Pukat UGM soal Pinangki Bebas Cepat: Korupsi Tak Dianggap Kejahatan Luar Biasa

6 September 2022 21:11 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9).  Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari mendapatkan pembebasan bersyarat. Dia bebas lebih cepat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Tangerang, Banten pada Selasa (6/9).
ADVERTISEMENT
Pinangki divonis 4 tahun penjara. Dia ditahan sejak Agustus 2020 dan seharusnya baru bebas murni pada Agustus 2024. Namun, dia mendapatkan remisi 7 bulan sehingga dapat mengajukan bebas bersyarat karena telah menjalani 2/3 masa tahanan.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi atau Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, pembebasan bersyarat Pinangki menjadi bukti bahwa korupsi tak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa di negara ini.
"Dengan pembebasan bersyarat Pinangki ini menunjukkan bahwa korupsi tidak dianggap lagi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Karena seorang terpidana korupsi cukup sebentar saja menjalani pidana kemudian sudah dapat pembebasan bersyarat. Karena mendapatkan banyak remisi," kata Zaenur dihubungi.
Dia mengatakan, apa yang terjadi saat ini lantaran pada 2021 silam, Mahkamah Agung telah membatalkan PP 99 Tahun 2012 yang memberikan batasan pemberian remisi kepada terpidana korupsi.
ADVERTISEMENT
"PP 99 tahun 2012 itu ada 2 syarat utama seorang terpidana korupsi mendapatkan remisi. Yang pertama itu menjadi justice collaborator atau menjadi pelaku yang bekerja sama membongkar kasus korupsi yang dilakukan. Yang kedua itu sudah membayar lunas denda dan uang pengganti," katanya.
Dengan dibatalkannya PP tersebut, maka membuat terpidana korupsi berhak mendapatkan remisi. Remisi pun bisa diberikan banyak sehingga terpidana korupsi bisa mendapatkan pembebasan bersyarat dan kemudian menghirup udara bebas.
"Nah saya melihat ini dengan contoh kasus Pinangki ini pemidanaan yang sekarang dengan tidak adanya pembatasan pemberian remisi gitu ya, menunjukkan bahwa itu sekali lagi korupsi itu bukan lagi extraordinary crime ya bukan lagi kejahatan luar biasa ya," ujarnya.
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman di LBH Yogyakarta, Kamis (9/6/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Bebasnya Pinangki yang cepat ini dinilai membuat tidak adannya efek jera kepada koruptor. Orang kemudian semakin tak takut korupsi karena badannya hanya dipenjara dalam waktu singkat.
ADVERTISEMENT
"Seseorang tidak akan takut melakukan tindak pidana korupsi karena cukup sebentar di dalam lembaga permasyarakatan sudah bisa menghirup udara bebas jadi disinfektif melakukan korupsi itu sangat kecil," tegasnya.
Remisi merupakan instrumen dalam pemasyarakatan. Negara juga tidak melanggar hak asasi jika tidak memberikan remisi kepada terpidana.
Zaenur mengatakan, hal serupa juga berlaku untuk kasus Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang juga mendapat bebas bersyarat dari Lapas Klas IIA Tangerang. Sejatinya, Ratu Atut baru bebas murni pada 8 Juli 2025.
Ratu Atut Chosiyah (ketiga dari kiri) dan Pinangki Sirna Malasari (ketiga dari kanan) bebas bersyarat hari ini. Foto: Dok. Istimewa
Sementara Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Banten, Masjuno, menyatakan Pinangki sudah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat. Termasuk soal syarat sudah menjalani 2/3 masa tahanan.
"Mereka telah memenuhi syarat, lalu yang pasti sudah lebih dari setengah dan mencapai 2/3 masa hukuman penjara, serta berkelakuan baik," ujar Masjuno.
ADVERTISEMENT
Pinangki merupakan mantan jaksa yang terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Mulai dari terima suap USD 500 ribu dari buronan Djoko Tjandra; pencucian uang USD 444.900 atau sekitar Rp 6.219.380.900; hingga pemufakatan jahat menyuap pejabat Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Kasusnya saat itu menggemparkan publik karena sebagai seorang jaksa, dia bisa bertemu dengan mudah dengan seorang buronan. Akan tetapi bukan menangkapnya, Pinangki justru berkongkalikong membantu penyelesaian kasus sang buronan dengan berharap imbalan uang.