Problem Bantuan Pandemi untuk Penyandang Disabilitas

14 Juni 2020 10:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tunanetra dari Himpunan Disabilitas Netra Indonesia saat tiba di kantor Kementerian Sosial, Senin (4/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tunanetra dari Himpunan Disabilitas Netra Indonesia saat tiba di kantor Kementerian Sosial, Senin (4/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Skema bantuan pemerintah untuk penyandang disabilitas jadi persoalan di lapangan. Banyak penyandang disabilitas tak memperoleh haknya. Selain itu, sementara paket bantuan bagi masyarakat nondisabilitas dapat diantar langsung ke pintu rumah, kalangan disabilitas harus mengambilnya sendiri ke kantor sekretariat organisasi.
Beberapa bulan belakangan, Eka Setiawan mencemaskan nasib penyandang tunanetra. Ketua Bidang Pemberdayaan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) ini merasa pemerintah belum terlalu memperhatikan kaum disabilitas di tengah pandemi COVID-19.
“Di beberapa kesempatan, Presiden Jokowi—mohon maaf—justru hanya menyebut teman-teman ojol, petani, nelayan; tapi disabilitas tidak pernah disinggung,” keluhnya kepada kumparan.
Padahal, menurut Eka, tunanetra masuk kategori kelompok rentan terdampak. Di kalangan tunanetra saja, ia memperkirakan hanya 10 persen yang punya kesempatan bekerja di sektor formal. Sementara 90 persen mencari nafkah di sektor informal. Kebanyakan bekerja sebagai pemijat. Anggota Pertuni sendiri diperkirakan berjumlah 3 ribuan orang.
Ketika pandemi virus corona baru menerjang dan protokol kesehatan untuk menghindari interaksi langsung diterapkan, praktis mereka kehilangan pencaharian.
“Logikanya tidak mungkin kita memijat tanpa bersentuhan. Jadi profesi ini dan teman tunanetra itu yang paling terdampak,” ucap Eka.
Saat pemerintah menggelontorkan tujuh skema bantuan bagi masyarakat terdampak COVID-19, tidak satu pun yang memberi prioritas bagi kelompok disabilitas.
Kelompok disabilitas yang ingin memperoleh bantuan harus ikut dalam “program bantuan umum”. Alhasil, mereka dipaksa “berebut” bantuan dengan masyarakat nondisabilitas.
Padahal, dengan keterbatasan kondisinya, segala macam persyaratan bantuan belum tentu bisa dipenuhi kelompok disabilitas. Maka awal Maret lalu, Pertuni beserta organisasi penyandang disabilitas bersurat ke Kementerian Sosial. Mereka meminta agar kaum disabilitas punya jalur khusus bantuan.
Kemensos akhirnya mengakomodasi permintaan itu. Pada awal April, bantuan khusus bagi kelompok disabilitas digelontorkan. Masalahnya, hal itu belum dinikmati semua tunanetra di seluruh daerah. Tunanetra yang memperoleh bantuan, berdasarkan data Pertuni, sebagian besar baru yang berada di Pulau Jawa.
“Saya dikejar-kejar teman-teman Pertuni di daerah, masih banyak yang belum tersentuh. Yang baru-baru ini telepon saya dari Papua,” tutur Eka.
Belum lagi, masalah penyaluran bantuan yang tidak serempak. Di beberapa daerah, penyandang tunanetra baru mendapat satu kali bantuan selama tiga bulan masa tanggap darurat COVID-19.
Tunanetra dari Himpunan Disabilitas Netra Indonesia di kantor Kementerian Sosial. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Di lapangan, distribusi bantuan juga menimbulkan problem tersendiri. Mahretta Maha, seorang tunanetra yang aktif di organisasi disabilitas, mengeluhkan mekanisme penyaluran bantuan yang menyulitkan bagi tunanetra.
Ia menjelaskan alur bantuan dari Kemensos. Kemensos akan menyerahkan bantuan melalui organisasi penyandang disabilitas (OPD). Selanjutnya, tunanetra yang berhak mendapat bantuan terpaksa harus mengambilnya sendiri ke sekretariat organisasi.
“Sekarang juga kan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), biaya ambilnya juga ditanggung sendiri, sementara mereka enggak punya duit. Jadi agak dilematis,” Retta menceritakan masalah yang dihadapi para tunanetra.
