Refleksi Filsafat Schopenhauer untuk Mencegah Bunuh Diri

22 Maret 2019 17:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Bunuh Diri, Gantung Diri Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bunuh Diri, Gantung Diri Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak pernah ada yang tahu alasan sebenarnya seseorang bunuh diri. Namun sejak lama diyakini, bunuh diri adalah jalan pintas untuk mengakhiri penderitaan. Benarkah demikian?
ADVERTISEMENT
Lewat tulisan ini, kumparan berusaha menelusuri jejak pemikiran tentang bunuh diri.
Bunuh Diri dan Mengapa Orang Melakukannya
Dalam sudut pandang akademis, bunuh diri merupakan sebuah fenomena sosial yang membuat penasaran sejumlah ilmuwan. Di bidang sosiologi misalnya, Emile Durkheim menghabiskan waktunya keliling dunia untuk memahami alasan di balik orang bunuh diri. Durkheim lalu menyimpulkan bahwa bunuh diri diakibatkan gagalnya relasi seseorang terhadap lingkungan sosialnya.
Berbeda dengan sosiologi, disiplin psikologi melihat bunuh diri sebagai hal yang lebih privat. Dalam pandangan Sigmund Freud misalnya, hasrat untuk bunuh diri pada dasarnya dimiliki seluruh manusia. Namun, hasrat itu dapat ditekan dalam kondisi normal. Situasi yang berbeda justru dapat terjadi manakala mengalami depresi. Bunuh diri lalu merupakan bentuk kemarahan terhadap diri sendiri.
Konten Spesial Jangan Bunuh Diri. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Meski demikian, ada penjelasan yang lebih reflektif dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial di atas. Hal ini yang disodorkan induk dari seluruh ilmu pengetahuan, yakni filsafat. Bahkan bukan hanya penjelasan, filsafat juga menawarkan jalan keluar agar orang tak lagi berminat untuk bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Salah seorang filsuf yang mengulas mengenai bunuh diri adalah Arthur Schopenhauer. Filsuf Jerman yang lahir pada tahun 1788 itu tiba pada suatu jawaban bahwa ‘kehendak’ merupakan penyebab dari penderitaan manusia. Penderitaan itu yang lalu memicu orang untuk bunuh diri.
Kehendak dan Munculnya Penderitaan
Dalam ‘The World as Will and Idea’, Schopenhauer menilai dunia ini digerakkan oleh kehendak. Kehendak itu yang juga membayangi kehidupan manusia. Mulai dari hal yang paling sederhana layaknya kehendak untuk menggerakan tangan, makan, minum, hingga yang paling kompleks adalah kehendak untuk hidup.
Arthur Schopenhauer. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Kehendak hidup itu sendiri menyimpan sejumlah masalah. Itu karena, kehendak selalu mengisyaratkan keinginan manusia yang tak ada batasnya. Semakin terpenuhinya suatu keinginan, maka akan timbul lagi keinginan baru lainnya.
ADVERTISEMENT
Kala keinginan itu tak lagi bisa terpenuhi, manusia akan mengalami penderitaan. Manusia akan mengutuk dirinya karena tak mampu mewujudkan angan-angan ke dalam kenyataan. Yang tersisa kemudian hanyalah rasa kecewa dan frustrasi.
Dalam hubungan asmara, seorang pria yang mencintai seorang perempuan merupakan manifestasi kehendak. Kehendak itu sedemikian butanya hingga si pria merasa perempuan itu harus jadi miliknya. Meski pada akhirnya si pria tahu, bahwa si perempuan tak menerima cintanya. Saat itulah penderitaan menampakan dirinya.
“Cinta seorang pria seringkali memiliki kesan unik dan terkadang juga tragis,” tulis Schopenhauer.
Ilustrasi memberi dukungan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Dalam pandangan Schopenhauer, penderitaan itu muncul karena manusia kerap bersentuhan dengan sesuatu yang lain. Selama manusia hidup, penderitaan akan terus ada karena manusia tak pernah sendirian.
ADVERTISEMENT
Maka, satu-satunya yang bisa melenyapkan penderitaan tak lain adalah kematian. Suatu fase kala manusia tak lagi berbaur dengan yang lainnya, kala manusia tak lagi bisa menghendaki sesuatu.
