Regulator Obat Uni Eropa Masih Kaji Urgensi Suntikan Booster Vaksin COVID-19

15 Juli 2021 1:36 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Vaksinasi di Jerman. Foto: Alessia Cocca/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Vaksinasi di Jerman. Foto: Alessia Cocca/Reuters
ADVERTISEMENT
Suntikan booster vaksin COVID-19 atau dosis ketiga menjadi sorotan berbagai negara. Regulator obat Eropa masih mempertimbangkan untuk memberi rekomendasi percampuran vaksin dari produsen yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Regulator obat Eropa menilai masih terlalu dini untuk memastikan perlunya suntikan booster vaksin COVID-19 dan kapan waktu yang tepat untuk melakukannya.
Badan pengawas obat Eropa, atau European Medicines Agency (EMA) mengatakan, pihaknya tengah menguji apakah pemberian dosis kedua dengan merek berbeda dari dosis pertama dapat meningkatkan kekebalan pada manusia.
"Kami selalu mengikuti ilmu pengetahuan, dan keahlian serta evaluasi dari ECDC dan EMA. Tapi kami juga harus siap dan siap jika (atau) ketika suntikan booster mungkin diperlukan," kata juru bicara Komisi Eropa dikutip dari Reuters, Kamis (15/7).
Namun, EMA mengatakan dua dosis vaksin Pfizer, AstraZeneca dan Moderna, lebih efektif untuk mengangkal varian Delta yang menyebar cepat.
Vaksinasi di Jerman. Foto: Alessia Cocca/Reuters
Selain itu, EMA tidak membuat rekomendasi pasti untuk menukar atau mencampur dosis. Mereka menyarankan negara-negara untuk mempertimbangkan beberapa kondisi.
ADVERTISEMENT
"Untuk menanggapi kebutuhan ini dan meningkatkan cakupan vaksinasi, negara-negara dapat menyesuaikan strategi mereka. Berdasarkan situasi epidemiologi dan sirkulasi varian, dan bukti yang berkembang tentang efektivitas vaksin terhadap varian," tulis pernyataan EMA.
Sementara hasil studi di Oxford pada bulan lalu menunjukkan campuran vaksin di mana suntikan vaksin Pfizer diberikan empat minggu setelah suntikan AstraZeneca akan menghasilkan respons kekebalan yang lebih baik dibanding dengan menyuntikkan dosis kedua AstraZeneca.
Sebelumnya, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) memperkirakan bahwa varian Delta akan menyumbang 90 persen dari kasus COVID-19 Uni Eropa pada akhir Agustus.