Prof Amin Soebandrio

Prof Amin: Vaksinasi Corona RI Masih Rendah, Tak Bijak Lepas Masker

16 Juni 2021 16:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio. Foto: Youtube/@DPMPTSP DKI Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio. Foto: Youtube/@DPMPTSP DKI Jakarta
ADVERTISEMENT
Beberapa negara telah mencabut aturan memakai masker di tengah pandemi COVID-19. Sebab, vaksinasi di negara-negara tersebut telah memenuhi target. Di antaranya seperti beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan Israel.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof. Amin Soebandrio menilai langkah tersebut belum bisa diterapkan di Indonesia. Musababnya, vaksinasi di Indonesia masih jauh dari target.
"Terkait dengan vaksinasi misalnya di Amerika Serikat sudah mencapai 50 persen dan sudah dibolehkan lepas masker, pendapat kami berdasarkan pengetahuan kami saat ini untuk Indonesia, walaupun vaksinasi sudah berjalan, presentasinya relatif masih sangat kecil. Kelihatannya belum bisa dianggap bijaksana untuk bisa melepaskan masker karena risikonya masih terlalu tinggi," kata Amin dalam RDP di DPR RI Komisi VII, Rabu (16/6).
Diketahui, Sebanyak 40.349.049 sasaran vaksinasi COVID-19 tahap I dan II ditargetkan menerima vaksinasi. Namun, baru 53,13 persen atau 21.448.774 orang yang menerima suntikan dosis vaksin ke-1.
ADVERTISEMENT
Sementara, baru 29,28 persen atau 11.815.618 orang yang divaksinasi dua dosis. Artinya, baru 6,5 persen dari target 181,5 juta jiwa untuk mencapai kekebalan kelompok.
Melanjutkan tanggapannya, Amin pun berharap calon vaksin COVID-19 dalam negeri, vaksin Merah Putih, nantinya bisa memenuhi target vaksinasi nasional. Namun, ia meminta masyarakat mengerti bahwa vaksin Merah Putih harus melewati sejumlah tahapan.
Ilustrasi Perempuan Memakai Masker dengan Katur Pernapasan Foto: Shutter Stock
Sehingga butuh waktu hingga vaksin ini rampung dan dapat dipakai masyarakat Indonesia.
"Indonesia karena ini baru pertama kalinya kita membuat vaksin sendiri dari nol hingga kami membutuhkan waktu yang agak sedikit lebih panjang daripada beberapa negara lain. Memang diharapkan sih kita bisa menyuplai setidaknya 50 persen dari kebutuhan vaksin COVID-19 ini," jelas dia.
Selengkapnya, kata Amin, proses pengembangan vaksin ada 2 tahapan utama, yaitu tahapan Research and Development (RnD), dan tahapan industri, termasuk di dalamnya adalah uji klinik 1, 2,dan 3. Pada situasi normal, RnD itu butuh waktu 3-5 tahun.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, uji klinik bisa memakan waktu 5-10 tahun. Dengan situasi pandemi ini, 7 institusi yang mengembangkan vaksin Merah Putih termasuk Eijkman, sudah berupaya meningkatkan beberapa proses. RnD kini bisa diselesaikan dalam waktu 1 tahun.
"Tapi kemudian proses industrialisasi nya hirulirisasinya itu butuh waktu sekitar enam bulan, kemudian dilanjutkan dengan uji klinik. Uji klinik itu ada tiga fase, masing-masing minimum 6 bulan sebetulnya. Tapi kita bicarakan dengan BPOM itu disingkat menjadi totalnya 8 bulan. Itu fase 1 tidak perlu sampai selesai sekali, di tengah-tengah kalau ada interim report kita boleh lanjut," paparnya.
"Fase 2 juga demikian, kalau hasilnya sudah kelihatan menjanjikan maka di tengah-tengah kita bisa mendapatkan interim report dan melanjutkan ke fase 3. Oleh karena itu uji klinik fase 1, 2, dan 3 diharapkan bisa selesai dalam waktu 8 bulan. Oleh karena itu total pengembangan vaksin Ini Membutuhkan waktu lebih dari 18 bulan totalnya, WHO juga mengindikasikan seperti itu," pungkas dia.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten