LIPSUS, PSI, Rian Ernest

Rian Ernest: Saya Tak Pernah Bawa Nama BTP Saat Kampanye

24 April 2019 18:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua DPP PSI, Rian Ernest. Foto: Faisal Rahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua DPP PSI, Rian Ernest. Foto: Faisal Rahman/kumparan
“Saya turun sebenarnya sebagai Rian Ernest. Rian Ernest PSI. Saya enggak pernah memberikan informasi detail tentang Pak BTP,” kata politikus PSI Rian Ernest mengawali perbincangan dengan kumparan di Sultan Residence, Jakarta Selatan, Senin (22/4).
Pernah menjadi staf eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Rian Ernest mengaku tetap harus berjuang dari nol. Sebab, tak banyak warga mengenalnya.
Rian Ernest yang bertarung di Dapil DKI I mengaku bersyukur karena politik identitas tak lagi bergaung di Ibu Kota. Ia pun bersyukur bisa meraih 85 ribu suara di Ibu Kota padahal Rian harus bersaing dengan politikus senior seperti Mardani Ali Sera dari PKS, Wanda Hamidah dari NasDem, hingga Putra Nababan dari PDIP.
Konsistensi dan cara informal dalam mendekati konstituen menjadi metode kunci Rian Ernest untuk menggaet suara. Isu yang dibawa pun konsisten, soal hukum dan anti politik identitas.
Bagaimana pengalamannya saat mencoba menaklukkan Ibu Kota? Dan apa rencana seorang Rian Ernest usai PSI gagal ke Senayan? Berikut wawancara kumparan bersama Rian:
Bagaimana perjuangan Anda menggalang suara untuk PSI atau Jokowi?
Setelah nyoblos saya merasa kayak I’ve done my part. Artinya saya sudah berjuang satu setengah tahun di lapangan, sudah mencoba membela Pak Jokowi di berbagai forum, di debat-debat TV, yang di-share di YouTube misalnya wawancara.
Saya merasa udah plong, lebih plong lagi karena saya merasa dalam politik, sampai saat ini pun saya tidak pernah melanggar prinsip saya. Saya tidak pernah main suap, saya tidak pernah main uang, saya tidak pernah main sembako, enggak pernah juga menipu-nipu. Bahwa saya adalah seorang Nasrani misalnya, bahwa saya juga adalah keturunan Tionghoa. Saya tidak pernah memalsukan itu juga.
Kejadian tak terlupakan saat bertemu konstituen?
Ketua DPP PSI, Rian Ernest. Foto: Faisal Rahman/kumparan
Sebenarnya yang paling saya ingat sekali adalah, ini bukan cerita yang melankolis, ini cerita yang agak bikin saya kaget. Salah satu program saya kalau tadinya terpilih, saya itu ingin melakukan reformasi penegak hukum.
Jadi mulai dari polisi yang mau saya lakukan adalah saya naikkan gajinya. Salah satu alasan korupsi itu kan corruption by needed, itu akan hilang begitu gaji layak dan kebutuhan dia tercukupi.
Waktu saya lagi datang di sebuah daerah, di dekat-dekat Pulo Mas, saya lagi berjalan di dekat warung pinggir kali. Rame-rame gitu ya. Mungkin, saya pikir tadinya, ini sekumpulan sopir-sopir mobil online yang sedang istirahat.
Jadi di situ mereka langsung bilang, ‘Mati lu bang, lu bisa mati lu Bang,’ kata salah satu abang ini. Ini karena program saya tersebut.
Gue tahu risikonya tapi kan penegakan hukum kan kalau enggak dibenahi mau sampai kapan, Bang. Artinya kalau hukum privat printed negara juga nggak maju-maju pasti nanti.
Itu membekas karena abang ini bukan menakut-nakuti saya, tapi abang ini memberikan realita aja bahwa kalau kalau mau ambil isu itu, itu risiko yang sangat besar. Justru Abang ini kayaknya bilang ke saya, bukan malah justru dia menganggap saya terlalu naif menganggap isu ini karena bahaya.
Politik identitas begitu mengemuka saat Pilgub DKI, saat Anda kampanye hal itu masih terasa?
Sudah segala macam saya bertarung di daerah DKI 1 yang kata persepsi orang ini daerahnya keras. Artinya kaum agamanya cukup keras. Mungkin awalnya saya pikir, penolakan dari warga akan tinggi.
