Puisi 'Duka Anak Laut' dari Wakil Ketua KPK untuk Randi

19 Desember 2019 19:38 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peresmian auditorium Randi-Yusuf oleh Pimpinan KPK Laode M Syarif, di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (19/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peresmian auditorium Randi-Yusuf oleh Pimpinan KPK Laode M Syarif, di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (19/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tewasnya dua mahasiswa asal Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Randi dan Yusuf, dalam demo menolak revisi UU KPK bertajuk #ReformasiDikorupsi, sangat membekas bagi Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif.
ADVERTISEMENT
Syarif menjadi perwakilan pimpinan KPK yang meresmikan ruangan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, ACLC KPK. Sebagai bentuk penghargaan KPK, Randi dan Yusuf kemudian dijadikan nama auditorium di sana.
Peresmian ruangan itu diawal dengan diskusi 'Jangan Biarkan Lilin Perjuangan Pemberantasan Korupsi Padam' yang mengenang perjuangan keduanya.
Syarif yang juga lahir di Sultra itu bahkan secara khusus membuat puisi ketika pertama kali mendapat kabar Randi tewas.
"Terus terang saya bikin itu tengah malam jam 2 pagi, malah bukan malam lagi, karena tidak bisa tidur. Itu setelah saya telepon ibunya Randi. Ibunya Randi bilang 'kasian aku e'," kata Syarif di Gedung ACLC KPK, Kamis (19/12).
Pimpinan KPK Laode M Syarif saat dialog publik dengan topik “Jangan Biarkan Lilin Perjuangan Pemberantasan Korupsi Padam” di Gedung KPK C1, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Syarif masih ingat bagaimana percakapannya dengan ibu almarhum ketika itu.
ADVERTISEMENT
"Saya telepon ibunya dan ayahnya, ibunya bilang, (saya) mohon maaf berterima kasih, tapi jawaban ibunya ditelepon cuma bilang 'kasianaku' (kasihan anaku)," ujar Syarif.
Syarif kemudian membacakan puisi yang ia buat untuk Randi. Saat membacakan puisi itu, Syarif terlihat sangat emosional. Bibirnya bergetar. Sesekali mengusap matanya sambil membacanya dengan nada naik turun dengan penegasan.
Berikut isi puisi Syarif berjudul 'Duka Anak Laut':
Anak laut matahari negeri.
Anak laut itu tumbuh di tanah cadas bebatuan Pantai Lakarinta, Pulau Muna. Tumbuh dari singkong dan jagung yang menembus cadas dan air laut yang menyirami hidupnya.
Tanpa peluru, tanpa kesah, menjalani hidup yang memang keras dari awalnya. Di mata La Sali dan Masrifah, dia adalah matahari di antara dua bulan belahan hati.
ADVERTISEMENT
La Sali tekun mengajari mataharinya arah angin dan riak gelombang agar mampu membaca laut.
Bu Masrifah tekun mendidiknya mengenal aksara semampu yang dia pahami.
La Sali sadar, membaca laut dengan hanya bermodal dayung dan kail tidak akan memuliakan mataharinya.
Satu-satunya asah, hanya pada ketekunan dan kekerasan hati mataharinya.
Sang anak laut, tumbuh sesuai kehendak alam menembus cadas menyelami karang.
Sang anak laut tidak bermimpi menjadi matahari. Tetapi dilubuk hatinya dia bertekad meninggikan tiang perahu ayahnya, melebarkan dapur ibunya, dan meluaskan pikiran kakak dan adik-adik perempuannya.
Lewat bidik misi dia awali perantauannya, mengejar matahari, menyelami cara memuliakan ikan.
Bahkan disambi dengan menjadi kuli bangunan demi doa dan harapan orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Hari kamis 26 September 2019, Pantai Lakarinta tenang. Air semilir memanjakan ikan yang melompat riang di balik matahari sore.
La Sali sedang melaut dengan jaring dan kail satu-satunya, demi matahari dan dua bulan yang merantau.
Burung laut bersuara lirih menghampiri perahunya, tetapi tak dihiraukan karena angannya dipenuhi matahari dan dua bulan di tanah rantau.
Ia tambatkan perahunya lalu menuju rumah dengan menghitung langkahnya. Tetapi kali ini berbeda, karena kerabat menjemputnya dalam diam.
Ohaini.. ohaini.. bahasa Muna, artinya ada apa ini.. ada apa ini. Tak ada suara, tak ada jawaban.
Laut nusantara tiba-tiba dingin, ikan terdiam menyirub menunduk.
Anak laut itu melejit jadi matahari, membumbung, menyebar sinarnya, melelehkan getir, yang merenggut raganya dan jiwanya tetap hidup.
ADVERTISEMENT
Bergemuruh di dalam dada anak negeri yang menolak bersekutu dengan kebohongan dan kepalsuan.
Duka anak laut, mengenang Randi.
Suasana auditorium Randi-Yusuf di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (19/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan