Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Prof Taufik, Guru Besar California Polytechnic State yang Punya 2 Hak Paten
11 Februari 2022 15:00 WIB
·
waktu baca 12 menitSelama berkarier sebagai akademisi di Amerika Serikat (AS), Taufik tekun mengembangkan riset di sana-sini. Bersama rekan-rekannya, ia berhasil mengantongi hak paten untuk “System Method and Apparatus for a Multi-Phase DC-to-DC Converter” dan “Multiple Input Single Output DC-DC Converter with Equal Load Sharing on the Multiple Inputs”.
Pada tahun 2021 lalu, dosen kelahiran tahun 1969 itu menyerahkan hasil risetnya bersama rekannya, Owen Jong, berjudul “Zero Voltage Switching Hybrid Voltage Divider”. Riset tersebut masih diproses untuk disetujui sebagai paten di AS.
“Jadi, (paten) yang pertama itu dengan dosen di Indonesia, yang kedua dengan mahasiswa saya, yang ketiga dengan former (bekas) mahasiswa saya. Dulu dia dengan saya tugas akhirnya,” jelas Taufik saat dihubungi kumparan, Senin (7/2).
Sejauh ini paten-patennya tersebut belum ada yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, dirinya pun akan sangat senang apabila ada industri yang mau bekerja sama dengannya.
Menurut Taufik, proses mendapatkan hak paten di AS gampang-gampang susah. Selain biayanya tak murah, mengajukan paten juga memakan waktu. Kala itu, Taufik memilih mengajukan lewat kampusnya, Cal Poly.
“Kalau di kampus, itu lebih murah buat kantong saya kalau melalui Cal Poly. Karena harus bayar, kan, kalau mengajukan paten itu bayar. Karena kan pake lawyer di sini, harus pakai penguasa hukum. Bisa sampai belasan ribu (dolar AS). Nah, kalau enggak mau ngeluarin biaya sama sekali, ya, harus lewat Cal Poly, apalagi kalau patennya dikembangkan di Cal Poly,” terangnya.
Awalnya, Taufik harus mengisi formulir yang akan diteruskan pihak kampus ke kuasa hukum. Selanjutnya, kuasa hukum tersebut akan mengirim ke kantor paten. Proses ini bisa memakan waktu hingga 3 tahun lamanya, itu pun kalau disetujui.
Ia mengaku saat menunggu persetujuan paten yang kedua, setelah dua tahun, dirinya harus kembali menjelaskan beberapa poin pada pihak paten.
“Jadi diulang lagi, dijawab lagi, itu makan waktu 1 tahun lagi,” imbuhnya.
Selain mempunyai hak paten, Prof Taufik juga beberapa kali mendapat penghargaan atas risetnya. Tahun 2018 lalu, ia memboyong Distinguish Scholarship Award. Penghargaan tersebut diberikan oleh rektor kepada dosen terpilih berdasarkan kegiatan penelitiannya.
Berawal dari Beasiswa
Kecintaan Prof Taufik dengan dunia riset dan dunia teknik elektro tak lepas dari minatnya terhadap dua mata pelajaran di masa sekolah: Matematika dan Fisika. Usai lulus SMA di Jakarta, dia sempat diterima di perguruan tinggi ternama seperti UI dan STAN. Namun, ia mengambil kesempatan beasiswa yang disponsori Program Habibie.
Saat ditanya ingin jurusan apa, dia memilih jurusan yang tergolong ‘umum’ saat itu, yakni Teknik Elektro dan Teknik Mesin. Ia juga sempat memilih negara-negara yang menurutnya maju di bidang teknologi, seperti Jerman dan Jepang sebelum akhirnya mendapat kesempatan mengejar program sarjana di Electrical Engineering dan minor di Computer Science, Northern Arizona University, Amerika Serikat pada 1989.
“Mungkin karena saya kurang tahu dulu, ya, yang dibutuhkan, tuh apa di Indonesia. Jadi saya pilih yang umum yang mayoritas paling dibutuhkan di Indonesia. Dikasihnya yang Elektro,” jelas Taufik.
Lulus dengan gelar Bachelor of Science pada tahun 1993 ternyata masih membuat Taufik ingin menggali bidang elektro lebih dalam. Dia lantas melanjutkan pendidikan ke University of Illinois at Chicago, jurusan Electrical Engineering and Computer Science dan lulus pada Mei 1995.
Tak sampai di situ, Taufik kembali jadi mahasiswa untuk mengambil program doktoral di Electrical Engineering, Cleveland State University.
Setahun sebelum lulus di tahun 1999, Prof Taufik baru tertarik untuk menjadi dosen. Sebelumnya, ia mengaku masih bingung ingin jadi apa, padahal sudah S3. Apa alasannya?
“Suatu saat saya jadi TA (Teaching Assistant), ada mahasiswa yang minta bantuan saya di kantor. Kan, waktu itu satu kantor, satu lab dengan dosen pembimbing saya. Beliau dari Chile. Ternyata beliau memperhatikan saya saat membantu mahasiswa. Suatu saat dia mendekati saya, lalu bilang ‘Hey, Taufik, pernah kepikiran enggak, bahwa mungkin kamu akan bagus kalau jadi dosen daripada kerja di industri,’ kata beliau gitu,” kenang Taufik.
Dosennya saat itu beranggapan bahwa Taufik sangat cakap, baik dari segi ilmu maupun komunikasi, sehingga profesi dosen cocok untuknya. Ucapan sang dosen lalu terngiang, mendorong Taufik untuk bekerja di bidang akademis.
“Pertama kali saya berpikir untuk berkarier di bidang akademis menjadi dosen. Jadi saya sangat berterima kasih sekali dengan dosen pembimbing saya. Yang ternyata benar, ya, saya lulus S3 langsung mencoba menjadi akademi, sampai sekarang alhamdulillah sangat enjoy, ya, menjadi dosen di sini,” imbuhnya.
Usai 10 tahun belajar sebagai mahasiswa di AS, ia merasa pengalaman dan ilmu yang didapatkan masih terbatas pada lingkup akademis sebagai mahasiswa. Itu saja baginya belum cukup.
“Saya pingin waktu itu akan lengkap lagi kalau saya dapat pengalaman dan ilmu dengan cara sebagai profesional. Maka saya putuskan berkarier di AS,” kata Taufik.
Setelah memulai kariernya sebagai akademisi, Taufik menjalankan kewajibannya di bidang pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Sama seperti istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia. Dari sanalah dia menekuni riset. Meskipun bukan fokus dari universitasnya, namun dia merasa harus menjalankan di bidang Teknik Elektro.
“Mungkin 5-8 tahun baru paham dengan sistem akademis di sini. Perbedaannya dengan Indonesia, misalnya, proses kenaikan pangkat, pengumpulan poin untuk naik pangkat. Jangankan Indo dengan Amerika, antara universitas di AS bisa berbeda. Ada yang harus publikasi sekian, ada yang harus jadi ketua ini dulu minimum, macam-macam lah. Detail-detail seperti ini yang harus saya pahami. Karena nanti kalau tidak, bisa salah strategi,” jelas Taufik.
Terhitung sejak 1989 hingga 2022, Taufik sudah 33 tahun tinggal di AS . Tentu bukan waktu yang sebentar untuk membangun karier.
Ada kiat yang ia bagikan agar tetap cemerlang di negeri orang . Membangun keberanian diri adalah salah satunya. Bagi Taufik, tak ada kata malu dalam kamusnya saat mencoba kesempatan-kesempatan bagus.
Sejak jadi mahasiswa hingga Guru Besar, ia telah aktif sebagai volunteer di berbagai kegiatan jurusannya. Tak jarang, ia juga mengajukan diri menjadi ketua. Menurutnya, jika tidak berani, maka akan lebih lama lagi proses adaptasi di sana.
Taufik mengatakan, selain itu dibutuhkan mentor atau dosen pembimbing yang bisa mendukung setiap prosesnya.
“Tentunya peranan mentor itu penting, sama seperti di Indonesia. Harus ada mentor yang mumpuni, lah. Alhamdulillah saya dapat mentor yang sangat bisa membimbing saya waktu itu. Saya sangat-sangat aktif di kampus. Yang paling berat saat jadi ketua akreditasi di jurusan. Padahal itu, kan, tugas yang sangat berat, ya. Tapi alhamdulillah bisa teratasi,” ujarnya.
Taufik ‘NFN’ dan Jadi Dosen Favorit
Punya nama yang terdiri atas satu kata saja seperti Taufik memang lumrah bagi orang Indonesia. Tapi tak demikian dengan warga Amerika Serikat, sebab nama mereka biasanya terdiri atas nama depan dan nama belakang. Di kampus, Prof Taufik mempunyai julukan spesial karena tak memiliki nama depan, yakni Taufik NFN.
Semua berawal saat Taufik mengajar di hari pertama kuliah, seorang mahasiswa memanggilnya NEFEN.
“Nama saya bukan NEFEN. ‘Iya kok nama kamu NEFEN’. Ah enggak, nama saya Taufik. Lalu dia nunjukin, ‘Ini, namanya NEFEN’, iya, waduh kurang ajar ini. Lalu saya jelaskan (namanya Taufik saja),” kata Taufik sambil tertawa.
Ternyata, tanpa sepengetahuannya, pihak kampus mengubah nama pertamanya menjadi NFN alias No First Name (tanpa nama pertama). Alhasil, namanya menjadi Taufik NFN. Selama beberapa tahun, Taufik tak tahu nama itulah yang tersimpan pada data kampusnya, sampai mahasiswa tadi memanggilnya NEFEN.
Taufik bukan dosen sembarangan. Di departemen Electrical Engineering, namanya beberapa kali tercatat sebagai profesor favorit, dosen terbaik, hingga jadi dosen paling berpengaruh. Ini baru secuil dari segudang penghargaan yang ia terima sepanjang kariernya.
Menurut Taufik, ada beberapa faktor yang menjadikan seorang dosen bisa sebegitu berpengaruhnya pada mahasiswa. Yang pertama adalah faktor keilmuan dalam mengajar.
Setiap mengajar, hal yang ia tekankan kepada mahasiswa adalah mengurangi hapalan dan tingkatkan pemahaman. Menurutnya percuma saja kalau menghapal persamaan tapi tak paham konsepnya. Taufik mengaku tidak menggunakan teknik khusus saat mengajar. Ia memilih untuk ‘memancing’ ketertarikan mahasiswa lewat contoh atau aplikasi dari materi.
“Jadi mahasiswa akan tertarik dulu. ‘Ini, loh, konsep dari aplikasi yang akan kita diskusikan hari ini’. Ya, tentunya yang relevan dengan mereka, yang bisa mereka pahami. Nanti setelah mudah-mudahan menarik perhatian mereka, baru saya mulai ajarkan persamaannya. Kalau sudah selesai seperti itu, biasanya saya tambah dengan simulasi, ya. Kalau sudah selesai, saya balikan lagi ke aplikasi, jadi balik lagi muter ke awal,” jelasnya.
Faktor lain dalam mengajar, yang Taufik sebut faktor X, adalah dosen itu sendiri. Seorang dosen harus semangat juga saat menerangkan materi.
“Kalau dosen saja sudah enggak antusias, gimana mengharapkan mahasiswanya jadi tertarik, ya, kan? Apalagi kalau konsep-konsep yang susah. Dan biasanya akan lebih tajam lagi kedua faktor ini, kalau sudah punya beberapa tahun pengalaman mengajar, ya,” imbuh dosen yang mengidolakan almarhum BJ Habibie ini.
Kegigihan Taufik dalam berkontribusi di kampus Cal Poly membawanya pada salah satu pencapaian besar dalam hidup. Tahun 2009, ia diangkat menjadi Profesor atau Guru Besar. Meskipun seremoninya tak sebesar pengangkatan Guru Besar di kampus-kampus Indonesia, Taufik sangat bangga.
“Kalau di sini cuma secarik kertas aja dari rektor, udah. Cuma bagi saya, orang pendatang, apalagi dari Indonesia–jarang, ya, dosen Indonesia–itu pencapaian mendapatkan promosi jadi guru besar,” kenangnya.
Pencapaian itu sekaligus menjawab keinginan sang ayah–seorang pensiunan Bintara TNI AL–waktu itu. Sayang, Ayah Taufik berpulang setahun sebelum pengangkatan Taufik jadi Guru Besar.
“Padahal tiap kali pulang ke Indonesia itu almarhum ayah saya selalu tanya, ‘Sudah jadi Guru Besar, belum? Sudah jadi Guru Besar, belum?’. Beliau meninggal tahun 2008, saya dapatnya 2009,” ujar Taufik.
Proyek DC House, Kontribusi untuk RI
Pada tahun 2011, Prof Taufik memulai proyek DC House bersama Universitas Padjadjaran. Melalui proyek ini, masyarakat pedesaan bisa menikmati listrik dari arus DC yang didapat dari matahari dan angin, tanpa menggunakan aliran AC dari PLN. Proyek DC House ini pun masih berjalan hingga kini, bahkan sukses menggaet 14 partner internasional.
Taufik mengungkapkan, proyek tersebut terinspirasi dari pengalaman masa kecilnya. Saat ia tumbuh di Tanjung Priok, Jakarta Utara, ia masih merasakan sulitnya hidup tanpa akses listrik.
“Meskipun saya tinggal di Jakarta, tapi dulu enggak ada listrik, loh, itu. Pakai lampu semprong waktu itu, mungkin sampai kelas 3 SD, kalau TV pakai aki, jadi masih ngerasain,” kenangnya.
Ia pun melihat masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang belum terjamah listrik, begitu pun di negara-negara lainnya. Dengan latar belakang pendidikannya di bidang elektro, Taufik ingin berkontribusi untuk orang banyak.
Saat ini ia tengah merencanakan proyek baru, yakni Hybrid AC-DC yang diperuntukkan bagi masyarakat perkotaan yang memiliki akses PLN. Teknologinya cocok bagi rumah-rumah yang memiliki panel surya, sehingga mampu menghasilkan listrik yang lebih hemat energi.
“Saya pikir ini kontribusi yang mudah-mudahan bisa saya berikan dari sisi keilmuan saya untuk enggak hanya untuk Indonesia tapi juga dunia,” harap Taufik.
Masa Depan RI dan Energi Terbarukan dan Mobil Listrik
Pemerintah Indonesia saat ini sedang gencar mempersiapkan proyek transisi ke Energi Terbarukan, termasuk peralihan ke PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel). Prof Taufik merasa optimis dengan rencana penggunaan PLTS.
“Menurut saya iya, (PLTS) mengurangi emisi karbon, karena solar panel jejak karbonnya sangat-sangat minimum lah dibandingkan pembangkit listrik yang bahan bakarnya fosil. PLTD itu masih sangat berpolusi,” jelasnya.
Dari segi dampaknya terhadap lingkungan, Prof Taufik juga merasa PLTS jauh lebih aman. Sebab, untuk membangkitkan listrik, PLTS menggunakan sinar matahari sehingga lebih sustainable dan bersih.
Jika didalami lagi, sesungguhnya masih ada efek lingkungan lainnya, seperti bagaimana baterai pada PLTS bisa jadi sampah lingkungan.
“Cuma kalau dibandingkan dengan polusi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik yang besar-besar itu, yang dari fosil, secara umum masih jauh lebih baik dengan PLTS,” tambah Taufik.
Pada September 2020 silam, Menteri BUMN Erick Thohir bertolak ke Seoul, Korea Selatan untuk melobi perusahaan LG Chem terkait rencana membangun pabrik baterai mobil listrik di Indonesia. Dikutip kumparan dari Pulsenews, Pemerintah Indonesia telah menyebut LG Chem sebagai salah satu industri yang akan merelokasi pabriknya ke kawasan industri di Kabupaten Batang, Jawa Tengah dengan nilai investasi sebesar USD 19,8 miliar.
Terkait hal ini, Prof Taufik mengatakan pembangunan pabrik baterai mobil listrik itu sangat strategis di Indonesia. Sebab, saat ini perkembangan mobil listrik di dunia cukup pesat. Akan lebih baik jika Indonesia mampu selangkah di depan dalam mempersiapkan industri yang bakal melejit ini.
“Saya lihat dari aspek transfer teknologinya, dengan membuat industri baterai mobil listrik di sini, mudah-mudahan nanti akan nge-trigger industri-industri yang berhubungan dengan mobil listrik lainnya. Syukur-syukur nanti bisa bangun mobil sendiri,” katanya.
Meski begitu, Taufik merasa Indonesia harus berhati-hati jika suatu saat membangun infrastruktur mobil listrik.
“Yang namanya mobil listrik itu, kan, harus di-charge juga, charge-nya itu kan besar listriknya. Kalau pembangkitnya jauh, kalau tidak hati-hati membangun infrastrukturnya, nanti akan banyak juga hasil polusi dari men-charging vehicle. Jadi, kan, lithium-cells dialirkan dari jarak jauh ya dari pembangkit yang jauh ke charging point itu kan dalam prosesnya ada daya yang hilang, dan akhirnya pembangkitnya harus membangkitkan lagi listrik yang lebih tinggi,” jelas Taufik.
Oleh karena itu, menurut Taufik, pembangkit listrik bagi mobil listrik idealnya berbentuk desentralised atau terpusat di satu tempat. Misal, pembangkit listrik ada di gedung itu dalam bentuk PLTS panel surya, charging station-nya ada di gedung itu juga agar supply listrik akan lokal saja dan tak banyak energi yang terbuang.
Rencana Kembali ke Indonesia
Menjadi Guru Besar di kampus bergengsi dengan pengalaman mengajar dan riset yang mumpuni memunculkan pertanyaan: Bagaimana jika suatu saat Indonesia memanggil Taufik untuk pulang?
Jawaban Taufik simpel saja. Ia bersedia pulang jika mendapat peluang yang lebih baik.
“Bagi saya itu syarat utama. Asalkan perpindahan itu disertakan dengan pemberian peluang yang lebih bagus untuk saya untuk mengembangkan ilmu saya dan juga menerapkan ilmu saya. Nah, itu yang saya cari,” katanya.
Namun, ia tak setuju jika peluang itu hanya ‘mengajar’ semata. Sebab, selama ini ia sudah sering memberikan kuliah tamu di universitas-universitas di Indonesia via Zoom meeting dari AS.
Taufik menambahkan, “Jadi apa yang dikembangkan kalau begitu? Kalau untuk sekadar mengajar, dengan adanya teknologi ini saya bisa dari Amerika, enggak harus di Indonesia secara fisik, kan. Tapi lain-lainnya kayak pengembangan riset saya, syukur-syukur kalau itu bisa diaplikasikan di Indonesia. Kalau ada kesempatan untuk itu, kenapa tidak? Itu baru kesempatan yang lebih baik namanya.”