ADVERTISEMENT
Pantauan kumparan, sejak Rabu (28/5) hingga Sabtu (31), rumah Argo didatangi pelayat dari kawan SMA 1 Depok, kawan kuliah, hingga ortu yang anaknya berkuliah di UGM meski tak pernah mengenal Argo dan beda fakultas.
Disulut Isu Kesenjangan di Kampus
Tragedi yang menimpa Argo pada Sabtu dini hari menyita perhatian publik luas. Bukan semata karena melibatkan dua mahasiswa dari kampus ternama, UGM, tapi karena kontras begitu mencolok: sebuah sedan BMW dikendarai mahasiswa kelas internasional cum anak orang kaya versus mahasiswa pengendara Vario cum anak peraih beasiswa dan ortu tunggal.
Tagar #JusticeForArgo pun mengemuka di media sosial, mendorong agar aparat penegak hukum menegakkan keadilan yang juga jadi harapan keluarga korban. Sosiolog UGM Derajad Sulistyo Widhyharto menyebut di kancah media sosial memang muncul isu kesenjangan selain kecelakaan di balik kejadian tewasnya Argo.
ADVERTISEMENT
“Algoritma di media sosial mendorong romantisme kita terhadap argumen-argumen (teori) kekuasaan yang sebenarnya kita tidak asing dengan itu: bahwa si kecil tertindas, ada kesenjangan kaya-miskin, itu luar biasa,” kata Derajad kepada kumparan.
Derajad mengatakan teori kekuasaan di media sosial itulah yang menyebabkan munculnya diskusi di ‘Naik BMW, berarti anak orang kaya’, ‘Ada gosip bapaknya orang terpandang di Sumut dan masuk golongan kaya di sana,’ hingga ‘Isu (keluarga penabrak) dekat dengan keluarga menteri’.
Diskusi kesenjangan makin meruncing senyampang peristiwa tabrakan diproses hukum, beredar video di media sosial pada 27 Mei bahwa pelat BMW Christiano Tarigan yang tengah diangkut truk menuju Polsek Ngaglik pasca menabrak Argo menunjukkan pelat F 1206. Padahal, saat difoto oleh wartawan kumparan Yogyakarta, Arfiansyah Panji, pada Senin (26/5), pelatnya ialah B 1442 NAC.
ADVERTISEMENT
Kapolresta Sleman, Kombes Pol Edy Setyanto Erning Wibowo, mengatakan pukul 09.00 WIB pada hari kejadian ada seseorang berinisial IV yang mengganti pelat nomor BMW Christiano. Ia mengakui polisi baru mengetahui dari netizen medsos.
Setelah ditelusuri, polisi juga menemukan empat pelat nomor berbeda di BMW Christiano. BMW itu diduga juga pernah terekam memakai pelat bernopol S 3 X (dibaca SEX) yang mana narasi ini juga viral di medsos.
“Memang hasil keterangan kita yang disampaikan oleh tersangka, dia sering ganti-ganti pelat itu memang untuk gaya-gayaan dia,” kata Kombes Edy.
Derajad mengamati latar belakang materi mahasiswa yang masuk kampus di era kini sudah berubah. Sehingga tak heran jika mobil para mahasiswa–yang notabene dari fasilitas orang tua– justru mengalahkan jenama mobil dari para dosennya.
ADVERTISEMENT
“Kadang saya parkir di kampus kalah dengan mahasiswa itu. [Parkir] dipisahkan, tapi karena penuh otomatis [dosen tak bisa parkir]. Kalau satpam enggak tahu, dia (mahasiswa) tiba-tiba masuk, ditinggal kuliah gimana cara mengumumkannya?” kata Derajad.
Perbedaan Kelas Imbas Sistem Pendidikan
Selain di UGM dengan kasus Christiano sebagai pengendara BMW yang kerap berganti-ganti pelat demi gaya-gayaan, rupanya mahasiswa membawa mobil ke kampus menjadi fenomena jamak di berbagai kampus negeri.
Pantauan kumparan di Universitas Indonesia, Depok, mobil mahasiswa kerap ‘mejeng’ di pinggir jalan Lingkar Utara kampus di dekat Klinik Satelit UI Makara menuju pangkalan Bis Kuning (Angkutan Dalam Kampus) sekira 200-250 meter di lajur kanan-kiri jalan.
Mobil mejeng pinggir jalan UI juga kerap terlihat di jalan menuju CCIT FT-UI di mana terlihat juga mobil-mobil mewah seperti Pajero Sport hingga BMW terparkir di sana.
Di Universitas Padjadjaran penggunaan mobil oleh mahasiswa juga marak. Meski Unpad punya parkiran terpusat yang luas di dekat Pusat Pelayanan Basic Science kampus Jatinangor, begitu masuk jam-jam padat kuliah, mobil mahasiswa kerap berjejer padat di pinggir jalan utama kampus melintasi sepanjang FEB hingga Fikom.
ADVERTISEMENT
“Bahkan kalau datang ke UGM namanya Lapangan Pancasila, sekarang sudah jadi parkir mobil. Begitu besar meningkatnya penggunaan kendaraan. Zaman saya tahun 90-2000-an itu masih belum signifikan [yang bawa mobil],” kata Derajad.
Menurut Derajad, kelas sosial di kampus tercipta tak lepas dari sistem pendidikan di mana Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak lagi disubsidi dengan adanya status Badan Hukum (PTN-BH). Status itu membuat PTN harus mandiri secara finansial dan mencari ceruk pendapatan sendiri.
Di antara ceruk tersebut ialah dengan menciptakan kelas internasional yang mahal dengan menarget mahasiswa yang tidak disubsidi negara, tapi memang mencari pelayanan alias servis. Derajad menyebut di UGM mahasiswa kelas itu bisa membayar dari Rp 25-80 juta per semester.
ADVERTISEMENT
“Ini menunjukkan bahwa siapa yang masuk di situ adalah mereka yang dari kalangan kaya. Kalau dulu semua mahasiswa itu reguler, tidak ada kesenjangan fasilitas dan si kaya-si miskin. Ini akibat di mana kampus diberi kebebasan untuk mencari pendapatan, dan yang mereka tangkap adalah mengklasifikasikan mahasiswa dalam berbagai kelas tadi,” jelasnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengamini kondisi tersebut. Ia menambahkan bahwa selain kelas internasional, kelas tercipta dengan adanya jalur mandiri yang mempertimbangkan kemampuan membayar untuk diterima di kampus.
Menurutnya dengan menciptakan kelas tadi, orientasi kampus sudah berubah. Bukan lagi bagaimana kampus bisa dijangkau seluruh rakyat, tetapi menjadi mencari keuntungan/uang.
“Ketika kampus sekarang nyari uang, hal-hal prinsipil seperti bagaimana membina kultur di kampus yang egaliter itu mungkin tidak kepikiran lagi, karena yang kepikiran bagaimana supaya operasional bisa terbayar, supaya independen secara ekonomi,” kata Ubaid.
ADVERTISEMENT
Meski tak memungkiri ada kelas-kelas sosial yang diciptakan oleh kampus sendiri, Derajad menyebut mahasiswa di kampus bakal mengikuti kegiatan yang sama sehingga mendorong iklim yang lebih egaliter. Contohnya ialah audiensi duduk bersama dengan dekan secara rutin di Fisipol UGM hingga kegiatan Kuliah Kerja Nyata.
Walau demikian, menurut Ubaid, kegiatan KKN yang bermasalah mesti dievaluasi sebab ia menganggap KKN terkadang hanya formalitas belaka. Ia merujuk pada fenomena KKN di sebagian wilayah di mana mahasiswa justru diusir warga karena dianggap mengolok-olok fasilitas desa.
“Mestinya KKN itu bentuk pengabdian kampus terhadap masyarakat dan prosesnya bisa bertahun-tahun, bisa sejak mahasiswa masuk,” kata dia.
Bagaimana Menumbuhkan Sikap Setara di Kampus?
ADVERTISEMENT
Maraknya penggunaan mobil di kampus, yang di antaranya mewah, dan akhirnya menyulut isu kesenjangan di balik meninggalnya Argo, menurut Ubaid, menguak perasaan adanya ketidakadilan sosio-ekonomi, perlakuan berbeda, dan kecemburuan sosial di lingkungan kampus.
ADVERTISEMENT
Namun Derajad mengakui tidak mudah untuk mengadakan larangan khusus di UGM agar mahasiswa tak membawa mobil ke lingkungan kampus. Sebab ada kelas mahasiswa yang membayar untuk servis seperti di kelas internasional.
Problema sulitnya membatasi penggunaan mobil juga terjadi Unpad dan UI.
