Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Putra Papua di Uang Rp 10 Ribu: Frans Kaisiepo dan Keyakinannya Memilih NKRI
7 Agustus 2021 7:00 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Wajah Frans Kaisiepo terpampang di pecahan uang Rp 10 ribu. Frans merupakan pahlawan nasional yang memperjuangkan Papua sebagai wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pilihannya itulah yang membedakan Frans dengan sebagian orang Papua lain saat itu. Termasuk harus berbeda dengan saudaranya yang memilih menyatakan Papua bukan Indonesia.
Awal Kehidupan Frans
Frans Kaisiepo lahir di Biak, Wardo, Papua pada 10 Oktober 1921. Dia adalah salah satu dari beberapa orang elit Papua yang terdidik selama masa bertumbuhnya. Berkat privelesenya itu, Frans pernah merasakan bagaimana duduk di bangku sekolah seperti dirinya yang pernah hadiri sekolah guru agama Kristen di Manokwari hingga saat awal-awal kemerdekaan Indonesia, dia mengikuti sekolah singkat semacam kursus di Papua Bestuur School (Sekolah Pegawai Papua).
Di sekolah pegawai Papua itu, Frans diajar oleh seorang bernama Soegoro Atmoprasodjo. Orang beretnis Jawa dan merupakan seorang Digoelis yang bekerja untuk Belanda yang dulunya adalah salah satu murid di Taman Siswa Ki Hajar Dewantara.
Di pertemuan dengan Soegoro itulah rasa nasionalisme Frans pada Indonesia mulai bertumbuh.
ADVERTISEMENT
“Kita dididik oleh beliau untuk mendidik anak-anak kita, supaya kita tidak menjadi seorang pegawai Irian, akan tetapi menjadi pemimpin dan pengembala di Irian. Di sendiri adalah pemimpin dan pembina bangsa,” tulis Kaisiepo dalam risalahnya yang berjudul Irian Barat tahun 1961 yang dikutip oleh Historia.
Frans bersama dengan beberapa orang dari sekolah tersebut menjadi tokoh perjuangan nasionalisme awal-awal di tanah Papua. Ada Corinus Krey, Markus Kaisiepo and Youwe, Markus adalah sepupu dari Frans.
Menurut Jurnal berjudul The Resistance of People in Papua (1945-1962) oleh Onie M. Lumintang, berkat Frans dan merekalah, Bendera Merah Putih berhasil berkibar di tanah Papua untuk pertama kalinya. Lengkap dengan kumandang Indonesia Raya dalam sebuah upacara bendera tepat tiga hari sebelum proklamasi 17 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Tetap Loyal dengan Merah Putih
Dari semua tokoh perjuangan nasionalisme Papua yang terlibat di upacara bendera, tak semuanya tetap menyatakan Papua adalah Indonesia. Markus Kaisiepo, sepupu dari Frans Kaisiepo, misalnya, memilih Papua untuk berdiri sebagai negara sendiri. Markus memilih tak berpihak kepada Belanda maupun Indonesia saat penyerahan wilayah jajahan Belanda ke Indonesia.
Berdasarkan jurnal berjudul The Right of Self-determination by the Free Papua Movement through International Law Analysis, ada tiga kelompok perjuangan yang berkembang di tanah Papua saat itu. Pertama, mereka yang pro Papua dan bekerja sama dengan Belanda. Kedua, pro Papua dan menolak kerja sama dengan Belanda. Ketiga, mereka yang pro terhadap Indonesia.
Markus adalah yang kedua. Dia menjadi salah satu tokoh yang cukup terkenal di Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi yang kini dicap sebagai teroris oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Frans tetap loyal dengan merah putih. Kesetiaan itu tampak saat Frans menjadi satu-satunya perwakilan orang Papua di konferensi Malino. Dia adalah salah satu penentang yang menolak berdirinya negara federasi Indonesia Timur usulan Belanda.
Sikap keras Frans itu menyebabkan dirinya dijebloskan ke penjara oleh Belanda. Itu tepatnya terjadi saat Frans menolak saat ditunjuk sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Nederland. Frans pun ditahan sebagai tahanan politik sejak 1954 hingga 1961.
Papua adalah Indonesia
Bebas dari tahanan politik, Frans mendirikan partai politik ISI (Irian Sebagian Indonesia) pada 1961. Pendirian parpol tersebut bertepatan dengan tahun yang sama saat operasi TRIKORA. Saat itu, partai ISI terlibat dalam membantu pendaratan pasukan Indonesia yang diterjunkan untuk membebaskan Irian Barat di Mimika.
TRIKORA atau tiga komando rakyat merupakan upaya Indonesia membebaskan Irian Barat (Papua) dari Belanda. Presiden Sukarno mengumumkan seruan operasi ini dalam pidatonya pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Masalah Papua Barat ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 2 November 1949 terkait rencana pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Kerajaan Belanda.
Singkatnya, operasi tersebut berhasil dan Papua secara resmi menjadi bagian dari Indonesia melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1963.
Selang 4 tahun sejak perannya di TRIKORA, Frans pun diangkat menjadi Gubernur Papua pada tahun 1964. Sebagai gubernur, Frans memainkan peranan penting dalam penentuan pendapat rakyat (Pepera) di tahun 1969. Frans sibuk mengkampanyekan memilih Indonesia dibandingkan merdeka dari Indonesia ke masyarakat Papua.
Berkat kesetiaan dan perjuangannya, Frans diberikan gelar pahlawan nasional pada tahun 1993. Tak hanya itu, namanya juga diabadikan sebagai nama salah satu bandara di kampung halamannya. Termasuk di uang pecahan Rp 10 ribu sebagai sebuah pengingat akan jasa-jasanya untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
***
Konten ini merupakan bagian dari Karnaval Kemerdekaan 2021 yang digelar kumparan. Keseruan puncak acara Karnaval Kemerdekaan dapat disaksikan melalui live streaming pada 17 Agustus 2021 pukul 12.00 WIB di platform dan channel YouTube kumparan.