RI Banjir Limbah Medis, Hanya 4,1% RS Punya Fasilitas Pengolahan Limbah Berizin

28 Juli 2021 13:24 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mensterilkan "wheeled bin" atau wadah limbah beroda berisi limbah medis infeksius menggunakan cairan disinfektan di PT Jasa Medivest Plant, Plant Dawuan, Karawang, Jawa Barat. Foto: Muhamad Ibnu Chazar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mensterilkan "wheeled bin" atau wadah limbah beroda berisi limbah medis infeksius menggunakan cairan disinfektan di PT Jasa Medivest Plant, Plant Dawuan, Karawang, Jawa Barat. Foto: Muhamad Ibnu Chazar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Indonesia sudah 1,5 tahun dilanda pandemi COVID-19. Tak hanya soal kesehatan, kini Indonesia juga dihadapi dengan masalah sampah medis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) menyebut limbah medis per 27 Juli 2021 tercatat mencapai 18.460 ton.
ADVERTISEMENT
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menjelaskan, musababnya peningkatan sampah medis tidak diimbangi dengan kualitas pengolahan limbah. Menurutnya, tak sampai 5 persen rumah sakit memiliki alat pengolahan limbah yang layak, sementara pengusaha pengolahan limbah sangat sedikit dan masih terpusat di Jawa.
“Jadi memang kondisi kita saat ini ditengah penambahan jumlah dan volume limbah, khususnya limbah medis semakin meningkat. Kapasitas dari pengolahan itu memang sayangnya masih belum mampu memenuhi peningkatan tersebut,” kata Handoko usai rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, dilihat di YouTube Setpres, Rabu (28/7).
“Contohnya, baru 4,1 persen dari rumah sakit yang memiliki fasilitas insinerator yang berizin. Dan di seluruh Indonesia baru ada 20 pelaku usaha pengolahan limbah dan yang hampir semuanya terpusat di Jawa,” imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Handoko mengatakan, kini ada sejumlah teknologi yang sudah dikembangkan BRIN untuk mengolah limbah medis. Ia berharap seperangkat teknologi ini bisa menjangkau daerah-daerah yang belum memiliki pengelolaan sampah medis yang baik.
“Kami di BRIN menyampaikan ada beberapa teknologi yang sudah proven, yang dikembangkan oleh teman-teman kita untuk membantu peningkatan jumlah kapasitas pengelolaan limbah secara signifikan. Khususnya adalah teknologi yang bisa dipakai untuk pengelolahan limbah skala kecil dan sifatnya mobile,” jelas dia.
“Sehingga itu bisa menjangkau daerah-daerah yang memang relatif penduduknya sedikit dan skala limbah enggak banyak. [Karena] kalau membangun besar akan jauh lebih mahal dan menimbulkan masalah pengumpulan [sampah],” tambahnya.
Selanjutnya, Handoko menyampaikan BRIN telah mengusulkan dalam rapat terbatas beberapa teknologi daur ulang limbah medis yang berpotensi memunculkan nilai tambah. Salah satunya teknologi yang memunculkan nilai ekonomi baru dan akan meningkatkan kepatuhan faskes yang menghasilkan limbah.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Teknologi ini akan menghasilkan insentif finansial dari sisi bisnis dari daur ulang tersebut. Handoko menilai alat ini berpotensi mengurangi biaya pengelolaan limbah secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
“Tadi kami memberikan contoh alat penghancur jarum suntik yang bisa menghasilkan residu berupa stainless steel murni. Juga daur ulang untuk APD dan masker sehingga bisa peroleh propilen murni yang nilai ekonominya juga cukup tinggi,” terang Handoko.
“Kami berharap ini bisa meningkatkan motivasi dan untuk mengumpulkan dan mengelola limbah, meningkatkan kepatuhan. Dan di sisi lain, berpotensi juga menjadi lahan baru bisnis bagi pelaku usaha di daerah-daerah, khususnya pelaku usaha skala kecil,” tandas dia.