Rentetan Modus Kebocoran Kasus di KPK saat Firli Bahuri Jadi Deputi Penindakan

21 Juni 2021 10:59 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK tamat. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK tamat. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi itu, 16 April 2019, lima pimpinan KPK lengkap hadir di sebuah ruang rapat di lantai 15 Gedung Merah Putih KPK. Sejumlah kasatgas penyidik dan penyelidik pun turut hadir di ruangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pertemuan itu bukan dalam rangka gelar perkara. Melainkan membahas adanya dugaan hambatan perkara. Salah satunya, bocornya sejumlah penanganan kasus OTT.
Berawal pada 29 Maret 2019, muncul petisi dari para pegawai KPK pada Direktorat Penindakan yang dilayangkan ke pimpinan. Petisi itu mengeluhkan adanya kebocoran informasi. Kebocoran ini disinyalir merupakan penyebab gagalnya sejumlah operasi senyap yang saat itu tengah gencar-gencarnya dilakukan.
Dalam petisi yang dikirimkan pegawai kepada pimpinan KPK terdapat lima poin permasalahan yang mereka rasakan. Pada awal 2018 hingga pertengahan 2019, posisi Deputi Penindakan KPK dijabat oleh Firli Bahuri yang kini menjabat sebagai Ketua KPK.
Poin petisi itu mulai dari hambatan penanganan perkara di tingkat kedeputian, tingginya tingkat kebocoran di bidang penyelidikan, perlakuan khusus kepada saksi, kesulitan dalam proses penggeledahan dan pencekalan, serta dugaan pembiaran pelanggaran HAM berat terjadi di Bidang Penindakan.
ADVERTISEMENT
Rapat yang dimulai pada pukul 10 pagi dihadiri langsung lima pimpinan KPK periode 2015-2019, yakni Agus Raharjo, Saut Situmorang, Laode M Syarif, Alexander Marwata, dan Basaria Panjaitan. Lima poin hambatan tersebut dijabarkan secara mendetail di depan para pimpinan.
Saut Situmorang membenarkan soal adanya rapat tersebut. "Memang banyak yang menyampaikan indikasi-indikasi (kebocoran) itu. Itu yang saya ingat," kata Saut kepada wartawan.
Sejumlah kasatgas pun membeberkan sejumlah poin mengenai kebocoran dalam rapat tersebut. Mulai dari dugaan modus hambatan perkara hingga kebocoran informasi yang membuat OTT gagal.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang saat konferensi pers KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Berikut ringkasannya:
Ada delapan orang kasatgas penyelidikan yang ikut dalam rapat tersebut. Semuanya menceritakan bagaimana satuan tugas mereka mengalami kendala dalam proses pengusutan perkara.
Pertemuan dimulai saat seorang kasatgas penyelidikan menyampaikan setidaknya pada Januari hingga April 2019, ada empat kasus yang ditangani timnya bocor. Kebocoran terjadi diduga saat surat perintah penyelidikan dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
"Yang lain ada kebocoran pada tahap meminta pimpinan untuk menyetujui surat-surat penyadapan, sehingga ada bocor secara umum maupun khusus," kata kasatgas itu.
Kasatgas lainnya menyampaikan bahwa banyaknya kebocoran terjadi di direktorat penyelidikan yang tengah melakukan kegiatan operasi senyap. Ia menyatakan sejak dulu, kebocoran memang sudah ada tetapi tidak sederas yang terjadi pada 2019.
"Karena hampir setiap satgas mengalami, setelah dievaluasi dari kebocoran," kata dia.
Dia bercerita terdapat 3 kasus yang bocor di bawah penanganan satgasnya. Satu kasus dapat dieksekusi, sementara dua lainnya gagal. Informasi yang bocor disebut tidak umum, tetapi spesifik.
Artinya informasi yang diperoleh merupakan apa yang menjadi target tim di lapangan. Hal ini, mengindikasikan kebocoran berasal dari internal.
ADVERTISEMENT
"Dugaan kebocoran terjadi pada komunikasi beberapa pihak. Sebab, nama-nama target muncul," ucapnya.

