Presiden Tak Bisa Dimakzulkan karena Kebijakan, Tapi Bisa Dipersoalkan

1 Juni 2020 14:12 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Denny Indrayana, pengacara Prabowo-Sandi. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Denny Indrayana, pengacara Prabowo-Sandi. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi tidak bisa diberhentikan hanya karena pengambilan kebijakan penanganan virus corona. Sebab, kebijakan dinilai tak termasuk dalam syarat pemakzulan yang diatur dalam pasal 7A UUD 1945. Meski demikian, masyarakat tetap bisa menyoal kebijakan pemerintah melalui jalur lain.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dalam webinar bertema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi COVID-19' yang digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA).
"Terkait COVID-19, kalau itu sepanjang terkait kebijakan, maka kebijakan saja bukan alasan untuk bisa presiden bisa dimakzulkan," kata Denny, Senin (1/6).
Denny menyebut ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan masyarakat bila mempermasalahkan kebijakan pemerintah dalam menangani COVID-19.
Misalnya terkait Perppu penanganan corona yang diterbitkan Presiden Jokowi. Denny menyebut bahwa Perppu yang kini sudah tercatat UU Nomor 2 Tahun 2020 itu bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Sebagai informasi, Perppu mengenai corona digugat oleh Amien Rais dan Din Syamsuddin tak lama setelah diterbitkan Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Perppu itu sudah disepakati untuk menjadi UU. MK segera mengambil keputusan mengenai gugatan tersebut.
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat menghadiri Peringatan Hari Lahir Pancasila di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (1/6). Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Hal lain misalnya soal kebijakan Kartu Prakerja yang nilainya triliunan rupiah. Menurut dia, kebijakan itu bisa digugat ke Mahkamah Agung.
"Semisal aturan terkait implementasi kartu prakerja yang menganggarkan pelatihan online Rp 5,6 triliun," kata Advokat Utama Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) itu.
Ia pun mengatakan langkah hukum lain bisa melakukan menggugat keputusan tata usaha negara ke PTUN. Atau hingga mengajukan class action bila masyarakat merasa dirugikan.
"Ini alternatif-alternatif yang bisa dilakukan untuk menyoal kebijakan COVID-19 secara hukum," kata dia.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.
ADVERTISEMENT