Prof Zubairi: Banyak Warga Telepon Hotline RS Tak Diangkat Akhirnya Meninggal

6 Agustus 2021 10:32 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
Ketua Satgas COVID-19 IDI, Zubairi Djoerban. Foto: Facebook/Zubairi Djoerban
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Satgas COVID-19 IDI, Zubairi Djoerban. Foto: Facebook/Zubairi Djoerban
ADVERTISEMENT
Ketua Satgas IDI Prof Zubairi Djoerban menyoroti kematian corona di Indonesia yang masih amat tinggi. Saat ini sudah melebihi 100 ribu jiwa.
ADVERTISEMENT
Sementara itu menurut data tim mitigasi IDI kematian dokter juga masih mengkhawatirkan. Sudah 640 dokter gugur di masa pandemi.
"Dan, bisa saja angka sebenarnya itu jauh lebih tinggi. Apa yang membuat angka kematian begitu meroket ya?" kata Zubairi dalam akun Twitternya, Jumat (6/8).
Zubairi menjelaskan, kondisi di Indonesia dua bulan terakhir sebenarnya bisa menjawab pertanyaan itu. Ada antrean panjang pasien COVID-19 untuk mendapatkan tempat tidur di rumah sakit.
"Kurangnya pasokan oksigen, isoman yang kurang tertangani, ya alhasil 30 ribu-an orang meninggal hanya pada bulan Juli saja," tutur dia.
Faktanya menurut dia, rumah sakit memang mengalami kekurangan oksigen dan terisi jauh melebihi kapasitas jumlah pasiennya. Sehingga makin sulit untuk merawat dengan intens, bahkan ada yang terpaksa menolak pasien karena penuh. Pada sisi lain, tenaga medis dan kesehatan juga kewalahan.
ADVERTISEMENT
"Laporan dari lapangan, puskesmas dan pasien itu memang kesulitan menghubungi hotline rumah sakit. Mereka coba menghubungi namun tidak ada yang angkat. Akibatnya, ambulans dari puskesmas tidak bisa jalan ke rumah sakit. Pasien pun tidak tertangani dan akhirnya meninggal," urai Ketua Dewan Pertimbangan IDI itu.
"Jadi, saya mohon banget, hotline di rumah sakit itu dibuka dan direspons. Karena ambulans dari puskesmas baru bisa berangkat kalau rumah sakit yang dituju memberi jaminan. Namanya hotline ya harus merespons, apa pun kondisinya. Paling tidak memberi informasi faktual saat itu," sambung dia.
Kemudian ada juga yang patut jadi sorotan. Yaitu keberadaan laboratorium yang menjadi tempat tes antigen dan PCR.
"Ini kan banyak sekali. Harusnya mereka itu punya kewajiban untuk memberikan konsultasi dan merujuk pasien ke puskesmas atau rumah sakit," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, bukan cuma setelah hasil tes diberikan, disudahi begitu saja. Modelnya bisa mirip-mirip dengan tes HIV dulu.
Yakni bersamaan hasil tes keluar dari lab, sudah sepaket dengan konsultasi dan memberi jalan kepada pasien untuk melakukan apa. Ini harus jadi concern.
"Belum lagi soal isoman. Ini juga menjadi isu. Banyak sekali orang yang melakukan isoman tapi tidak punya pengetahuan cukup--dan sebenarnya memerlukan konsultasi dengan dokter. Alhamdulillahnya, di beberapa daerah, mereka sudah melakukan telemedicine untuk pasien isoman," jelasnya.
"Saya kira ini bagus sekali dan saya salut kepada teman-teman dokter yang sudah melaksanakannya. Semoga, daerah yang sudah melakukan telemedicine dan berhasil, bisa menjadi prototipe daerah lain untuk melakukannya juga," tutup Prof Zubairi.
ADVERTISEMENT