news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pukat UGM: Korupsi di Pemda Memprihatinkan, Sudah 561 Kasus Sejak 2004

8 April 2021 22:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi masih menjadi penyakit serius di Indonesia. Hal ini terlihat dari tingginya angka kasus korupsi di segala lini, termasuk pemerintah daerah (Pemda).
ADVERTISEMENT
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Dr. Totok Dwi Diantoro, menyebutkan berdasarkan data KPK, setidaknya terdapat 561 kasus korupsi yang melibatkan Pemda.
“Saya kutip data dari KPK, data dari 2004 sampai 2020, total korupsi daerah kurang lebih 561 kasus, baik di Kabupaten maupun di Provinsi, menempati posisi 49 persen selama kurun waktu tersebut, 16 tahun. Ini tentu memprihatinkan,” kata Totok dalam diskusi virtual pada Kamis (8/4).
Totok menyebut dari banyaknya kasus di Pemda, kepala daerah yang terjerat korupsi di KPK mencapai 143 orang.
“Untuk level kepala daerah ini ada total 143 kepala daerah yg terjerat tipikor. Ini cukup tinggi ya, bahkan ada beberapa daerah ada semacam ‘hattrick’ karena kepala daerahnya atau gubernurnya berkali-kali [korupsi]. Riau itu sampai 3 kali, sampai yang terakhir itu Pak Annas Maamun, korupsi transaksional perizinan,” kata Totok.
Tabel kasus tindak pidana korupsi di pemerintah daerah dari 2004-2020. Foto: Ketua PUKAT UGM
Ia menyebut korupsi di daerah dulu disebabkan adanya pemberian kewenangan yang cukup besar kepada pemerintah daerah. Sehingga mereka berlomba-lomba mencari sumber pendapatan daerah yang berujung ke praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
“Dulu yang menjadi kambing hitam adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. UU ini mengkondisikan kewenangan yang cukup powerful kepada daerah, sehingga kemudian daerah ini berlomba-lomba mencari sumber pendapatan asli daerah dan antara lain dengan mengkomodifikasikan izin soal eksploitasi sumber daya alam,” jelas dosen di Fakultas Hukum UGM ini.
“Kemudian ini mulai dikoreksi dengan UU No. 32 tahun 2004, terakhir UU No. 32 tahun 2014, ada semacam nuansa resentralisasi. Tapi nyatanya, masih ada celah korupsi yang dilakukan Pemda. Termasuk kemudian yang paling mutakhir itu Prof Nurdin di Sulawesi Selatan,” tambahnya.
Totok mengatakan, perlu perbaikan sistem perizinan hingga memperketat pengawasan agar praktik korupsi di Pemda tidak terus berulang.
Tabel kasus tindak pidana korupsi di pemerintah daerah dari 2004-2020. Foto: Ketua PUKAT UGM

Modus Korupsi di Pemda

Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Pujiono Suwadi, menyebut modus korupsi di tingkat Pemda cukup mudah dideteksi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, modus dapat dilihat dari kekayaan daerah. Modus korupsi pada daerah yang kaya sumber daya alam (SDA) dan yang kurang SDA akan berbeda.
“Kalau mau serius, penegak hukum mendeteksi korupsi itu gampang. Kita bicara soal modus ini. Kalau itu daerah kaya akan SDA, ya biasanya [korupsi] soal perizinan. Omnibus Law ini memang menarik beberapa perizinan ke pusat. Tapi bukan berarti izin-izin di beberapa tempat itu tidak ada, ya masih ada yang diserahkan ke daerah. Masih ada yang di daerah yang dikuasai,” papar Pujiono
Lalu, bagaimana dengan daerah yang tidak memiliki kekayaan SDA? Modus yang biasa dilakukan adalah soal proyek-proyek yang berjalan di daerah tersebut.
“Kalau di daerah tidak kaya, maka modusnya biasanya di daerah-daerah miskin SDA itu ya soal proyek pembangunan, bahkan dalam pengadaan atau pemindahan ASN. Biasanya begitu. Jadi, gampang mendeteksinya,” ucapnya.
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Humas KPK
Ia juga menyebutkan modus korupsi bisa dilihat dari konteks belanja dan penerimaan pendapatan daerah.
ADVERTISEMENT
“Kalau penerimaannya itu kan dari pajak retribusi, lalu bantuan dari pusat, termasuk bansos. Terus kalau dari belanja apa, dan yang paling sering kan juga keterlibatan dalam BUMD dan pihak ketiga. Itu memungkinkan untuk terjadinya korupsi,” jelas Pujiono.
Ia menyimpulkan dalam menindak praktik korupsi, para penegak hukum hanya perlu mengawasi lebih ketat dan lebih jeli dalam memperhatikan modus-modusnya. Sehingga, penindakan akan jauh lebih mudah.
“Modusnya itu ya seputar itu saja. Itu kan bisa dilihat. Misal korupsi soal pembangunan, bantuan, perizinan, pasti ada. Melulu-melulu soal itu, pengulangan-pengulangan itu,” pungkasnya.