Revisi UU ITE Perlu Proses, Jokowi Bisa Cegah Kriminalisasi Lewat Perpres

18 Februari 2021 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo saat akan berangkat dalam kunjungannya menuju Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (18/2) Foto: Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo saat akan berangkat dalam kunjungannya menuju Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (18/2) Foto: Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Desakan revisi UU ITE telah lama disuarakan banyak pihak karena dinilai bisa menjadi alat kriminalisasi melalui Pasal-pasal karet. Khususnya pasal mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
ADVERTISEMENT
Bahkan kini, Presiden Jokowi secara langsung mewacanakan revisi UU ITE apabila tidak memberikan rasa keadilan di masyarakat.
Namun proses revisi UU memerlukan proses. Sedangkan UU ITE terus berlaku dan bukan tidak mungkin bisa menjerat korban lain.
Direktur dan Analis Hukum Kantor Hukum HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim, menyatakan apabila revisi UU ITE berlarut, Jokowi bisa menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) demi mencegah adanya kriminalisasi atau saling lapor.
Penerbitan Perpres, kata Hifdzil, praktis lebih cepat karena merupakan kewenangan Presiden tanpa perlu proses politik di DPR.
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
"Kewenangan eksekutif untuk mengatur di Perpres. Perpres selain menjalankan perintah UU, juga untuk cover kekuasaan eksekutif, Kepolisian dan Kejaksaan di bawah kewenangan eksekutif, Presiden," ujar Hifdzil kepada wartawan, Kamis (18/2).
ADVERTISEMENT
"Betul (lebih efektif), lewat Perpres langsung eksekusinya Presiden tanpa libatkan DPR," lanjutnya.
Sementara mengenai usulan eks Menkominfo, M Nuh, perlu Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen) agar menghindari saling lapor, Hifdzil menyatakan pasal-pasal karet di UU ITE tidak memerintahkan pembentukan PP. Adapun Permen merupakan aturan turunan dari PP.
"Maka tidak bisa buat PP," ucapnya.
Hifdzil Alim, Deputi Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Foto: Dok. Istimewa
Meski demikian, Pakar Hukum Tata Negara UIN Yogyakarta tersebut lebih setuju mencegah kriminalisasi melalui revisi UU ITE. Mengenai lama atau tidaknya proses revisi, kata Hifdzil, tergantung niat pemerintah dan DPR.
"Saya setuju untuk revisi UU ITE, secara filosofi kita harus lindungi privasi warga negara, kedua UU tidak boleh jadi alat kekuasaan, UU memang produk politik, tapi tidak bisa untuk kriminalisasi lawan politiknya," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Hifdzil menegaskan perlunya kecermatan penyidik dari Polri atau Kejaksaan dalam menyikapi laporan terkait UU ITE. Apabila penyidik tidak menemukan unsur pidana, segera umumkan agar publik tidak resah karena status perkara tak jelas.
"Penegak hukum perlu lebih jeli dan dapat memahami bahwa siapa pun boleh melapor, itu hak. Tetapi apakah ditindaklanjut ke ranah pemidanaan itu hal lain, kalau tidak masuk unsur pidana langsung diumumkan. Penyidik harus punya ukuran yang memiliki kepastian hukum," kata Hifdzil.
Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof Hibnu Nugroho. Foto: Dok. Pribadi
Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai polemik UU ITE yang dituding jadi alat kriminalisasi merupakan persoalan implementasi.
Ia berpendapat, setiap penyidik memiliki tafsir berbeda mengenai UU ITE, khususnya soal pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Padahal, menurut Hibnu, UU ITE telah memberi penegasan terhadap pasal-pasal yang dianggap karet.
ADVERTISEMENT
"Penyidik menafsirkannya berbeda sehingga perlu alternatif penyelesaian," ucap Hibnu.
Ia mencontohkan pasal pencemaran nama baik. Hibnu menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang harus dilaporkan korban secara langsung, bukan orang lain.
Ilustrasi Hate Speech Foto: Thinkstock
Untuk itu, Hibnu menilai perlunya ada pedoman dari Kapolri mengenai penanganan perkara dengan aduan yang memakai UU ITE. Melalui pedoman tersebut, kata Hibnu, penyidik nantinya tidak memiliki tafsir berbeda terhadap suatu perkara.
"Artinya sebagai dasar bagi penyidik ikut petunjuk Kapolri," kata Hibnu.
Hibnu memandang apabila petunjuk Kapolri sudah terbit, tak perlu lagi revisi UU ITE.
"Cukup internal Polri yang masalah implementasi penegak hukum, masalahnya di tafsir," tutupnya.