Rapor Merah IPK Indonesia: Ranking Merosot, Bencana Jadi Lahan Bancakan

29 Januari 2021 8:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020. Hasilnya, IPK Indonesia berada di poin 37 atau turun ke peringkat 102 dari 180 negara.
ADVERTISEMENT
IPK Indonesia turun dibanding 2019 yang berada di peringkat 85 dengan 40 poin. Peringkat teratas ditempati Denmark dan Selandia Baru dengan 88 poin. Di sisi lain, Somalia dan Sudan Selatan menjadi negara terbawah dengan 12 poin.
Peneliti TII, Wawan Suyatmiko, mengatakan ranking dan skor IPK Indonesia pada 2020 setara dengan salah satu negara di benua Afrika, Gambia.
Data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2020. Foto: Dok. Transparasi Internasional Indonesia
"Negara yang mempunyai skor dan ranking sama dengan Indonesia adalah Gambia," ucap Wawan dalam konferensi pers virtual, Kamis (28/1).
"Sedangkan yang sama dengan posisinya dengan Indonesia turun 3 poin ada Islandia dari 78 sampai 75. Vanuatu turun dari 46 ke 43. Argentina turun dari 45 ke 42, dan terakhir Suriname turun dari 44 ke 38," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Adapun di ASEAN, posisi Indonesia bahkan berada di bawah Timor Leste. Secara rinci, Wawan menyebut di tingkat ASEAN negara dengan IPK tertinggi pada 2020 adalah Singapura dengan 85 poin di peringkat 3.
Lalu Brunei Darussalam dengan 60 poin di peringkat 35, Malaysia dengan 51 poin di peringkat 57, Timor Leste dengan 40 poin di peringkat 86, dan Indonesia dengan 37 poin di peringkat 102.
Di bawah Indonesia ada Vietnam dan Thailand dengan 36 poin di peringkat 104, Filipina dengan 34 poin di peringkat 115, Laos dengan 29 poin di peringkat 134, Myanmar 28 poin di peringkat 137, terakhir Kamboja 21 poin di peringkat 160.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020. Foto: Transparency International Indonesia
Hasil ini mengejutkan karena penurunan IPK Indonesia ini merupakan yang pertama kali sejak 12 tahun lalu. Padahal di tahun sebelumnya, IPK Indonesia mendapatkan skor 40 dengan peringkat 85 dari 180 negara.
ADVERTISEMENT
Transparency International sudah melakukan survei terhadap IPK Indonesia sejak tahun 1995. Selama kurun 1995 hingga 2020, tercatat penurunan IPK hanya terjadi 4 kali.
Penurunan pertama kali terjadi pada 1998. Skor turun dari 27 menjadi 20. Lalu pada 1999, skor turun dari 20 menjadi 17. Penurunan terakhir kali terjadi pada 2007, skor turun dari 24 menjadi 21.
Mantan Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif, menilai penurunan ini tidak bisa dipandang remeh. Sebab, lebih dari satu dekade, IPK Indonesia tidak pernah turun.
"Bukan lagi kartu kuning, tapi kartu merah," kata Laode.
"Kita kembali ke tahun 2016, lima tahun ke belakang, jangan dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja," lanjutnya.
Pimpinan KPK Laode M Syarif saat dialog publik dengan topik “Jangan Biarkan Lilin Perjuangan Pemberantasan Korupsi Padam” di Gedung KPK C1, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan

Respons KPK

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menyatakan penurunan itu merupakan momentum berbenah. Ghufron berpendapat pembenahan IPK tak bisa hanya dibebankan kepada KPK, melainkan perlu keterlibatan berbagai sektor, khususnya di ekonomi dan politik.
ADVERTISEMENT
"KPK menyadari ini momentum (pemberantasan) korupsi bukan hanya tanggung jawab dan beban KPK, tapi beban kita semua. Mulai sektor demokrasi dan politik, penegakan hukum, dan sektor ekonomi," ujar Ghufron.
Ghufron menyebut perlu keterlibatan semua sektor lantaran terdapat 2 dari 3 klaster di survei TII yang turun. Kedua klaster itu yakni politik dan demokrasi serta ekonomi dan investasi. Sedangkan klaster penegakan hukum meningkat.
"Dari 3 klaster besar dari aspek penegakan hukum penilaian dari TII sebetulnya relatif naik. Tapi sektor lain ekonomi dan investasi serta politik dan demokrasi itu turun. Bagi KPK ini menggambarkan (pemberantasan) korupsi bukan hanya beban KPK, penegak hukum lain. Sesungguhnya beban bangsa kita semua," jelasnya.
Pimpinan KPK Nurul Ghufron menyampaikan keterangan pers tentang penahanan mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 di gedung KPK, Jakarta, Rabu (22/7). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Menurut Ghufron, pembenahan di sektor investasi dan ekonomi bisa dilakukan semisal tak ada suap menyuap terkait izin ketika investor hendak berinvestasi di daerah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di sektor politik dan demokrasi, kata Ghufron, bisa dibenahi salah satunya jika masyarakat sudah tak menganggap politik uang sebagai hal wajar.
"Ini harus dijadikan momentum. Sektor investasi dan ekonomi, penegakan hukum, politik dan demokrasi adalah 3 sektor harus bersih semua. Sementara KPK hanya tanggung jawab atas pembersihan dari sisi hilir," ucapnya.

Faktor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Jeblok

Lalu apa yang menyebabkan angka Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jeblok? Peneliti TII, Wawan Suyatmiko, mengungkapkan dari sejumlah indikator penyusun CPI 2020, terdapat lima sumber data yang merosot dibanding temuan tahun lalu.
Kelimanya yakni Global Insight yang merosot hingga 12 poin; PRS yang merosot 8 poin; IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin, PERC Asia turun sebesar 3 poin; Varieties of Democracy yang juga turun 2 poin dari tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tiga dari sembilan indeks mengalami stagnasi, yakni World Economic Forum EOS; Bertelsmann Transformation Index dan Economist Intelligence Unit.
Indikator penilaian Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Foto: Dok. Transparasi Internasional Indonesia
Sedangkan satu indikator mengalami kenaikan sebanyak dua poin yakni World Justice Project–Rule of Law Index. Meski angkanya masih merupakan yang terendah dari indikator lainnya.
"World Justice Index kita naik 2 poin dari 21 ke 23," kata Wawan.
Wawan mengatakan, secara keseluruhan sebenarnya ada 3 hal yang hendak dilihat dalam IPK Tahun 2020 ini.
Pertama, terkait dengan isu ekonomi dan investasi. Secara umum ekonomi kemudahan investasi mengalami stagnasi dan bahkan mayoritasnya turun pada tahun 2020.
Kedua, penegakan hukum yang naik tapi perbaikan kualitas layanan masih stagnan. "Dan penting diketahui indikator world justice project adalah indikator yang selalu di bawah rata rata komposit CPI tiap tahunnya," ucapnya.
Indikator penilaian Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Foto: Dok. Transparasi Internasional Indonesia
Ketiga, soal politik dan demokrasi terutama sistem kepemilihan mengalami penurunan skor. Hal ini, kata Wawan, berarti sektor politik masih rentan terjadinya korupsi.
ADVERTISEMENT
Kondisi-kondisi tersebut, juga dipengaruhi dengan kondisi pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia dan dunia. Sehingga baik faktor ekonomi, politik, hingga penegakan hukum, terpengaruh dengan pandemi tersebut.

