Pro dan Kontra Vaksin Nusantara yang Digagas Terawan

20 Februari 2021 8:44 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Usai di-reshuffle dari Kabinet, eks Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, sedang fokus mengembangkan vaksin corona. Vaksin Nusantara yang digagas Terawan bersama timnya itu sedang menjalani uji klinik di RS Kariadi Semarang.
ADVERTISEMENT
Vaksin Nusantara merupakan kerja sama antara PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, Universitas Diponegoro (Undip), dan juga RSUP dr. Kariadi.
"Uji klinis I yang selesai dengan hasil baik, imunitas baik dan hasil safety [baik]. Kan uji klinis I mengontrol safety dari pasien. Dari 30 pasien, imunogenisitasnya baik," klaim Terawan di sela kunjungannya di RSUP dr Kariadi, Selasa (16/2).
Namun, hal tersebut belum terbukti sebelum BPOM RI sebagai pemegang otoritas obat-obatan memberikan lampu hijau. Saat ini, mereka masih mengevaluasi calon vaksin corona tersebut di uji klinik fase I.
"Kita mengawal proses uji klinisnya. Saat ini masih masuk uji klinik fase I. Proses tahap I sudah selesai dilaksanakan, saat ini BPOM dalam proses evaluasi data-data yang disampaikan," kata Kepala Subdirektorat Penilaian Uji Klinik dan Pemasukan Khusus BPOM, Siti Asfijah Abdoellah.
Terawan Agus Putranto saat meninjau persiapan uji klinis fase II vaksin Nusantara di RSUP dr. Kariadi Semarang. Foto: Dok. Istimewa
Sel dendritik
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan metode konvensional , Vaksin Nusantara menggunakan platform sel dendritik atau sel imun yang menjadi bagian dari sistem imun. Pengembangbiakan vaksin COVID-19 dengan sel dendritik akan membentuk antigen khusus, kemudian membentuk antibodi.
Itu sebabnya, Vaksin Nusantara bersifat personal, alias tidak memasukkan virus yang dimatikan atau komponennya ke dalam tubuh seperti vaksin pada umumnya. Vaksin dibuat dari darah penerima vaksin yang diambil sel dendritiknya.
Setelah itu, sel dendritik calon penerima vaksin akan dikenalkan pada antigen virus corona untuk membentuk memori. Usai sel dendritik penerima vaksin mengenal antigen virus corona, sel tersebut akan disuntikkan kembali ke dalam tubuh mereka untuk membentuk antibodi.
"[Platformnya pakai] sel dendritik karena komponen yang digunakan adalah komponen dari sel darah putih yang setiap orang punya. Prosedurnya, dari subjek (orang) itu, kita ambil sel darah putih kemudian kita ambil sel dendritik. Lalu di dalam lab, kita kenalkan [sel dendritik] dari rekombinan virus SARS-CoV-2," ujar anggota tim peneliti Vaksin Nusantara, dr Yetty Movieta Nency, di Semarang, Rabu (17/2).
ADVERTISEMENT
"[Ketika] sel dendritik [sudah] bisa mengenali, sudah tahu bagaimana mengantisipasi virus, kemudian dia (orang) kita suntikan kembali (lewat vaksin)," imbuh Yetty.
Yetty mengeklaim Vaksin Nusantara 90 persen dibuat dari bahan-bahan di Indonesia. Hanya antigen rekombinannya yang masih bekerja sama dengan Amerika Serikat, tetapi pengelolaannya semua di dalam negeri.
dr. Yetty Movieta Nency, Sp.A(K), peneliti Vaksin Nusantara dari RSUP Dr Kariadi Semarang. Foto: Dok. RSUP Dr Kariadi
Klaim keunggulan
Yetty menjabarkan berbagai keunggulan Vaksin Nusantara. Tim memprediksi harganya akan murah, yakni di bawah Rp 200 ribu.
Selain itu, Yetty menjamin Vaksin Nusantara aman digunakan, termasuk untuk orang yang memiliki penyakit penyerta (comorbid).
"Aman. Karena memakai darah kita sendiri, kemudian memicu tubuh untuk menimbulkan kekebalan. Tidak ada tambahan bahan-bahan ajuvan. Tidak ada komponen bagian dari binatang, jadi insyaallah halal. Karena tidak ada komponen benda-benda yang kita curigai," urai Yetty.
ADVERTISEMENT
Yetty juga mengeklaim pembuatan Vaksin Nusantara hanya membutuhkan waktu satu minggu. Selama proses pembuatan, pihaknya tidak memerlukan cool box atau tempat penyimpanan yang biasanya berharga cukup mahal.
"Pembuatan vaksin hanya butuh waktu satu minggu, dari awal hingga proses inkubasi. Prosedurnya, dari subjek itu, kita ambil sel darah putih kemudian kita ambil sel dendritik. Lalu di dalam laboratorium dikenalkan dengan rekombinan dari SARS-COV-2. Sel dendritik bisa mengantisipasi virus lalu disuntikkan kembali, nanti akan melawan virus corona yang masuk," ujar Yetty.
"Oh, enggak [disimpan di cool box], semuanya diproses di laboratorium. Kalau sudah jadi, kita bawa dan kita suntikan di subjek," imbuh dia.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kanan) berbincang dengan anggota Komisi IX DPR sebelum mengikuti Rapat Dengar Pandapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8). Foto: Puspa Perwitasari/Antara Foto
Siapa yang mendukung Vaksin Nusantara?
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyambut baik proses pengembangan Vaksin Nusantara. Menurutnya, Vaksin Nusantara merupakan sebuah terobosan menggunakan sel dendritik yang diharapkan mampu diproduksi secara massal.
ADVERTISEMENT
"Kami tentu mengapresiasi dan menyambut baik proses pengembangan Vaksin Nusantara, yang sedang menjalani uji klinis fase II ini. Saya pikir, vaksin COVID-19 yang diprakarsai oleh dr Terawan ini kan bersifat personalized, menggunakan sel dendritik dan dapat diproduksi secara massal dalam waktu singkat," kata Dasco.
"Ini sebuah terobosan dan inovasi yang ditawarkan anak bangsa, di tengah persoalan vaksinasi dan masih tingginya angka penularan virus COVID-19 di banyak negara," tuturnya.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Foto: DPR
Vaksin Nusantara yang juga digarap tim Undip dan RSUP dr Kariadi Semarang ini didukung oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Jika nantinya vaksin dinyatakan lolos uji, pihaknya siap menggunakannya untuk masyarakat.
"Tentu saya siap dan mendukung penuh. Kalau nanti itu sudah diuji, seperti GeNose dulu, kami siap menggunakannya. Tinggal nanti dari industrinya seberapa bisa melakukan itu," kata Ganjar.
ADVERTISEMENT
"Kalau nanti umpama butuh tempat lain untuk penelitian, umpama butuh rumah sakit lain sebagai tempat riset, saya siap mendukung penuh. Tujuh rumah sakit daerah milik Pemprov akan saya berikan semuanya untuk itu," tegasnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Foto: Pemprov DKI Jakarta
Selain didukung Dasco dan Ganjar, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menilai Vaksin Nusantara memiliki prospek yang bagus. Dia berharap uji klinik yang tengah dilakukan berjalan lancar.
"Saya dapat laporan dari Pak Terawan saat beliau masih menjadi Menkes, sekilas prospeknya bagus," kata Muhadjir dilansir Bengawan News.
"Ini menjadi satu langkah yang bagus untuk memperbanyak alternatif vaksin yang akan digunakan di Indonesia," ujar Muhadjir.
Menteri Sosial Ad Interim, Muhadjir Effendy dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Evaluasi Program Rehabilitasi Sosial di Jakarta. Foto: Dok. Istimewa
Kontra dari para IDI dan para ahli
Meski demikian, pengembangan Vaksin Nusantara gagasan Terawan diingatkan banyak pihak, utamanya para ahli dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
ADVERTISEMENT
Salah satu yang memberi masukan adalah Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Slamet Budiarto. Ia meminta Terawan dan tim dapat lebih bijak, terutama berkaitan dengan publikasi.
Sebelum disampaikan luas kepada masyarakat, menurut Slamet, ada baiknya vaksin menjalani dulu sisa tahapan uji klinis. Baik di tahap I,II, dan III.
"Jadi intinya vaksin itu bukan jamu, asal klaim itu enggak bisa. Kalau jamu klaim saja, ini kan kalau vaksin nanti akan diukur antibodinya berapa, kan begitu. Masih panjang jalannya," ujar Slamet.
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
Slamet menyarankan Terawan dan tim peneliti vaksin Nusantara menyusun hasil uji klinik tahap satu dalam format yang lebih ilmiah. Menurut Slamet, format ilmiah tersebut nantinya justru akan sangat berguna bagi tim peneliti.
ADVERTISEMENT
"Uji klinik pertama kalau enggak salah keamanan baru 30 orang. Nanti kedua efektivitas kan. Kan belum ada hasilnya, sebaiknya jangan dipublikasi dulu. Kalau publikasi, ya, publikasi saja hasil uji klinis I itu secara ilmiah. Bukan konsumsi wartawan," ucap Slamet
"Ini baru uji klinik I sudah ada pernyataan ini bisa [menghasilkan antibodi] seumur hidup, ini bisa ini ono, itu kan aneh. Harusnya lebih hati-hati bahwa vaksin itu bukan konsumsi untuk pencitraan atau apa, itu konsumsi untuk kesehatan. Jadi harus betul-betul ilmiah," kata Slamet.
Ketua Satgas COVID-19 IDI, Zubairi Djoerban. Foto: Facebook/Zubairi Djoerban
Senada, Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI, Prof. Zubairi Djoerban, menyoroti klaim vaksin Nusantara bisa menghasilkan antibodi seumur hidup.
"Mana buktinya?" kata Zubairi dalam akun Twitternya.
"Data uji klinis fase duanya saja belum ada, apalagi fase tiga. Jadi, jika mau bicara klaim, tentu harus dengan data. Harus dengan evidence based medicine. Jangan membuat publik bingung," tutur Prof Zubairi yang juga Ketua Satgas Penanganan COVID-19 IDI ini.
ADVERTISEMENT
Zubairi mempertanyakan apakah bukti dan data pengembangan vaksin Nusantara sudah lengkap. Zubairi mendukung setiap penelitian, tapi semuanya harus transparan.
"Sekali lagi, saya mendukung upaya eradikasi, seperti vaksin. Tapi perlihatkan kepada publik datanya. Biar tak gaduh," tegas dia.
Pengembangan vaksin ini juga mendapat saran dan masukan dari dr Ines Atmosukarto, pemegang gelar doktor molekuler dan biologi seluler dari Universitas Adelaide, Australia.
Menurut Ines, proses pengembangan Vaksin Nusantara sebetulnya tidak janggal karena setelah uji klinis I bisa masuk uji klinis II. Namun yang menjadi aneh adalah karena datanya belum terlihat.
"Ini yang menjadi pertanyaan banyak orang. Data uji klinis I belum terlihat dan belum diupdate ke data uji klinis global. Seharusnya tercatat semua di situ, terakhir saya cek belum ada update hasil uji klinisnya. Apakah vaksin tersebut aman, datanya belum aman," tutur Ines.
Dr Ines Atmosukarto, ahli biomolekuler dan vaksinolog. Foto: jcsmr.anu.edu.au
"Tidak janggal selama dia mendapat izin dari Komite Etik, setiap protokol uji klinis dapat izin dari mereka. Yang perlu dicari Komisi Etik mana yang mengizinkan ini, apakah mereka sudah mendapatkan data yang lengkap," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Ines mempertanyakan apakah pendekatan sel dendritik Vaksin Nusantara masuk akal untuk penggunaan skenario wabah yang disebabkan virus. Sebab, pendekatan secara dendritik biasanya digunakan untuk imunoterapi kanker.
"Tidak ada vaksin dendritic cell untuk virus. Kenapa? Karena prosesnya mahal. Enggak mungkinlah kita melakukan pendekatan ini untuk memvaksinasi orang sehat, ini enggak masuk akal. Prosesnya rumit mungkin dan enggak mungkin dilakukan secara massal," kata Ines.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga diungkapkan ahli wabah dari FKM UI, Pandu Riono.
"Riset vaksin ini bermasalah sejak awalnya, hanya karena Terawan dengan menggunakan wewenangnya sebagai Menkes, memaksa harus dilakukan," kata Pandu di akun Twitternya.
Menurut informasi yang didapat Pandu dari beberapa koleganya di Balitbangkes, mereka yang tidak setuju pengembangan vaksin ini diduga akan disingkirkan. Dia juga mempertanyakan persetujuan dari BPOM sebagai otoritas yang berwenang.
ADVERTISEMENT
"Cerita yang beredar di Kemenkes, bila tidak setuju, tentu disingkirkan. Apakah ada persetujuan dari BPOM untuk melaksanakan uji fase 1?" tutur dia.
Epidemiolog UI, Pandu Riono. Foto: Dok. Pribadi
Padahal menurut Pandu, dalam sebuah penelitian ilmiah melibatkan manusia, harus ada persyaratan demi keselamatan dan keamanan.
"Ada diskusi-diskusi di Balitbangkes yang masih meragukan [calon vaksin itu]. Diskusi ilmiah biasa. Karena sebagai Menkes mungkin bilang, enggak usah diskusi-diskusi, yang penting dilaksanakan," tutur doktor dari University of California Los Angeles ini.
"[Meragukan] Ini wajar karena ingin diperbaiki proposalnya. Kemudian keselamatan yang diambil gimana, apakah yang diambil darahnya ada kompensasi atau tidak. Penelitian pada manusia harus melewati itu semua, subjek penelitiannya tidak terlanggar hak-haknya," pungkas Pandu.