“Rekomendasi Mubalig untuk Redam Intoleransi”

25 Mei 2018 16:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jemaah salat (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jemaah salat (Foto: kumparan)
ADVERTISEMENT
Hitler Nababan, seorang anggota Dewan di Karawang habis babak belur dipukuli massa, Selasa (22/5). Masalahnya sepele saja, dia mengirim meme bergambar Rizieq Syihab dan Amien Rais di satu grup WhatsApp. Meme itu kemudian menyebar dan katanya menyakiti sebagian umat.
ADVERTISEMENT
Kasus lain, Dita Oeprianto yang bercita-cita masuk surga dengan mati syahid, membawa serta istri dan keempat anaknya melakukan aksi bom bunuh di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5). Mereka pun tewas, dan membunuh tujuh orang jemaah lainnya. Entah surga mana yang mereka tuju.
Berikutnya mundur sedikit ke belakang, Amien Rais menganjurkan narasi-narasi politik disisipkan di tiap pengajian. Anjuran yang seketika menyulut protes banyak pihak, mempertanyakan politik seperti apa yang Amien maksud.
Pada masa jelang pemilu ini, suasana kian panas, termasuk dalam dakwah-dakwah yang sebenarnya diharapkan memberi kesejukan. Teriakan kafir disertai takbir sering kali digunakan untuk menyulut emosi massa di berbagai aksi.
ADVERTISEMENT
Banyak orang jengah dengan kondisi itu, berharap wacana Islam yang toleran yang menjadi rahmat semesta alam kembali menyala.
“Saya memahami suasana kebatinan Pak Menteri Agama (Lukman Hakim) terkait banyaknya mubalig-mubalig yang pemahaman dan penyampaiannya sering kali tidak kompatibel dengan kepentingan kebangsaan.”
Begitulah pernyataan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, Selasa (22/5). Namun ia tak sepakat jika bentuk kebijakannya adalah dengan mengeluarkan daftar nama mubalig rekomendasi Kementerian Agama.
“Ini memunculkan syak wasangka dan cenderung memecah belah di antara mubalig dan di antara umat,” kata Dahnil, dua hari setelah rilis 200 nama mubalig--yang juga memuat namanya--itu terbit minggu lalu.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Ketua PBNU Robikin Emhas. Ia berkata, “Realitasnya ada penceramah-penceramah yang seperti itu (radikal). Ada realitasnya. Tetapi ini kan negara, negara kan harus mengelola ìtu semuanya,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Namun Robikin memberi catatan bahwa sebaiknya semua stakeholder dilibatkan lebih dulu sebelum rilis daftar nama itu terbit.
“Jangan buru-buru mengambil kebijakan,” ujar Robikin kepada kumparan, Kamis (24/5).
Dosen Sosiologi sekaligus Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Najib Azca, berpendapat sama. Kebijakan yang boleh dibilang reaksioner ini tampak kurang elegan sehingga memicu perdebatan.
Lukman Hakim Saifuddin (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Lukman Hakim Saifuddin (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
Kepada kumparan, Najib menyatakan bahwa realitas di lapangan, terutama di kota-kota besar, memang cukup mengejutkan.
“Pemerintah baru sadar belakangan, ‘Lho kok di masjid-masjid pemerintah atau BUMN, yang mendominasi justru para pembicara yang eksklusif, yang radikal, yang narasi keagamaannya itu tidak pluralis, tidak merangkul kebhinekaan,’” tutur Najib.
Berikut perbincangan bersama Najib, Rabu (23/5).
ADVERTISEMENT
Bagaimana tanggapan Anda soal rekomendasi mubalig Kementerian Agama?
Gini ya, jadi yang saya tau ya, yang saya ketahui rekomendasi dari Kemenag mengenai dai-dai itu kan terutama sekali ditujukan kepada lembaga-lembaga pemerintah, masjid-masjid BUMN, dan lain-lain yang selama ini aktif mengadakan kegiatan-kegiatan.
Nah, kadang-kadang atau bahkan justru sering, masjid-masjid ini didominasi oleh para pembicara yang menyuarakan kira-kira pandangan-pandangan keislaman yang intoleran, yang tidak ramah dengan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Jadi sebenarnya ini konsumen utama awalnya adalah untuk internal pemerintahan. Kira-kira kan begitu. Selama ini kan memang ada kritik, 'Ini gimana nih masjidnya, misalnya Telkomsel atau Kemenkeu, pembicaranya keras-keras semuanya, kok bisa masuk?’
Jadi mereka kan lalu meminta kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. ‘Gimana nih, apa panduannya tentang siapa yang sebaiknya diundang dan yang tidak?’ Kira-kira kan begitu. Lalu munculah rekomendasi itu.
ADVERTISEMENT
Nah inikan namanya rekomendasi ya, kan bukan untuk melarang orang. Misalnya (menjawab) tadi , ‘ ini lho yang sudah kira-kira digaransi, kira-kira membawakan Islam yang sesuai dengan ke-Indonesia-an lah, yang pluralis, yang mengakui keberagaman, dan lain-lain’. Konteksnya itu.
Konteks yang lainnya itu kan memang selama ini, masjid-masjid pemerintahan atau di BUMN itu agak ‘terlantarkan’. Dalam artian, tidak banyak aktivis yang ngurus di situ. Jadi tidak banyak diurusin oleh organisasi besar kayak NU dan Muhammadiyah.
Menteri Agama mencium tangan Ketua MUI (Foto: Dok. Zainut Tauhid)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Agama mencium tangan Ketua MUI (Foto: Dok. Zainut Tauhid)
Akhirnya, banyak lembaga di masjid-masjid pemerintahan atau BUMN itu justru dikelola oleh aktivis keagamaan yang cenderung eksklusif lah atau agak radikal lah. Kira-kira gitu lah ya. Jadi itu yang belakangan kita lihat, termasuk masjid di kampus-kampus kalo kita tahu.
ADVERTISEMENT
Jadi, karena selama ini temen-temen yang moderat ini tidak mau ngurusin masjid--mereka seolah beragama sendiri. Tapi kemudian masjid-masjid itu terlantarkan lalu justru dikuasai atau dikelola oleh teman-teman radikal, yang eksklusif. Akhirnya merekalah yang menguasai panggung, yang bisa memilih siapa pembicaranya.
Lalu pemerintah baru sadar belakangan, ‘Lho kok di masjid-masjid pemerintah atau BUMN yang mendominasi justru para pembicara yang eksklusif, yang radikal, yang narasi keagamaannya itu tidak pluralis, tidak merangkul kebhinekaan.’ Itu baru belakangan lah sadarnya. Terlambat ini.
Polemik rekomendasi 200 mubalig (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Polemik rekomendasi 200 mubalig (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Berarti rekomendasi mubalig ini untuk memperbaiki kondisi tersebut?
Betul. Kalau saya sih membacanya begitu. Terutama ini kan sasarannya di kota-kota besar lah ya. Ini memang saatnya, saya kira, teman-teman aktivis moderat baik NU atau Muhammadiyah untuk (kembali) ngurusi masjid lah.
ADVERTISEMENT
Jadi selama ini (masjid yang) ditelantarkan justru dikuasai oleh temen-temen yang radikal tadi. Baru kemudian merasa kaget ketika pembicara di masjid-masjid itu pembicara yang radikal. Lha mereka nggak ngurusin. Yang ngurusin orang-orang, dalam tanda petik, radikal.
Baru kemudian ada kesadaran untuk, kalaupun tidak mengambil alih, membuat lebih seimbang lah. Misalnya, komposisi pembicaranya jauh lebih banyak menampilkan wajah-wajah yang lebih bervariasi.
Apakah menurut Anda kebijakan ini dipolitisasi menjelang Pemilu Presidan 2019?
Memang ini dari sisi taktik tampak kurang elegan. Apalagi ini di tengah jalan lalu tiba-tiba muncul. Yang saya amati, memang ada rasa kaget bahwa ternyata ruang publik kita, mimbar-mimbar masjid, lebih banyak dikuasai oleh teman-teman radikal lah.
ADVERTISEMENT
Mereka belakangan sadar, lalu menjadi reaksioner lah. Seperti cara-cara Kemenag itu (mengeluarkan rekomendasi mubalig) merupakan reaksi yang terlambat, yang mungkin tampak tidak elegan. Kesannya lalu seolah agak mempolitisasi gitu ya. Meskipun yang saya pahami tidak seperti itu.
(Rekomendasi) ini untuk menarik kembali gerbong atau ruang-ruang publik yang dikuasai oleh kelompok-kelompok yang lain. Untuk memberi ruang yang lebih besar kepada ulama-ulama atau tokoh-tokoh yang menampilkan ajaran keagamaan yang lebih pluralis dan toleran.
Kebijakan ini berdampak baik untuk demokrasi kita?
Sebenarnya begitu. Dalam arti, itu kan tidak melarang-larang toh. Artinya, masih dalam dosis yang oke. Meskipun kurang elegan. Harusnya, kalau memang sadar, ya dari awal-awal ya.
Jadi sudah dari awal disosialisasikan perlunya mengisi Ramadan dengan narasi keislaman yang pluralis, toleran, dan ramah. Harusnya dari awal, supaya kesannya tidak reaksioner. Sekarang kan kesannya pemerintah sudah kebakaran jenggot.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti rangkaian ulasan mendalam soal Blunder Mubalig Kemenag di Liputan Khusus kumparan.