Melenyapkan Penderitaan
Jika memang kematian adalah gerbang melenyapkan kehendak, dan itu akan menghilangkan penderitaan, maka mengapa tidak bunuh diri saja?
Pertanyaan itu yang juga terbersit di kepala Schopenhauer. Terlebih, dia kerap mendengar adanya berita bunuh diri yang dilakoni pasangan suami istri di surat kabar Inggris dan Prancis. Meski begitu Schopenhauer menilai bunuh diri tetaplah keliru secara filosofis.
Ringkasnya begini, muasal dari seluruh penderitaan manusia adalah kehendak. Meski begitu, memilih bunuh diri untuk menjemput kematian sebetulnya tidak melenyapkan kehendak. Yang terjadi justru terperangkap di dalam kehendak yang lain. Itu karena, hasrat untuk bunuh diri dan melenyapkan penderitaan hanya akan tiba pada penderitaan itu sendiri.
Ilustrasi Kematian Foto: Pixabay
Hal yang berbeda terjadi manakala manusia mati secara normal. Paling tidak, manusia itu tak lagi ditundukan oleh kehendaknya. Sebagaimana yang ditulis Dale Jacquette dalam ‘Schopenhauer on the ethics of suicide’, kematian menurut Schopenhauer memang merupakan tujuan manusia hidup, tetapi caranya bukan dengan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Alih-alih bunuh diri, Schopenhauer justru menawarkan cara yang yang lain untuk melenyapkan penderitaan. Yakni dengan menundukkan kehendak dengan cara menolak kehadirannya.
Sederhananya, seseorang yang terbiasa menginginkan ini itu barulah diredam. Ekspektasi yang tinggi haruslah dimaklumi bila tak terealisasi. Dunia juga tak akan kiamat bila apa yang selama ini dikehendaki tak sesuai dengan kenyataan.
Upaya menolak kehendak itu sendiri bisa dilakukan dengan melampaui prinsip individuasi. Yakni dengan menyadari bahwa ada kesatuan di dalam kemajemukan individu dalam ruang dan waktu.
Gampangnya, bila kehendak adalah sesuatu yang selalu dikehendaki oleh individu. Maka kita sebagai individu seringkali memutlakan diri sebagai satu-satunya pusat realitas. Lalu merasa paling menderita di antara individu-individu lainnya.
ADVERTISEMENT
“Tetapi dialah (manusia) yang sedih dalam diri orang yang menderita ketakutan terhadap kematian. Karena dia terpapar pada ilusi yang dihasilkan oleh prinsip individuasi. Bahwa keberadaannya terbatas pada kondisi yang sedang menderita,” tulis Schopenhauer
Ilustrasi doa Foto: Pixabay
Dengan kata lain, Schopenhauer ingin menunjukkan bahwa penderitaan yang dialami seseorang individu tak lebih buruk dari yang lainnya. Menyadari bahwa orang lain juga menderita karena memiliki kehendak, berarti menyadari adanya kesatuan di dalam kemajemukan.
Penderitaan lantas dapat dihadapi secara bersama. Segala kekhawatiran yang timbul saat seseorang tak bisa mengeksekusi kehendaknya, perlahan lenyap kala mengetahui ada orang lain yang juga senasib.
Di sinilah muncul kata kunci ‘empati’. Kala manusia mau belajar bagaimana berbelas kasihan dengan orang lain. Dengan sendirinya manusia bisa melepaskan diri dari kehendak yang membelenggunya itu. Sebagaimana kata Schopenhauer, “Karakteristik dasar dari etika adalah welas asih’.
ADVERTISEMENT
=======
Anda bisa mencari bantuan jika mengetahui ada sahabat atau kerabat, termasuk diri anda sendiri, yang memiliki kecenderungan bunuh diri.
Informasi terkait depresi dan isu kesehatan mental bisa diperoleh dengan menghubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas dan Rumah Sakit terdekat, atau mengontak sejumlah komunitas untuk mendapat pendampingan seperti LSM Jangan Bunuh Diri via email [email protected] dan saluran telepon (021) 9696 9293, dan Yayasan Pulih di (021) 78842580.