Rektor UNU Yogya Kritik Permendikbud 30 Nadiem: Beri Beban Berlebihan ke Rektor

14 Desember 2021 19:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta (UNU Yogya) Prof Purwo Santoso. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta (UNU Yogya) Prof Purwo Santoso. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan seksual di kampus tengah marak terjadi belakangan ini. Misalnya saja dugaan kasus pelecehan seksual di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) hingga Universitas Sriwijaya (UNSRI).
ADVERTISEMENT
Banyak pihak mempertanyakan bagaimana pencegahan kekerasan seksual di kampus. Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pun didorong untuk diterapkan di kampus-kampus.
Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta (UNU Yogya) Prof Purwo Santoso menilai bahwa soal pelecehan seksual ini merupakan masalah yang serius. Meski begitu dia masih menilai ada kekurangan dalam Permendikbud 30.
"Itu masalah serius tetapi saya masih ingin mengomentari skema kebijakannya Menteri Nadiem. Bahwa tidak fair tidak logis rektor dengan aparatnya (kampus) menyelesaikan masalah itu. Dalam logikanya Menteri Nadiem itu kan selesai di rektorat dengan tim atau satgasnya itu," kata Purwo ditemui di Kelurahan Sorosutan, Kota Yogyakarta, Selasa (14/12).
Purwo yang juga Guru Besar Fisipol UGM itu menilai bahwa peraturan tersebut justru memberikan beban berlebihan kepada rektor dan mengesampingkan peran penegak hukum. Sementara jika kampus tidak menerapkan peraturan itu, maka akreditasinya terancam dicabut.
ADVERTISEMENT
"Saya lebih komentar dalam regulasinya itu memberikan beban yang berlebihan kepada rektor," terangnya.
Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: dok. kemdikbud.go.id
Dirinya khawatir jika soal pelecehan seksual ini hanya diselesaikan di rektorat tidak akan memberikan efek jera. Pasalnya sanksi dalam kampus hanya sanksi administratif seperti pemecatan.
"Sanksinya (kampus) sanksi administratif sehingga tidak bisa membikin efek jera karena kampus tidak punya akses hukum pidana. Kalau itu pelecehan seksual, pidana. Maka itu kampus harus sambung dengan aparat kepidanaan, polisi dan seterusnya. Di sinilah ruang kosong yang tidak realistis kalau menteri berharap masalah selesai di kampus," katanya.
Menurutnya, ketika ada korban pelecehan seksual maka akses ke aparat hukum harus dikomunikasikan dengan cepat. Sehingga kemudian aparatur hukum yang mengambil persoalan dan mempercepat pemidanaan. Hal ini tentu tidak bisa diatasi rektor sendiri.
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutterstock
Aspek Pencegahan Tanggung Jawab Rektor
ADVERTISEMENT
Menurut Purwo, beban yang sesuai bagi rektor adalah aspek pencegahan pelecehan seksual di kampus.
"Ini kayaknya curhatan yang belum mendapatkan respons," katanya.
Dia menjelaskan bahwa pendidikan moral dan akhlak ini mengendur ketika di level pendidikan tinggi karena anggapan bahwa mahasiswa ini sudah dewasa. Padahal mereka masih dewasa pemula.
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan membentuk ekosistem kampus seusai karakter kampus itu sendiri. Misalnya UNU harus memberlakukan kaidah-kaidah NU.
"Dan universitas lain punya cara sendiri. Kalau ekosistem itu bisa diandalkan paling di level pencegahan, kalau sudah delik pelanggaran ya harus secepatnya di (penegak hukum). Makanya kemudian saya (bilang) masak rektor jadi asisten kepolisian (dalam Permendikbud itu)," katanya.
Jika ingin melibatkan akreditasi, maka ekosistem tersebut bisa dinilai baik dalam desain pengembangan kampus dan cara kerjanya.
ADVERTISEMENT
"Kalau memang itu dia nyegati (mengadang) dengan akreditasi dengan tidak mengancam dicabut akreditasinya justru dimasukkan ke dalam kriteria akreditasinya itu sehingga ekosistem anti pelecehan seksual harus diukur," pungkasnya.