Refly Harun: Minta Presiden Mundur Sah Secara Konstitusi, Memaksa yang Tak Boleh

1 Juni 2020 16:06 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara Foto: Tommy Wahyu Utomo/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara Foto: Tommy Wahyu Utomo/kumparan
ADVERTISEMENT
Teror terhadap narasumber serta panitia diskusi 'Pemecatan Presiden' dikecam sejumlah pihak. Pada akhirnya, diskusi yang diinisiasi Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu pun batal digelar.
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, mengatakan bahwa diskusi mengenai pemakzulan presiden di ruang akademik seharusnya tak menjadi masalah. Sebab, hal tersebut merupakan sebuah diskusi dalam ranah akademik. Terlebih, perihal ketentuan pemberhentian presiden diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
"Kalau kita tidak boleh bicarakan tentang pemakzulan atau impeachment, ya buang saja ayat konstitusi itu pasal 7A yang katakan proses pemberhentian presiden yang katakan syarat pemberhentian presiden," kata Refly dalam diskusi daring 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi COVID-19', yang digelar MAHUTAMA (Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah), Senin (1/6).
"Karena ada syarat itu, maka sah saja kalau kita kemudian wacanakan diskusikan hal-hal terkait impeachment atau pemberhentian presiden dan wakil presiden karena itu ada ayat-ayat konstitusinya," imbuh mantan Komisaris Utama Pelindo I itu.
ADVERTISEMENT
Berikut syarat pemberhentian presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7A UUD 1945:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
"Dalam tweet, saya sampaikan, meminta presiden mundur sah dalam konstitusional dan sah dalam alam demokratis, tapi memaksa presiden mundur itu tidak boleh," sambungnya.

Ruang Pemberhentian Presiden Sebesar Lubang Jarum

Ketentuan mengenai pemberhentian presiden memang diatur dalam UUD 1945. Namun, ada juga ketentuan syarat ketat yang harus dipenuhi dalam hal pemakzulan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pakar Filsafat Pancasila, Suteki, mengatakan bahwa pemakzulan presiden karena pengambilan kebijakan terkait virus corona tidak bisa dilakukan. Terlebih dalam pemerintahan sistem presidensial, kata dia, memberikan proteksi kuat kepada presiden dari pemberhentian.
"Ada tiga tahap untuk sampai kepada iya atau tidak pemecatan pada presiden. Ada tahap politik, pertama. Kedua, tahap hukum. Ketiga, tahap politik lagi," kata Suteki.
Profesor Suteki di PTUN Semarang. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
Proses yang dimaksud Suteki ialah dimulai dari DPR, ke Mahkamah Konstitusi, lalu kembali ke DPR dan MPR hingga akhirnya keluar putusan terkait pemakzulan itu.
"Kalau kita lihat rentetan tahap tadi, sebenarnya benar pintu pemakzulan itu ada, tapi bisa saya katakan hanya sekecil lubang jarum," kata dia.
"Nah itu artinya apa? para pendukung koalisi atau para yang mengidolakan presiden itu tidak perlu fobia, tidak perlu paranoid, karena tidak mungkin itu presiden kalau hitungan politik hukum enggak mungkin presiden [dimakzulkan] kalau tidak melanggar hukum," imbuh mantan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro itu.
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat menghadiri memimpin Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (1/6). Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Ia pun mengatakan, bila ada yang menyuarakan presiden mundur itu merupakan kebebasan berpendapat. Menurut dia, tak perlu ditindaklanjuti dengan dugaan upaya makar.
ADVERTISEMENT
"Tidak perlu ditindak secara criminal justice system. Ini kalau dengan criminal justice system kita enggak sesuai loh dengan Pancasila kalau semua harus ke sana," kata dia.
Hal senada disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Menurut dia, tak mudah memberhentikan presiden dengan sistem presidensial di Indonesia. Menurut dia, presiden tak bisa diberhentikan hanya karena kebijakan.
"Harus ada alasan yang berstruktur, karena kalau kita lihat di pasal 7A UUD kita, yang saya maksud terstruktur itu ada definisi yang harus dipenuhi, setiap bagian definisi itu tergantung apa yang kita dakwakan kepada presiden yang ingin diberhentikan itu," kata dia.
"Bahwa ada aspek pembuktian di MK, yang saya katakan berstruktur harus ada dakwaan yang jelas, lalu dakwaan itu dibuktikan di MK, lalu ada dukungan politik yang kita dari awal hingga akhir," sambung dia.
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Bivitri mengatakan, sebelum dibawa ke MK, harus terlebih dahulu ada kesepakatan di DPR RI. Lalu, prosesnya berlanjut ke MK hingga MPR RI.
ADVERTISEMENT
"Jadi serumit itu. Jadi begitu susahnya lapisan-lapisan yang harus dijalani apabila ada upaya konstitusional ganti presiden. Itu pun tidak bisa berdasarkan kebijakan," ujarnya.
Ia pun kemudian merinci apa syarat yang harus dipenuhi terkait dengan pemakzulan presiden. Mulai dari adanya pelanggaran hukum hingga melakukan tindak pidana korupsi.
"Tertulis di konstitusi kita, alasannya apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, kemudian juga tindak pidana berat lainnya, dan tindakan tercela, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden," pungkasnya.
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.