Eka memperkirakan, setelah dikurangi biaya akomodasi, nilai bantuan yang diterima tunanetra hanya tersisa sekitar Rp 200 ribuan. Retta punya cerita bagaimana bantuan sembako untuk penyandang tunanetra yang pernah didapat OPD dari pemerintah justru menjadi masalah.
Suatu ketika datang bantuan dari pemerintah berupa ratusan paket sembako. Satu paket berisi mi instan, telur, beras, susu, dan sarden. Persoalannya, penyandang tunanetra jelas kesulitan mengelola ratusan paket bantuan itu.
“Sampai ke anggota ada yang susunya tumpah, telurnya pecah-pecah,” keluh Retta.
Kondisi itu kontras dengan mekanisme pemberian bantuan bagi masyarakat dari kalangan nondisabilitas. Mereka bisa mendapat kiriman bantuan langsung ke pintu rumah yang diserahkan langsung lewat aparat pemerintahan.
Paket bantuan sosial di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Retta meminta mekanisme bantuan bagi disabilitas ditinjau ulang. “Paling tidak diberikannya berupa kupon atau scan barcode kartu. Dikasih kartu untuk belanja dengan isi cash sekian per bulan. Itu kan pemanfaatannya jauh lebih simpel buat tunanetra.”
Ia juga menyoroti kelemahan data disabilitas yang dimiliki pemerintah. Akibatnya, OPD kebagian beban tanggung jawab untuk memverifikasi dan mendata tunanetra.
Data itu pertama-tama dikumpulkan oleh OPD. Kemudian, daftar disabilitas yang berhak mendapat bantuan disetor ke Kemensos.
Keterbatasan tunanetra membuat urusan pendataan ini menjadi rumit. Terlebih, OPD melakukan pendataan melalui sambungan telepon.
“Buat tunanetra agak ribet karena data itu mereka minta nomor NIK, KTP, dan dan KK. Kalau yang suami istri tunanetra dua-duanya kan mereka juga sulit dong, pasti mentok di NIK, nomor KTP dan KK,” Retta menambahkan.
Problem lainnya adalah OPD hanya bisa menjangkau penyandang disabilitas yang menjadi anggotanya. Menurut Retta, tidak semua disabilitas bergabung dalam organisasi.
“Kalau enggak terdata ya pasti lewat,” ujarnya.
Dia mendesak pemerintah memperkuat data penyandang disabilitas dengan memanfaatkan struktur aparaturnya. Sebab, tidak mungkin tugas itu dibebankan kepada OPD yang juga punya keterbatasan.
Menteri Sosial Juliari P. Batubara. Foto: Dok. Kemensos
Ketika dikonfirmasi kumparan, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara mengakui kelemahan jajarannya dalam mendata kelompok disabilitas. Data disabilitas pemerintah memang centang perenang.
Kemensos setidaknya punya tiga sumber data rujukan jumlah penyandang disabilitas. Yang jadi masalah, ketiga data itu tidak selaras satu sama lain.
Survei Badan Pusat Statistik 2018 menunjukkan terdapat 30,38 juta jiwa penyandang disabilitas pada tahun itu. Jauh berbeda dengan data terpadu kesejahteraan sosial di bawah pengelolaan Kemensos yang mencatat terdapat 1,3 juta jiwa disabilitas per Januari 2020.
Lain lagi identifikasi berdasarkan sistem informasi penyandang disabilitas yang cuma mencatatkan angka 197.582 jiwa penyandang disabilitas. Maka, wajar ketika bantuan bagi disabilitas di masa pandemi ini karut-marut.
Kemensos kini tengah berusaha mengintegrasikan data disabilitas melalui data kependudukan. Dirjen Rehabilitasi Sosial telah berkirim surat kepada Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil pada 3 Mei 2020.
Berdasarkan data Ditjen Rehabilitasi Sosial, baru dua tahap bantuan Kemensos untuk penyandang disabilitas yang terealisasi. Itu pun keduanya hanya mencakup wilayah Jabodetabek yang disalurkan pada April lalu.
Menurut Juliari, mekanisme distribusinya melalui balai-balai rehabilitasi atau lembaga kesejahteraan sosial yang dikelola pemerintah. Selain itu, lembaga yang dikelola masyarakat juga menjadi salah satu opsi saluran bantuan.
Soal keluhan penyandang disabilitas yang tidak mendapat bantuan, Juliari berkata, “Yang penting dari 100, jangan sampai 50 atau 60 yang komplain. Kalau 20-30 komplain ya sudahlah, mau dibilang apa, karena enggak mungkin kami bisa menyenangkan semua pihak.”
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak corona.