Begitu saya turun, 220 kali blusukan, enggak pernah ada yang nolak saya dan sangat sedikit saya mendapatkan pertanyaan, “Pak, maaf agama kamu apa? Itu sedikit sekali, cuma 1 persen orang yang saya temui bertanya seperti itu.
Jadi hikmah yang saya ambil adalah sebenarnya kita itu toleran. Bahkan warga DKI yang sempat seolah-olah itu tensinya tinggi, secara alamiah kita toleran. Kita jadi intoleran kalau digerakkan oleh elite politik, itu yang saya ambil hikmahnya.
Ini membuat saya semakin yakin bahwa yang ada tempat buat seluruh warga negara berpartisipasi di politik terlepas suku, agama, etnisnya. Karena pada dasarnya kita semua ini orang yang toleran.
Ketua DPP PSI, Rian Ernest. Foto: Faisal Rahman/kumparan
Punya trik khusus mendekati warga DKI?
Dari 220 kali saya blusukan, sangat, sangat sedikit warga yang pernah bertemu incumbent DPR maupun caleg. Jadi karena tidak pernah disentuh.
Mereka sudah senang dengan kita dan begitu saya datang saya itu bukan cuma datang salaman, bawa wartawan, terus pulang. Enggak, saya satu jam duduk bareng di situ bersama mungkin 50 hingga 60 orang. Dan saya apa adanya, saya tidak pernah memposisikan diri sebagai saya orang politik atau saya lebih tinggi posisinya, enggak. Jadi saya balik.
Setiap kali saya blusukan, saya ceritain, saya seperti orang mau ngelamar kerja. Jadi ibu, bapak ini kan pegang kedaulatan rakyat, ibu bapak yang akan pilih saya, ini program-program yang akan saya bawa.
Warga tuh senang, mereka lihat, ini orang ternyata karyawan gue nih. Jadi ada sensasi yang membuat mereka senang bahwa oh asyik nih, caranya beda nih. Dia mau ngelayani kita, dia mau jawab pertanyaan kita, dari yang paling berat sampai yang paling receh dilayani.
Pertanyaan paling receh gimana?
Udah nikah belum? Ibu-ibu tuh. Biasanya saya bilang sudah nikah, lalu kecewa. Perasaan emosinya itu otentik gitu lho, jadi enggak artificial dan enggak ada jarak gitu ya. Kedua saat saya lagi blusukan, saya diferensiasi.
Anda pernah menjadi staf Ahok, apakah ini berpengaruh saat kampanye?
Saya turun sebenarnya sebagai Rian Ernest. Rian Ernest PSI. Saya enggak pernah memberikan informasi detail tentang Pak BTP. Saat keliling, satu-satunya elemen yang saya berikan adalah dalam pengalaman saya di pelayanan bidang publik, saya pernah menjadi staf Gubernur DKI selama dua tahun.
Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias ahok foto bersama dengan calon istrinya, Puput Nastiti, di kursi berbentuk hati. Foto: Instagram/@btpkami
Jadi saya sudah memilih bahwa saya bersyukur sudah 2 tahun diberikan kesempatan oleh Pak BTP untuk membantu beliau dan melayani warga DKI dan saya pikir itu sudah lebih dari cukup kesempatan buat saya. Sekarang saatnya saya berpolitik.
Saya berpolitik yang membangun dari bawah, dari nol. Saya tidak mencoba menyangkutkan nama saya dengan Pak BTP karena secara partai saya sudah beda dan saya harus hormati keputusan beliau.
Saya enggak ada modal berpolitik di Jakarta Timur. Partai pun dikenal hanya 30% apalagi Rian Ernest sedikit sekali. Jadi saya benar-benar seperti kertas putih, terjun satu setengah tahun
Berdasarkan hasil quick count sementara, Anda menggalang 85 ribu suara di DKI, artinya apa?
Kalau saya coba refleksikan ke diri saya sendiri, enggak pernah saya punya mimpi, enggak pernah terpikir seorang Rian yang anak biasa aja, bukan keluarga kaya, kecil di Bekasi, main banjir-banjiran, SMA juga SMA Negeri, kuliah juga kuliah negeri, duit pas-pasan, tapi itu semua bisa berbuah.
Saya membayangkan buahnya itu buah ajaib juga ya. Anda bayangkan, GBK, satu GBK full pilih saya. Jadi kalau kita 85.000 suara kan cuma 85.000. Tapi kalau kita bayangkan GBK, Full teriakkan nama saya, itu saya kalau cerita gini suka agak merinding.
