Profesor dari Australia Sebut PPHN Berpotensi Akhiri Sistem Pemilu Langsung

17 September 2021 17:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo memberi hormat sebelum menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberi hormat sebelum menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Amandemen UUD 1945 untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) menuai penolakan luas. Selain itu, wacana amandemen dikhawatirkan dapat melebar, membuka kotak pandora yang salah satunya adalah perpanjangan masa jabatan presiden.
ADVERTISEMENT
Profesor Tim Lindsey dari Melbourne Law School, Australia, bahkan menilai penetapan PPHN berpotensi untuk menghilangkan pemilu langsung. Sebab melalui PPHN, MPR dikhawatirkan baik langsung atau tidak dapat menentukan siapa presiden yang bakal menjabat.
“Apabila konstitusi diamandemen untuk berikan kekuasaan kepada MPR untuk membuat PPHN, sangat mungkin mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada MPR dalam menjalankan PPHN akan diterapkan kembali. Nah, MPR akan mempunyai kekuasaan legislatif kembali, serta akan memiliki kekuasaan besar ke presiden, lalu akhirnya pemerintah,” kata Lindsay dalam diskusi di Youtube Integrity Law Firm, Jumat (17/9).
“Lagipula jika MPR dapat kewenangan membuat presiden bertanggung jawab kepadanya dan mungkin dengan mudah memakzulkannya, maka akan timbul pertanyaan, kenapa tidak sekalian saja MPR memiliki kewenangan untuk memilih presiden seperti di orde baru? Dengan kata lain, usulan PPHN ini dapat mengakhiri sistem pemilihan Presiden langsung,” imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Lindsey berpendapat pembatasan masa jabatan presiden dua periode adalah indikator utama dari kesehatan demokrasi di Indonesia. Sementara PPHN sejatinya adalah upaya menerapkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di zaman Orde Baru.
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPR Puan Maharani meninggalkan ruang sidang paripurna seusai menghadiri sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Komplek Parlemen, Senayan. Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Apalagi jika mengingat ide PPHN kembali menghangat setelah dipicu pernyataan Ketua MPR sekaligus politikus Golkar, Bambang Soesatyo.
“Bukan kebetulan ketika Bamsoet yang merupakan pendukung PPHN, juga pernah usulkan MPR punya kekuasaan milih presiden. Bayangkan ada Indonesia yang MPR-nya berwenang memilih presiden, membuat presiden bertanggung jawab ke MPR atas pelaksanaan PPHN, dan memungkinkan presiden menjabat lebih dari 2 periode,” papar Lindsey.
“Bukankah itu sama dengan Orba? Sekarang bayangkan lagi, Indonesia dengan sistem presiden mengontrol MPR dan karenanya terus menjabat. Itu tanda kembalinya sistem ala Soeharto,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Lindsey mengatakan amandemen UUD 1945 kelima sebetulnya tak sulit terjadi. Mengingat 80% anggota DPR berasal dari partai koalisi, yang notabene dua per tiga-nya anggota MPR.
Kendati demikian, Lindsey memprediksi amandemen tidak akan diproses untuk saat ini. Sebab dia melihat masih ada kekhawatiran-kekhawatiran dari para parpol.
“Akankah Jokowi menyetujui PPHN agar MPR menghapus masa jabatan 2 periodenya? I don’t know. Tapi untuk saat ini, hal seperti itu tidak terjadi, setidaknya belum terjadi. Masih ada kecemasan besar, bahkan ketakutan di kalangan elite politik para oligarki dan pos parpol tentang bahaya proses amandemen dimulai lagi,” papar dia.
Suasana gladi kotor pelantikan Jokowi-Ma'ruf di Ruang Paripurna MPR, Jakarta, Jumat (18/10/2019). Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
“Begitu dibuka, siapa yang bisa jamin ke mana arahnya? Dapatkah ditutup lagi sebelum konsekuensi yang tidak diinginkan terjadi? Ini sindrom pandora box,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Lindsey melanjutkan, kesepakatan yang pasti dan mahal di antara elite politik saat ini belum tercapai. Menurutnya keberlanjutan amandemen akan dilakukan dengan sangat hati-hati, salah satunya karena persaingan elite sendiri.
“Memang PDIP dan Golkar telah lama main mata soal usulan periode ke-3 dan PPHN yang dimotori Bamsoet. Kebanyakan anggota PDIP akan senang liat presiden menjabat. Terlebih Airlangga yang kelihatannya menjadi capres di 2024 mungkin punya kekhawatiran soal persaingan internalnya dengan Bamsoet, sehingga mendukung pengembalian kekuasaan MPR di bawah Bamsoet. Itu spekulasi saya,” tutur dia.
“Tapi bagaimana pun, kita sekarang lihat Golkar mulai menjauh dari usulan PPHN yang mengakibatkan hilangnya dukungan 2/3 forum di MPR untuk mengamandemen konstitusi setidaknya saat ini. Mungkin hal tersebut juga yang buat PDIP menyatakan saat ini bukan momentum tepat untuk usulkan PPHN,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga Lindsey merasa, saat ini akan sulit melakukan amandemen UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Tetapi di sisi lain, dia mengingatkan perpanjangan masa jabatan presiden juga bisa dilakukan dengan jalur lain.
“Kita berbicara Indonesia, di mana situasi perpolitikan cepat berubah cepat dan dramatis. Perlu diingat mungkin ada jalan lain untuk perpanjang masa jabatan presiden, seperti dengan gunakan pandemi sebagai justifikasi untuk menunda pemilu,” tandas dia.