Rencana Trump Bunuh Jenderal Iran Dinilai Terkait Pilpres

4 Januari 2020 6:03 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto: REUTERS/Leah Millis
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto: REUTERS/Leah Millis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memerintahkan pasukan militernya untuk membunuh pemimpin pasukan Quds Iran, Qassem Soleimani. Jumat (3/1) malam, pesawat Soleimani yang baru mendarat di Bandara Baghdad dihantam rudal AS.
ADVERTISEMENT
Markas Departemen Pertahanan AS alias Pentagon menyatakan nyawa Soleimani dihabisi lantaran dituding bertanggung jawab atas kematian pasukan militer AS di Irak. Bahkan Trump merespons kematian Soleimani dengan mengunggah bendera AS di akun Twitter.
Serangan tersebut semakin menambah rentetan ketegangan AS dan Iran. Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI), Shofwan Al Banna Choiruzzad, menilai motif penyerangan cukup kompleks, salah satunya bisa jadi terkait Pilpres AS 2020.
Jenderal Iran Qassem Soleimani. Foto: Office of the Iranian Supreme Leader via AP
"Apakah ada faktor domestik? Mungkin saja. Apalagi, Trump sedang mengalami impeachment (pemakzulan) padahal akan segera menghadapi pilpres. Dia membutuhkan sebuah prestasi untuk ditunjukkan pada konstituen," ujar Shofwan saat dihubungi, Jumat (3/1).
Sebagai catatan, proses pemakzulan Trump masih terus bergulir. Nasibnya akan ditentukan pada Januari 2020 dalam proses voting di Kongres AS.
ADVERTISEMENT
Dilansir AFP, alasan Trump dimakzulkan mengacu pada dua pasal, yakni penyalahgunaan kekuasaan dan penghambatan penyelidikan Kongres. Trump dituding menggunakan kekuasaannya untuk menjegal langkah politik pesaingnya, Joe Biden, di Pilpres 2020. Ia juga dituding meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menyelidiki kasus pengemplangan pajak perusahaan minyak Burisma.
Kembali ke ketegangan AS-Iran. Jika melihat sisi politik internasional, Shofwan menilai perang terjadi karena pengaruh Iran yang kian meningkat pesat di kawasan. Di Suriah, Presiden Bashar al-Assad masih kokoh dengan dibantu Hizbullah. Sementara Yaman masih berlarut dengan milisi Houthi, yang diduga berafiliasi ke Iran.
"Sehingga mendapatkan kemampuan menyerang sampai ke kota-kota penting Saudi --sekutu AS," kata Shofwan.
"Dan kejatuhan Saddam oleh invasi AS justru menguatkan kelompok Syiah di Iraq. Saudi, juga Israel (sekutu AS), dengan alasan masing-masing, melihat bahwa tren ini mengancam keamanannya. Menyeret AS masuk bisa membuat perimbangan kekuatannya bergeser," sambung Shofwan.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan
Menurutnya, tindakan AS bisa memicu perang terbuka yang sebenarnya tidak menguntungkan amat bagi AS maupun Iran. Selama ini, AS ragu-ragu karena takut terseret pada perang mahal yang tak pernah selesai, seperti Perang Irak atau Afghanistan.
ADVERTISEMENT
"Ini juga yang dieksploitasi Iran untuk memperluas pengaruhnya di kawasan, membuat sekutu AS gelisah dan terus melobi AS untuk menghentikan Iran," tutur Shofwan.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei sudah berjanji akan balas dendam dengan keji atas serangan negeri Paman Sam itu. Khamenei menyatakan Soleimani adalah seorang martir.
Showan menegaskan pernyataan Khamenei kemungkinan besar akan terwujud. Sebab jika tak balas dendam, kredibilitas Iran akan turun di kawasan yang trennya semakin didominasi Iran.
Kedutaan AS di Baghdad Irak diserbu demonstran pro Iran. Foto: REUTERS/Thaier al-Sudani
"Makanya Saudi sama Israel memang mancing-mancing AS untuk turun. Tapi kalau Iran membalas, kawasan ini akan menjadi medan perang besar yang tidak ada yang tahu hasilnya seperti apa. Pembunuhan ini membuat dorongan u konflik terbuka makin sulit dikendalikan," kata Shofwan.
ADVERTISEMENT
Selain Soleimani, dalam serangan AS itu, Wakil komandan milisi Syiah Irak (PMF), Abu Mahdi al-Muhandis, petinggi milisi Kataib Hizbullah, dan seorang petugas protokoler bandara Irak, Mohammed Reda, juga turut tewas.
Serangan tersebut ditargetkan ke konvoi rombongan unit militer Syiah di Irak, Hashed, dan mengakibatkan delapan orang tewas.