Direktur Kemahasiswaan Unpad Inu Isnaeni menyebut, pada dasarnya kampus memiliki semangat untuk menciptakan hubungan yang egaliter. Sehingga tidak ada ketimpangan yang terlalu mencolok antara mahasiswa satu dan yang lain karena mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Namun demikian untuk menciptakan kesetaraan di bidang transportasi, perlu ada dukungan transportasi publik yang memadai untuk mencapai kampus–selain juga edukasi kepada mahasiswa agar tak membawa mobil di dalam kampus.
Unpad sebenarnya memiliki angkutan yang mengitari wilayah dalam kampus seperti Bis Kuning di UI. Meski begitu, kampus tidak serta merta bisa melarang mahasiswa membawa mobil, apalagi bagi mereka yang setiap hari pulang pergi dari Bandung.
ADVERTISEMENT
“Karena kita tidak tahu setiap orang punya mobil apa saja, kemudian pertimbangan mereka menggunakan kendaraan seperti apa,” ujarnya.
Secara pribadi, Inu sebenarnya ingin agar ada parkir terpusat di luar kampus sehingga mahasiswa bisa parkir di sana. Selebihnya, untuk ke fakultas mahasiswa bisa menggunakan angkutan dalam kampus agar lebih egaliter sebagaimana sistem “park and ride” di MRT.
Plh. Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional UI, Emir Chairullah, juga menyebut tak ada pelarangan mobil mewah secara formal di kampusnya, karena sulit untuk melarang mobil yang merupakan fasilitas orang tua. Saat ini, imbauan tegas untuk tak membawa mobil sebenarnya berlaku hanya bagi mahasiswa tahun pertama kuliah di UI.
Yang paling mungkin, menurut Emil, ke depan UI berencana membatasi mahasiswa membawa mobil di lingkungan kampus karena merebaknya mobil di kampus menimbulkan kemacetan di jalanan kampus dan makin sempitnya ruang parkir. Ia mengamini dosen di UI kadang mengomel karena kalah cepat rebutan tempat parkir dengan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalaupun dia masuk (mobil mahasiswa) mesti izin seperti langganan per tahun. Cuma harganya relatif mahal, kecuali dosen ya,” kata Emil.
Sistem langganan mobil ini pernah dirasakan juga oleh Inu ketika berkuliah di Nagoya University, Jepang, pada 2011. Jadi mahasiswa yang diperbolehkan membawa mobil harus memenuhi aturan jarak minimal rumah-kampus dan mesti mendaftarkan kendaraannya ke Direktorat Sarpras kampus, lalu membayar parkir selama satu tahun.
Kampus memberlakukan kebijakan itu dengan catatan karena transportasi publik dianggap sudah memadai.
“Di Jepang saya bayar setahun sekitar Rp 2 jutaan tahun 2011 ketika saya mulai bawa mobil. Waktu masih dekat enggak bisa bawa, pakai kereta atau sepeda. Tapi ketika saya tinggal di perumahan pemerintah yang agak jauh, saya apply,” kata dia.
Dengan memberlakukan sistem langganan untuk memarkir mobil di kampus, Inu mengakui setiap mobil bakal terdata di kampus. Setiap mahasiswa juga bakal diberi kartu langganan sehingga meningkatkan keamanan kalau-kalau ada yang berani mencuri mobil di kampus (tidak akan bisa keluar).
ADVERTISEMENT
Sayangnya untuk menerapkan sistem ini perlu menerapkan pula sistem satu pintu jalan keluar-masuk mobil (one gate system)–di UI ini sudah diberlakukan. Namun di Unpad, kondisi ini sulit diberlakukan karena akan membatasi akses keluar masuk kampus dari masyarakat sekitar yang bersinggungan dengan wilayah kampus.
Ke depan, menurut Inu, harus ada win-win solution jika memang ada pembatasan mobil ke kampus, misalnya berdasarkan jarak minimal untuk membawa kendaraan pribadi.
“Jadi kalau untuk teman-teman yang kosnya di Jatinangor enggak usah pakai kendaraan pribadi, bisa jalan kaki,” kata dia.
Menurut Ubaid, kampus mesti membuat suasana pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi) berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Semua itu menurutnya mesti diinisiasi dari kampus.
ADVERTISEMENT
“Bukan kampus seperti showroom mobil yang memperlihatkan kemewahan yang justru itu berjarak dengan masyarakat,” tegas Ubaid.
Ke depan, Ubadi menyebut problem yang diatasi juga bukan semata-mata memberi batasan tertentu pada si kaya untuk tidak membawa mobil mewah dan dorongan berlaku egaliter, tapi perlunya mendorong agar kampus makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.