Revisi UU MK Dinilai Sarat Politisasi dan Untungkan Kelompok Tertentu

6 Mei 2020 15:54 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Foto: ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Foto: ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap DPR dalam proses revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) di tengah pandemi corona bermunculan. Dalam draf revisi UU MK, setidaknya ada 14 poin perubahan. Mulai dari masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang menjadi 70 tahun hingga syarat minimal calon hakim 60 tahun.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, menilai revisi UU MK bermuatan politis. Terlebih sejumlah pihak telah mendesak DPR agar menghentikan revisi tersebut dan lebih fokus dalam membantu pemerintah menangani pandemi corona.
"Rancangan UU MK seakan-akan menunjukkan adanya politisasi dan ini akan berbahaya bagi demokrasi," ujar Susi dalam diskusi streaming yang digelar ICW di Jakarta, Rabu (6/5).
Susi memandang, proses revisi yang tidak melibatkan masyarakat telah menyalahi prinsip demokrasi. Sehingga, proses revisi tersebut berpotensi cacat.
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Jadi ada dasar utama pembentukan UU. Kalau kita bicara soal demokrasi maka partisipasi publik itu jadi suatu keniscayaan. Maka saya katakan UU itu cara dia mengatur dirinya dan cara rakyat mengatur pemerintah. Dan jika ada UU tak melibatkan rakyat ini adalah bentuk negasi, di mana kata lainnya ini cacat," kata Susi.
ADVERTISEMENT
Susi pun mengambil contoh dari pernyataan mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, yang menyatakan hal yang paling sering diutak-atik dalam dunia peradilan hanya berkutat pada batasan umur hakim yang sering digunakan untuk mempengaruhi kekuasaan kehakiman.
Adapun ia menilai batas usia pencalonan sebagai UU MK yang berlaku saat ini sudah cukup baik, yakni minimal 47 tahun dan maksimal 65 tahun.
Jika syarat minimal dinaikkan menjadi 60 tahun, Susi khawatir kualitas putusan yang dihasilkan akan berkurang.
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
"Saya khawatir jangan-jangan bila nantinya hakimnya terlalu tua, dia akan terlalu sering menyerahkan keputusan perkara pada paniteranya. Saya sering bergurau ke mahasiswa saya, jika panitera itu sering memutuskan suatu perkara, posisinya sama saja sebagai the shadow justice," ungkap Susi.
ADVERTISEMENT
Atas dasar itu, Susi mengajak kepada masyarakat untuk memberikan perhatian lebih terhadap revisi UU MK agar jangan sampai tiba-tiba disahkan.
"Oleh karena itu saya mengajak pada kita semua untuk memberikan perhatian besar pada prosedur. Contoh paling dekat itu pembentukan UU KPK yang prosedurnya sangat buruk," ucap Susi.
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zainal Arifin Mochtar. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Sementara Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar, menilai isi revisi yang hanya berkutat pada usia minimal pencalonan dan batas masa jabatan bertujuan untuk menguntungkan kelompok tertentu.
"Apa kaitan masa jabatan dengan problem di MK? Pertanyaan paling menarik adalah kenapa masa jabatan? Saya menduga ada kelompok kepentingan dan kelompok yang diuntungkan. Kelompok yang berkepentingan tentu sangat banyak, kelompok yang memasukkan wakil mereka ke MK," tutupnya.
ADVERTISEMENT
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.