Ramai-ramai Tolak Revisi UU KPK Lewat Judicial Review
ADVERTISEMENT
Perlawanan publik yang menolak pelemahan KPK lewat perubahan undang-undangnya tampaknya belum berakhir. Hanya beberapa jam setelah DPR mengesahkan revisi Undang-Undang KPK, wacana untuk menguji materi regulasi itu mencuat.
ADVERTISEMENT
Wacana itu awalnya diutarakan Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta saat menggelar demonstrasi di depan Tugu Pal Putih Yogyakarta. Mereka mengklaim sejumlah elemen masyarakat sudah siap memberikan kajian-kajian terkait judicial review tersebut.
"Sudah dapat kami pastikan setelah nanti diberi nomor dan diundangkan akan ada judicial review dari masyarakat sipil," ujar Zaenurrohman, Koordinator JAK Yogyakarta.
Sementara itu, Sekretaris Bidang Hikmah Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DIY, Ahid Mudayana yang turut ikut aksi menjelaskan sikap Pemuda Muhammadiyah DIY sudah tegas menolak revisi UU KPK. Dia sepakat perubahan UU tersebut akan melemahkan KPK.
Dia mengatakan ada kekuatan besar di belakang Jokowi yang menekan presiden untuk menerima revisi UU tersebut. Dia bahkan menyebut bisa saja Jokowi tersandera oleh koruptor maupun parpol.
ADVERTISEMENT
"Kami khususnya dari pejuang antikorupsi, dan Pemuda Muhammadiyah, tadi sudah sempat berdiskusi, karena ini sudah disahkan, kita akan mencoba melakukan judicial review untuk UU tersebut. Itu satu-satunya jalan, ketika UU sudah disahkan," ujarnya.
ICW juga memastikan akan menggugat UU kontroversial itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pasti pasti, berbagai elemen organisasi, memang belum diutarakan secara langsung, tapi pasti akan melakukan judicial review (JR) ke MK," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhan saat dikonfirmasi, Selasa (17/9).
Gugatan judicial review di MK, menurut Kurnia, sangat dimungkinkan untuk dilakukan menilik dari banyaknya cacat yang ditemukan dalam proses perancangan revisi tersebut.
"Ya sangat memungkinkan dan bisa dipastikan akan ramai JR, karena poin substansinya bermasalah dari sisi perancangannya bermasalah dan juga tidak membuka ruang untuk aspirasi masyarakat," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Sehingga kita berkesimpulan bahwa ini akan banyak banjir JR yang mana ini akan menunjukkan buruknya pembuatan legislasi yang dilakukan DPR dan pemerintah," lanjut Kurnia.
Selain itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Abdul Jamil, mengajak seluruh perguruan tinggi di Indonesia mengajukan mosi tidak percaya terkait revisi UU KPK.
"Kami akan melakukan mosi tidak percaya kepada siapa pun pihak yang tetap mendukung adanya revisi UU KPK. Siapa pun yang mendukung," ujar Abdul di sela-sela aksi tolak pelemahan KPK dan revisi UU KPK di Kampus UII, Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta, Kamis (12/9).
Akan tetapi, jika sampai revisi UU KPK disahkan nantinya, Abdul memastikan pihaknya tak akan tinggal diam. Ia akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
"Kalau menjadi undang-undang, maka upaya kami adalah melakukan judicial review. Itu upaya kami," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Kejahatan Ekonomi UII Ari Wibowo mengatakan apabila Presiden Jokowi menerbitkan Surat Presiden (surpres), berarti sudah tidak ada jalan lain selain mosi tidak percaya.
"Sebenarnya kita harapkan untuk menarik, tapi kalau dilihat kontemplasinya sulit diharapkan untuk menarik surat presiden kepada presiden. Oleh karenanya dalam pernyataan pers kita akan menyatakan mosi tidak percaya," kata Ari.
Sedangkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko merespons rencana ini dengan santai. Menurutnya, pengajuan gugatan ini merupakan hak masyarakat.
"Itu kan haknya publik, hak publik enggak bisa kita batasi. Tapi yang paling penting, proses politik harus dilihat secara jernih supaya masyarakat tidak salah dalam melihat," ungkap Moeldoko di Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).
ADVERTISEMENT
Moeldoko meminta masyarakat untuk melihat secara luas terkait poin-poin yang direvisi dalam UU KPK. Dan tidak semerta-merta menyalahkan Presiden Joko Widodo dan pemerintah yang sepakat merevisi UU itu demi memperkuat KPK.
"Kalau nanti salah melihat, dari kacamata yang berbeda maka yang disalahkan hanya presiden, hanya pemerintah. Ini enggak fair. (Harus melihat) proses politik secara keseluruhan sehingga kita melihatnya lebih bijaksana," tuturnya.