Bencana Jadi Lahan Bancakan Korupsi

ADVERTISEMENT
Pada kesempatan selanjutnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menilai penurunan tersebut salah satunya dilatarbelakangi bencana pandemi COVID-19. Ia menyebut, pandemi corona membuat aturan yang ketat, semisal pengadaan barang dan jasa harus melalui lelang, dilonggarkan demi kecepatan. Sehingga pengadaan barang dan jasa bisa melalui penunjukan langsung. Ironisnya, kelonggaran itu diduga dimanfaatkan oknum-oknum untuk korupsi.
"Hasil CPI (Corruption Perceptions Index) yang turun karena mungkin salah satunya momen COVID-19. Mengakibatkan relaksasi-relaksasi ketentuan pengadaan barang dan jasa, mestinya ada ketentuan ketat, tapi demi kemanusiaan dilonggarkan karena perlu kecepatan untuk menyelamatkan rakyat. Tapi kelonggaran itu dijadikan kesempatan untuk korupsi," ujar Ghufron.
ADVERTISEMENT
Ghufron menyebut momentum bencana, seperti COVID-19, dimanfaatkan untuk korupsi memang kerap terjadi. Bencana yang seharusnya membangkitkan soliditas bangsa membantu warga terdampak, justru merupakan lahan bancakan bagi sejumlah oknum tertentu.
"Ini bukan hanya 2020, di banyak bencana ternyata bencana itu membawa korupsi. Ini aware, kita mestinya di kala bencana kesadaran bersama, solidaritas. Tapi faktanya bangsa kita bencana jadi bancakan untuk korupsi," ucapnya.
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Selain di sektor kebencanaan, korupsi di sektor ekonomi dan investasi kerap terjadi lantaran tak sadarnya pemerintah pusat serta daerah bahwa investasi bertujuan menyejahterakan rakyat. Ia mencontohkan ketika investor hendak berinvestasi di daerah, kepala daerah kerap meminta 'jatah' di awal sebagai syarat pemberian izin.
"Kebanyakan kepala daerah, mau masuk investor kadang sudah minta (jatah) lebih dulu di awal," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di sektor politik dan demokrasi, kata Ghufron, merebaknya korupsi lantaran proses demokrasi seperti Pilkada masih banyak ditemukan politik uang. Ia menyebut masyarakat menganggap politik uang sesuatu yang biasa.
"Sektor politik dan demokrasi itu stakeholder-nya mulai dari parpol sebagai peserta, KPU, dan masyarakat. Pada saat kontestasi Pemilu, Pilkada, masyarakat seakan-akan masih menerima serangan fajar, sembako, amplop, dianggap biasa," jelasnya.
Untuk itu, Ghufron berpendapat pembenahan IPK tak bisa hanya dibebankan kepada KPK, melainkan perlu keterlibatan berbagai sektor.
"KPK menyadari ini momentum (pemberantasan) korupsi bukan hanya tanggung jawab dan beban KPK, tapi beban kita semua. Mulai sektor demokrasi dan politik, penegakan hukum, dan sektor ekonomi," ujarnya lagi.

Komentar Mahfud MD

Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD menilai sejumlah hal bisa mempengaruhi persepsi masyarakat yang membuat jebloknya IPK. Salah satunya fenomena pemotongan hukuman koruptor di tingkat Mahkamah Agung (MA) sepanjang 2020.
Menko Polhukam Mahfud MD memberikan pernyataan terkait situasi terkini pasca pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR. Foto: Dok. Humas Kemenko Polhukam
"Yang selalu juga menyebabkan saya akan berpikir persepsi tentang korupsi itu tidak akan baik, karena justru di tahun 2020 itu marak sekali korting hukuman pembebasan oleh Mahkamah Agung," kata Mahfud.
ADVERTISEMENT
"Atau pengurangan hukuman oleh Mahkamah Agung terhadap orang-orang yang divonis oleh pengadilan di bawahnya, bahkan di Mahkamah Agung sendiri pada tingkat kasasi sebagai sebuah korupsi, kalau tidak bebas di kasasi kadang kala juga dikurangi di PK-nya dan sebagainya," sambungnya.
Mahfud berpendapat, fenomena tersebut bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.
"Itu saya sudah menduga ini akan terjadi sesuatu, tapi ini negara, saya tidak ingin mengkotak-kotakkan itu kan bukan pemerintah, itu kan bukan, itu tidak bisa. Cuma saya melihat itu sebagai salah satu indikator itu akan menyebabkan persepsi. Bagi saya ini persepsi, namanya juga CPI," kata Mahfud.
Mahfud menilai meski angka tersebut hanya persepsi, namun tetap perlu perbaikan kinerja di sektor pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
"Sebagai persepsi its okay, karena itu selalu muncul, meskipun ketika bicara soal data apa yang dilakukan, berapa uang yang diselamatkan pada tahun pertama itu, tentu kita bisa menyimpulkan dengan lebih hati-hati, tidak seperti persepsi itu tadi. Tapi tidak apa-apa, itu penting persepsi itu," ucapnya.
Mahfud pun sudah mencatat rekomendasi yang diberikan TII terkait menurunnya IPK. Mulai dari memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawas; memastikan transparansi kontrak pengadaan; merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga di ruang publik; dan mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan.