QnA: Iuran BPJS Kesehatan Naik untuk Siapa?

15 Mei 2020 17:25 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat. Foto:  ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo sudah tercatat tiga kali berupaya menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dua di antara batal dan satu kini tengah menuai kontroversi karena dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Kenaikan iuran BPJS pertama dilakukan pada tahun 2016, melalui Perpres No. 19 Tahun 2016. Aturan ini menuliskan iuran peserta BPJS Kesehatan Kelas III semula Rp 25.500 menjadi Rp 30.000. Sedangkan peserta kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 51.000 dan Kelas I semula Rp 59.500 menjadi Rp 80.000.
Kenaikan iuran kelas III lalu dibatalkan setelah pemerintah menerima protes dari berbagai pihak. Sedangkan kenaikan iuran untuk peserta kelas I dan II tetap diberlakukan.
Ketika itu angka defisit BPJS Kesehatan melonjak Rp 9,7 triliun dari Rp 5,7 triliun pada tahun sebelumnya. Tetapi usai iuran dinaikkan, neraca keuangan BPJS Kesehatan belum juga membaik.
Upaya penaikan iuran kedua dilakukan pemerintah ketika ancaman defisit BPJS Kesehatan kian membengkak, dengan potensi kenaikan defisit Rp 28 triliun terjadi di akhir tahun 2019. Pemerintah lalu berkeputusan menaikkan kembali iuran melalui Perpres 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Keputusan kenaikan iuran ini kandas di tangan Mahkamah Agung. Putusan MA No. 7 P/HUM/2020. Putusan itu membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur tentang besaran iuran peserta BPJS Kesehatan.
Presiden Joko Widodo mengecek pelayanan BPJS Kesehatan di RSUD Subang, Jawa Barat, Jumat (29/11). Foto: dok. Biro Pers Kepresidenan
Menurut Mahkamah Agung, tulis putusan itu, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
“Beban ini tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019," imbuh putusan majelis yang diketuai oleh Supandi.
ADVERTISEMENT
Namun pemerintah kembali menaikkan iuran melalui upaya ketiga, yakni menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan ini menjelaskan kenaikan iuran, yakni peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
Selanjutnya, iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 secara bertahap. Pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap sesuai jumlah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 senilai Rp 25.500. Namun nominal tersebut tak berlaku selamanya, karena pengurangan subsidi bakal berkurang di tahun 2021, membuat nominal iuran menjadi Rp 35.000.
ADVERTISEMENT
Kritik pun datang, pemerintah dianggap dugal terhadap putusan MA. Keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dianggap mengabaikan pertimbangan putusan MA tersebut. Meski begitu, pemerintah menganggap neraca keuangan BPJS Kesehatan jadi dalih untuk menaikkan iuran.
Apa yang membuat iuran BPJS Kesehatan terus? Apakah ada yang salah? Mari jawab satu per satu.
Kenapa Pemerintah Ngebet Menaikkan Iuran?
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan jika kenaikan merupakan langkah mendesak untuk menyehatkan BPJS Kesehatan. “Terkait dengan BPJS Kesehatan sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan. Nah tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan,” kata Airlangga dalam konferensi pers virtual, Kamis (14/5).
Selain itu, Deputi II KSP Abetnego Tarigan menjelaskan alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena penerimaan negara yang menurun dampak dari wabah virus corona. "Sebenarnya oleh sebab itu, di dalam konteks potret negara, kita lihat bahwa negara juga dalam situasi yang sulit. Artinya, penerimaan negara juga menurun drastis," jelas Abetnego kepada wartawan, Kamis (14/5).
ADVERTISEMENT
Manajemen BPJS Kesehatan mengklaim jika kenaikan iuran bakal diikuti perbaikan layanan. Neraca defisit jadi biang masalah penyaluran jaminan kesehatan, seperti keterlambatan pembayaran kepada pihak rumah sakit sampai peserta yang mengalami penolakan oleh fasilitas kesehatan.
Menurut BPJS Kesehatan, masalah-masalah itu bakal selesai dengan menaikkan iuran. “Kalau ada isu negara enggak hadir justru negara hadir lebih besar dari sebelumnya,” ucap Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris dalam konferensi pers virtual, Kamis (14/5).
Kenapa Selalu Defisit?
Warga mengisi formulir Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di kantor BPJS Kesehatan Jakarta Pusat. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Kisah BPJS Kesehatan tak bisa lepas dari soal defisit keuangan. Dalam wawancara dengan kumparan, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan jika solusi ampuh menyelesaikan defisit adalah menaikkan iuran. Fachmi menyebut defisit bisa melebar hingga Rp 77 triliun di 2024 bila tidak ada tindakan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Untuk tahun ini, BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 6,9 triliun. Dengan adanya kenaikan besaran iuran, neraca BPJS Kesehatan bisa selamat bahkan surplus Rp 1,76 triliun.
"Dengan kondisi tadi harapannya BPJS Kesehatan 2020 bisa surplus, net-nya Rp 1,76 triliun karena ada carry over (dari 2019) Rp 15,5 triliun," ungkap Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara Kunta Wibawa Dasa Nugraha melalui konferensi pers virtual, Kamis (14/5).
Suasana saat Rapat Gabungan DPR dan Pemerintah membahas BPJS Kesehatan. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Pemerintah telah berulang kali menyuntikkan anggaran negara untuk memompa keuangan BPJS Kesehatan, meski tetap saja berakhir defisit. Saat masa peralihan PT Asuransi Kesehatan (Askes) menjadi BPJS Kesehatan di tahun 2014, pemerintah menyediakan modal awal sebesar Rp500 miliar.
Operasional tahun pertama berujung defisit anggaran Rp 3,31 triliun. Pemerintah lanjut menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun di tahun berikutnya. Itu saja tak menolong keuangan BPJS Kesehatan yang tombok Rp 9,07 triliun.
ADVERTISEMENT
Bantuan pemerintah terus bergulir di tahun-tahun berikutnya, namun tetap berakhir defisit. Misalnya pada tahun 2019, suntikan dana pemerintah sebesar Rp 13,5 triliun masih saja membuat BPJS Kesehatan rugi Rp 15,5 triliun.
Untuk tahun ini saja, pemerintah menyiapkan dana Rp26,7 triliun untuk pembayaran peserta PBI di BPJS Kesehatan. Pos anggaran itu dialokasikan untuk 96,8 juta jiwa yang memiliki besaran iuran Rp42 ribu per jiwa per bulan.
Dari Mana Pangkal Masalah Keuangan?
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris (tengah) usai melakukan pertemuan dengan Ketua DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/1). Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Hasil audit Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) pada Agustus 2019 menyebut jika BPJS Kesehatan tak mampu mengatasi kesalahan data dan kecurangan pengadaan. Misalnya catatan 27,4 juta data peserta tak akurat. BPKP mencatat terdapat 17,17 juta peserta yang mencatat nomor NIK tidak lengkap. Kemudian 10 juta peserta menggunakan NIK ganda.
ADVERTISEMENT
Selain itu, temuan angka pekerja belum terdaftar sebanyak 528.120 orang dari 8.314 badan usaha, serta 2.348 badan usaha tidak melaporkan gaji dengan benar. Hal ini menyebabkan adanya potensi kerugian.
Manajemen BPJS Kesehatan mengaku sudah memperbaiki sistem pendataan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengklaim telah membenahi 16 juta. Namun temuan BPKP 27,44 juta peserta bermasalah bakal masuk perbaikan berikutnya.
"Kami cleansing 16 juta record. Masih ada temuan BPKP 10 juta. Kami usulkan 10 juta ini kepada Kemensos untuk lakukan evolusi kepesertaan dan pemutakhiran data peserta ke Dukcapil," kata Fachmi di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Untuk menanggulanginya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan jika solusi paling memungkinkan adalah dengan menaikkan iuran. "Menyelamatkan BPJS satu tahun itu asumsi tagihan bolong 2019 clean. Rp 32 triliun estimasi defisit harus ditutup dulu kemudian iuran ini baru akan bisa membantu BPJS 2020 namun 2021 defisit lagi," ujar Sri Mulyani dalam rapat gabungan Komisi IX dan XI DPR RI.
ADVERTISEMENT
Apa Pengaruhnya Terhadap Pelayanan?
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Besarnya pengeluaran dibanding pos anggaran yang tersedia membuat layanan BPJS Kesehatan tak maksimal. Sampai bulan Mei 2020, BPJS Kesehatan menunggak pembayaran Rp 4,4 triliun. Hal ini berdampak pada kas rumah sakit yang ujungnya, insiden-insiden penolakan pasien BPJS Kesehatan di beberapa rumah sakit.
Alih-alih menaikkan jumlah iuran, BPJS Kesehatan seharusnya memperbaiki sistem pendataan. Cleaning data yang dilakukan BPJS Kesehatan bersama Kementerian Sosial juga tak mampu memenuhi kebutuhan. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengatakan malah mencabut hak pasien-pasien yang sebenarnya butuh fasilitas layanan kesehatan.
“Banyak orang yang tidak mampu itu terputus. Itu pasien cuci darah kena,” kata Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir. Pasien dengan penyakit kronis lainnya juga ikut terdampak dari pemutakhiran data yang tidak akurat ini.
ADVERTISEMENT
Kalau Memang Harus Naik, Kenapa MA Menganulir?
Putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Foto: Dok. Istimewa
KPCDI mengajukan gugatan terhadap kenaikan iuran yang tertuang dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Jaminan Kesehatan. Mereka menganggap kenaikan iuran bukan kebijakan yang tepat mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang tak siap. Selain itu, defisit neraca keuangan disebabkan permasalahan tata kelola alih-alih nominal iuran.
“Layanan BPJS belum maksimal, masih banyak carut marut,” kata tim pengacara KPCDI Rusdianto Matulatuwa ketika dihubungi kumparan, Rabu (13/5).
MA mengamini tuntutan KPCDI dengan menganulir pasal kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Perpres No. 75 Tahun 2019 dan kembali ke ketentuan sebelumnya. MA menganggap kenaikan iuran bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan. Buruknya manajemen dan pengelolaan BPJS Kesehatan menjadi faktor penting masalah keuangan BPJS.
ADVERTISEMENT
Menurut Mahkamah Agung, tulis putusan itu, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
“Beban ini (defisit karena kesalahan dan kecurangan) tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019," imbuh putusan majelis yang diketuai oleh Supandi.
Putusan ini memaksa pemerintah untuk menerapkan iuran peserta BPJS ke peraturan semula, yakni Rp 25.500 per bulan untuk peserta kelas III, Rp 42.000 per bulan untuk peserta kelas II, dan Rp 51.000 per bulan untuk peserta kelas I.
ADVERTISEMENT
Apakah Pemerintah Harus Mematuhi Ketentuan MA?
Presiden Joko Widodo. Foto: BPMI Setpres/Kris
Mahfud selaku Menko Polhukam yang juga pakar hukum tata negara mengakui jika putusan MA tersebut mengikat dan tidak memberi celah untuk banding. “Oleh sebab itu, yang kita ikuti saja. Pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," ujar Mahfud merespons putusan MA, Maret lalu.
Pemerintah mengklaim jika Perpres ini dibuat sebagai langkah untuk mematuhi putusan MA. Hanya saja, substansi Perpres baru berisi kenaikan yang besarnya hampir senilai dengan Perpres 2019 yang dibatalkan MA.
Pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai pemerintah malah membangkang putusan MA dengan menerbitkan Perpres yang substansinya berisi kenaikan iuran. “Memang putusan MA dilaksanakan (pemerintah), Perpres lama dicabut, tapi muncul Perpres baru yang substansinya kenaikan," ujar Refly kepada wartawan, Kamis (14/5).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Jokowi juga disorot karena tidak langsung menjalankan putusan MA. Butuh dua bulan untuk memberlakukan putusan MA yang diketok 27 Januari. Pemerintah baru benar-benar mengembalikan iuran BPJS ke Perpres Nomor 82 Tahun 2018 pada 1 Mei lalu.
***********
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.
ADVERTISEMENT