Panic Button

Seorang kasatgas lainnya mengaku ada dugaan bahwa handphone yang dimilikinya di-hack hingga disadap. Penyadapan tersebut diduga berasal dari sistem panic button. Karena semua nomor pegawai masuk dalam sistem tersebut.
Sistem ini awalnya dirancang sebagai bentuk pengawalan ekstra terhadap pegawai yang tengah menangani kasus sensitif. Sistem ini dirancang pada 2018, menanggapi usulan dari Komnas HAM agar menjamin pengawalan kepada pegawai KPK.
Peningkatan keamanan ini dirasa perlu usai adanya penyerangan air keras kepada penyidik Novel Baswedan 2017.
"Adanya panic button mengharuskan data-data handphone diserahkan, dan dapat dikendalikan oleh pihak lain," kata kasatgas tersebut.
Ilustrasi Panic Button Foto: Pixabay
Dugaan kebocoran ini membuat prasangka di antara pegawai KPK. Bahkan kecurigaan sempat ditunjukkan kepada ruangan rapat di lantai 11 gedung KPK yang sudah tidak steril lagi.
ADVERTISEMENT
Lainnya, kebocoran dugaan memang sengaja dilakukan oleh pihak internal pada saat pengajuan surat-surat dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
Seorang kasatgas lain bercerita tentang pengalaman timnya saat hendak melakukan tangkap tangan. Di lapangan, karena adanya kebocoran informasi, nama-nama target sudah tersebar.
Bukan hanya menggagalkan operasi, hal tersebut juga bisa membahayakan petugas di lapangan.
"KPK sudah turun tangan di lapangan, sudah menyebut nama-nama orang yang ditarget maupun ruang lingkup sudah disebutkan. Yang lebih menjadi perhatian adalah keselamatan tim di lapangan. Karena terkadang muncul di kom (komunikasi) 'coba dicari' 'di mana mereka menginap' dan sebagainya," kata dia.
Celah hambatan lain muncul dalam proses penyelidikan baik saat pengajuan surat perintah penyelidikan hingga yang bersifat administrasi seperti uang muka dinas, baik di tingkat struktural fungsional maupun admin.
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan

Tiga Huruf Sudah Merapat

Seorang kasatgas lain menceritakan bahwa operasi senyap di 4 kota yang berbeda diduga bocor. Kebocoran terjadi diduga sejak awal tahun 2019.
ADVERTISEMENT
"Kebocoran terkait penyadapan nomor sudah biasa namun ketika tim landing sekitar 20 menit sudah terdapat komunikasi ajudan TO (Target Operasi) dengan pemberi bahwa tiga huruf [KPK, -red] sudah merapat," kata kasatgas itu.
Dalam operasi tersebut, terlacak juga ada komunikasi antara calon penerima dengan pihak lain. Hambatan pun kemudian muncul.
"Contohnya anggota tim lapangan satgas ... menginap di Provinsi yang berbeda dengan target, namun ada razia kendaraan di kota atau kabupaten. Di perjalanan di mana terdapat perbedaan perlakuan razia terhadap tim, dengan pengendara lain," kata dia.
Kasatgas itu bercerita, dari dua tim yang diturunkan, satu di antaranya bisa lolos. Sementara tim lainnya dimintai KTP, SIM, hingga STNK. Semua identitas tersebut difoto petugas, kemudian mereka sibuk berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ada juga tim yang pernah terkena razia lalu dibawa ke Polres karena ada tuduhan membawa narkoba dan penggunaan mobil bodong. Dalam proses razia tersebut, kasatgas bercerita bahwa ada anggota tim yang mendengar polisi berkomunikasi dengan rekannya.
"Terdengar 86 86, iya mereka dari KPK, dan diajak ke Polres. Yang disesalkan adalah adanya pemberitaan di media massa, di mana membuat kasus terbakar dan nama anggota tim juga terbakar," kata dia.
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: Humas KPK

Isu Firli Mencuat

Seorang kasatgas penyelidikan di dalam forum bersama 5 pimpinan KPK membeberkan soal dugaan kebocoran operasi di Sumatera Selatan pada 4 Juli 2018. Ada komunikasi antara salah satu ajudan bupati di Sumsel dengan seorang bripka berinisial S.
Nama kerabat Firli dikait-kaitkan dengan operasi itu.
ADVERTISEMENT
"'Ada komunikasi lainnya dengan 23 Juli antara ajudan dan bripka S yaitu minta tolong disampaikan kepada bapak bupati 'saya disuruh menemui Pak Bupati'," kata Kasatgas itu menyampaikan laporan terkait kebocoran.
Tidak dijelaskan lebih lanjut terkait maksud percakapan tersebut. Dan apa kaitan dengan kasus itu.
Namun demikian, kasatgas itu menyatakan semenjak adanya komunikasi itu, kasus tidak bisa dilanjutkan.
"Sejak itu kasus tersebut tidak dapat dilanjutkan," ucapnya.
Saut Situmorang membenarkan adanya aduan soal gagalnya penanganan kasus di Sumsel itu. Namun, ia samar-samar, tidak ingat apakah memang disampaikan dalam forum pada 16 April 2019 itu atau bukan.
"Saya enggak inget kalau ada yang lebih spesifik, kalau yang nyebut tadi di mana itu, yang nyebut Firli itu, itu waktu itu saya ingat (pernah ada) di meeting itu atau di mana enggak tahu," kata Saut dihubungi terpisah.
ADVERTISEMENT
"Kalau lah katakanlah saya dikasih teksnya ini pak meeting hari itu, aku enggak bisa mengkonfirmasi langsung itu hasil meeting hari itu, enggak. Harus ditanya lagi yang lain, tapi di akhir pertemuan itu saya ngomong memang marah. Marah banget waktu itu di situ, karena kita lagi mau ningkatin OTT," sambungnya.
Ketua KPK Firli Bahuri saat Penyerahan Hasil Asesmen Tes TWK Pegawai KPK di Kantor Kementerian PANRB, Selasa (27/4). Foto: Dok. KemenPAN RB
Nama Firli Bahuri memang sempat muncul dalam sidang mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani pada 2019 lalu. Dalam pembacaan eksepsi, pengacara Ahmad Yani, Maqdir Ismail, menuding ada upaya untuk menjatuhkan Firli Bahuri yang ketika itu baru dilantik menjadi Ketua KPK.
Menurutnya, hal itu berdasarkan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik KPK terhadap terdakwa lain Elfin Muchtar, Kabid Pembangunan Jalan Dinas PUPR Muara Enim, pada tanggal 31 Agustus 2019 pukul 10.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Dalam percakapan melalui aplikasi bertukar pesan itu terungkap rencana pemberian uang dari Elfin kepada Firli yang saat itu masih menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan. Maqdir mengatakan ada permintaan Elfin kepada Robi agar staf Robi membantu mengambil kopi untuk diberikan kepada patroli dan pengawal yang berjaga di rumah Kapolda Sumsel.
Saat itu, kata dia, Elfin meminta Robi menyiapkan uang 35 ribu AS dolar atau senilai Rp 500 juta. Hal ini kemudian diulang dalam percakapan pada pukul 12.00 WIB.
Rencana pemberian uang dilakukan sebelum Ahmad Yani hendak bertemu dengan Firli dalam rangka silaturahmi pada malam harinya.
Atas dugaan ini, Firli pernah membantahnya. Firli Bahuri mengakui bertemu dengan Ahmad Yani pada malam hari. Ia hanya mengunjungi Ahmad Yani yang selepas pulang dari ibadah haji.
ADVERTISEMENT
"Saya boleh bertemu dengan siapa saja, yang jelas tidak ada selain bertemu," kata Firli Bahuri di gedung KPK, Jakarta, Jumat (17/1).
"Enggak ada pembahasan apa-apa orang baru pulang haji bertemu boleh dong," imbuhnya.
Ketika ditanyakan mengenai adanya rencana pemberian suap dari Elfin Muchtar selaku Kabid Pembangunan Jalan Dinas PUPR Muara Enim, Firli Bahuri mengaku tak tahu sama sekali.
"Tidak tahu, saya tidak tahu sama sekali, dan tidak terlibat apa pun," pungkasnya.
Ilustrasi penyidik KPK. Foto: Instagram/@official.kpk

Kebocoran Tak Hanya di Daerah

Seorang kasatgas lainnya menyatakan level kebocoran kasus bukan hanya terjadi di daerah, bahkan ke tingkat kementerian. Ia menceritakan pernah ada dokumen telaah terkait penyelidikan yang bocor. Hal ini diketahui dari adanya komunikasi pihak terkait.
ADVERTISEMENT
"Untuknya komunikasi bahwa Pak Menteri memanggil dirjen dan info yang ada pada telaah tersebut disebutkan," kata kasatgas itu.
Imbasnya, OTT urung dilakukan. Tim ditarik untuk mengantisipasi kejadian yang tak diharapkan terjadi di lapangan.
Kasus lainnya juga terjadi saat KPK hendak melakukan penyadapan terhadap target di level kementerian. Kebocoran informasi hanya beberapa hari dari dimulainya penyadapan.
"Dirjennya langsung mengumpulkan direkturnya, bilang ada pengawasan dari KPK dan memerintahkan jangan ada transaksi dulu. Hal tersebut terjadi dalam beberapa hari setelah kami mengajukan marking penyadapan," ucapnya.

'Pak Jenderal'

Seorang kasatgas menceritakan bahwa ada 3 kasus di Lampung yang bocor. Menurut dia, ada perbedaan pola kebocoran yang terjadi.
Sebelumnya, seorang kepala daerah mendadak dipanggil petinggi partai saat akan ditangkap. Tidak dijelaskan partai yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada kebocoran lainnya yang menyebut kode 'Pak Jenderal'. Kode itu masuk dalam penyadapan.
"Untuk tahun ini terdapat 2 kasus yang hampir dieksekusi. Tim sudah di lapangan. Tiba-tiba bocor. Beda dengan tahun lalu. Sekarang bocornya dari penyadapan menyebut 'Pak Jenderal'," kata Kasatgas itu.
Kasatgas terakhir, juga menceritakan soal kebocoran yang masif. Sampai akhir 2018, ia menyebut setidaknya ada 5 OTT yang bocor. Namun demikian, semuanya masih bisa dieksekusi dengan berhasil. Kebocoran itu menghambat eksekusi di lapangan.
Misalnya dalam kasus di Cirebon, tim mendapat adanya informasi yang menyebut bahwa petinggi partai sudah mengingatkan
Dalam operasi senyap di Cirebon, terungkap ada petinggi partai yang menyatakan target sudah dipantau oleh KPK. Kasatgas itu tidak merinci lebih jauh terkait kasus apa, melibatkan partai mana, dan siapa yang terekam dalam percakapan itu.
ADVERTISEMENT
Terkait semua informasi adanya dugaan kebocoran tersebut, kumparan sudah mengonfirmasinya kepada Firli Bahuri. Namun, pesan yang kumparan sampaikan belum dibalas hingga berita ini diterbitkan.
Ketua KPK Firli Bahuri pada konferensi pers penahanan Wali Kota Tanjung Balai H.M Syahrial oleh KPK, Sabtu (24/4). Foto: Humas KPK
Firli Bahuri mulai menjabat Deputi Penindakan KPK sejak 6 April 2018. Pada akhir 2018, ia dilaporkan ke Pengawas Internal KPK karena diduga melanggar etik.
Berdasarkan serangkaian pemeriksaan dan sidang internal KPK menyatakan bahwa Firli diduga melanggar kode etik berat saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK. Hal itu tak terkait 4 pertemuan dengan pihak yang berkaitan dengan perkara ataupun pihak yang memiliki risiko independensi serta tidak melaporkan seluruh pertemuan tersebut kepada pimpinan KPK. Dua pertemuan di antaranya terjadi dengan Tuan Guru Bajang (TGB) selaku Gubernur NTB pada 2018.
ADVERTISEMENT
Hasil pemeriksaan dari PIPM yang dipimpin Herry Muryanto itu kemudian diserahkan kepada pimpinan KPK pada akhir Januari 2019.
Meski diduga melanggar etik berat, tidak ada sanksi yang dijatuhkan. Sebab kala itu, Firli Bahuri sudah ditarik oleh Polri untuk menjabat Kapolda Sumatera Selatan. KPK kemudian memberhentikannya dengan hormat atas adanya penarikan oleh Polri itu pada Juni 2019.
Tak lama menjabat Kapolda, Firli Bahuri kemudian ikut mendaftar jadi pimpinan KPK. Meski menuai protes sejumlah pihak, ia tetap melenggang mulus terpilih menjadi salah satu komisioner. Bahkan, Komisi III DPR ketika itu secara aklamasi memilih Firli Bahuri menjadi Ketua KPK.
Terkait dugaan pelanggaran etik ini, Firli sudah pernah membantahnya pada saat wawancara terbuka capim KPK. Firli sempat dikonfirmasi hal tersebut oleh Pansel.
ADVERTISEMENT
Dalam jawabannya, Firli mengakui soal adanya pertemuan dengan TGB. Namun ia menyatakan tak pernah menghubungi TGB.
Selain itu, Firli juga menyatakan bahwa berdasarkan kesimpulan akhir pimpinan KPK, dirinya dinyatakan tidak melanggar kode etik.
"Kesimpulan akhir adalah tidak ada pelanggaran," ujar Firli di Gedung Kemensetneg, Jakarta Pusat ketika itu.
kumparan sudah mencoba mengkonfirmasi Firli Bahuri soal isu ini, namun belum ada tanggapan.