Menurut Anda, program reformasi hukum seperti apa yang harus ada di Indonesia?
PSI sekarang sudah punya organisasi kecil di dalam PSI namanya jangkar solidaritas yang isinya lawyer-lawyer yang kalau ada kasus kita turun di situ. Masalah persekusi atau masalah caleg dikriminalisasi kita akan bantu.
Ke depannya akan dibikin lebih besar skalanya mau lebih besar. Jadi saya dan juga teman-teman para sarjana hukum PSI mungkin tetap bisa berkarya membantu masyarakat yang dipersekusi, di-bully, mengalami pelecehan seksual secara gratis.
Kedua ya sekarang kan PSI punya calon-calon di DPRD sebenarnya. Jadi ya berkontribusi di bidang hukum juga bisa kita lakukan dengan channel kita di DPRD. Nanti sebenarnya yang mau kita lakukan dalam waktu dekat yaitu transparansi.
Anda sering berdebat dengan Faldo Maldini, sebenarnya hubungan Anda berdua seperti apa?
Wasekjen PAN Faldo Maldini Foto: Tio/kumparan
Saya dengan Faldo itu nuansanya seperti ini. Kebetulan kami sama-sama anak UI, beliau fakultas MIPA dan saya anak hukum. Kalau saya lihat Faldo, saya membayangkan seperti kembali ke kampus lagi, diskusi di meja kantin.
Diskusi santai saja dan enggak mesti sama anak politik. Kita bisa berdebat punya gagasan yang sangat berbeda tapi oke aja, woles saja.
Nah saya dengan Faldo, saya pikir seperti itu. Artinya kalau kita lagi punya gagasan, kita bisa berdebat, tapi habis itu kita santai, boleh. Saya paling enggak suka istilah panggung depan, panggung belakang.
Dan ada politisi yang saya enggak perlu sebut namanya, di depan saling hujat habis-habisan, sangat tidak respect, saling benci. Tapi begitu di belakang bisa ngopi-ngopi nge-wine bareng. Ini saya dengan Faldo, saya usahakan di depan saling berdebat dan saling menghargai, tapi di belakang juga tetap baik.
Nilai perjuangan apa yang akan terus dipegang PSI?
Keluhuran agama akhir-akhir ini malah jadi kurang luhur karena dikawinkan dengan syahwat politik. Justru PSI ingin menegaskan keluhuran agama dengan memisahkan antara agama dengan syahwat politik.
Kami berterima kasih sebenarnya terhadap 3 juta warga yang sudah memberikan suara kepada kami. Kami bersyukur tanpa kita pakai politik identitas, tanpa politik uang, kita dapat 3 juta suara.
Sebagai partai yang baru, yang direndahkan oleh partai-partai besar yang menyebut kita belum ada kerja nyata, kita anak kecil, bahkan kita odong-odong, dalam konteks itu kami bersyukur.
Lalu, kalau bicara di Indonesia, kami itu Indonesia. Dan kami akan selamanya menolak jangan sampai Indonesia bersyariah dan kita harus pastikan capres cawapres nanti itu harus sepakat dengan dasar negara yang sudah disepakati UU.
Catatan buat PSI agar lebih siap menghadapi Pileg 2024?
Evaluasi buat kami tentu kami akan perkuat lagi infrastruktur partai di daerah. Kami tidak bisa hanya fokus di kota-kota besar, kami harus menjangkau di daerah. Kami harus bisa menjangkau lagi anak-anak muda. Parlemen nanti isinya sama anak-anak PSI, karena ini tokoh-tokoh baru semua kan.
Pesan kepada konstituen setelah PSI gagal lolos parliamentary threshold?
Kita ingin kembalikan sportivitas di politik dan kita ingin bahwa politik itu bukan cuma berbasiskan emosi dan perasaan dan tensi. Tapi juga harus ada ilmiahnya juga karena kalau politik tidak bersandarkan terhadap aspek-aspek ilmiah yang terukur, repot kan kita. Jadi enggak jelas arah tujuan kita seperti apa.
Nah, PSI selalu berpandangan bahwa harus sportif, harus fair dan harus ilmiah juga. Makanya PSI kalau berdebat kan selalu menyajikan data termasuk pada saat quick count mengatakan bahwa PSI belum saatnya. Kita langsung menyatakan, dengan cepat, ya memang kami kalah.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten