RJ Lino Gugat Praperadilan soal Lamanya Kasus QCC Pelindo II, KPK Siap Hadapi

26 April 2021 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino di KPK. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino di KPK. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Mantan Direktur Utama Pelindo II (Persero), RJ Lino, menggugat praperadilan KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II pada 2010. RJ Lino mengajukan praperadilan lantaran merasa penyidikan perkara tersebut tidak sah dan melawan hukum.
ADVERTISEMENT
RJ Lino mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (16/4) dan teregister dengan nomor perkara 43/Pid.Pra/2021/PN JKT.SEL. Sidang perdana akan digelar pada 4 Mei.
RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan QCC pada Desember 2015. Namun ia baru ditahan pada 26 Maret 2021, atau 5 tahun kemudian. Dasar gugatan RJ Lino terkait lamanya penanganan perkara tersebut.
Dalam permohonan gugatan, RJ Lino menilai penyidikan tersebut melampaui jangka waktu yang ditetapkan UU KPK versi revisi. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU KPK yang baru, disebutkan KPK dapat menghentikan perkara apabila penyidikan tidak selesai dalam waktu 2 tahun.
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino (tengah) menaiki mobil tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
"Menyatakan penyidikan oleh Termohon (KPK) kepada Pemohon (RJ Lino) yang melebihi jangka waktu 2 tahun dan proses hukumnya belum selesai adalah melanggar norma Pasal 40 ayat (1) Jo. Pasal 70 C U (UU KPK)," isi petitum gugatan RJ Lino dikutip dari di SIPP PN Jaksel, Senin (26/4).
ADVERTISEMENT
Selain itu, RJ Lino dalam petitumnya yang lain, menilai KPK tak bisa menyidik perkara QCC lantaran melanggar norma Pasal 11 ayat (1) huruf b dan ayat (2) jo Pasal 70 C UU KPK. Ketentuan itu terkait kasus dengan kerugian negara yang bisa diusut KPK.
Berikut bunyinya:
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.
Tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino di KPK. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Atas berbagai argumen itu, RJ Lino menilai penerbitan surat perintah penyidikan KPK dalam kasus QCC tidak sah. Sehingga ia meminta hakim PN Jaksel segera mengeluarkannya dari tahanan.
ADVERTISEMENT
"Memerintahkan termohon untuk mengeluarkan pemohon dari Rumah Tahanan Negara Kelas I Cabang KPK RI. Memulihkan harkat, martabat dan nama baik pemohon dalam keadaan semula," bunyi gugatan RJ Lino.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Tanggapan KPK

Mengenai gugatan praperadilan RJ Lino, KPK menyatakan siap menghadapinya. Plt juru bicara KPK Ali Fikri meyakini penyidikan kasus QCC Pelindo II sudah sesuai ketentuan.
"KPK tentu siap hadapi permohonan praperadilan dimaksud. Kami yakin bahwa seluruh proses penyidikan maupun penahanan yang kami lakukan telah sesuai mekanisme aturan hukum yang berlaku," kata Ali.
"KPK melalui Biro Hukum segera susun jawaban dan akan menyampaikannya di depan sidang permohonan praperadilan dimaksud," pungkasnya.
Suasana di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola PT Pelindo II, saat crane membongkar muat peti kemas dari kapal-kapal kargo. Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan

Latar Belakang Perkara

Dalam kasusnya, RJ Lino diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirut Pelindo II dengan menunjuk langsung perusahaan China, HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM), sebagai pelaksana proyek pengadaan QCC.
ADVERTISEMENT
Proyek pengadaan itu bernilai sekitar Rp 100 miliar untuk pengadaan QCC di tiga lokasi, yakni Palembang, Pontianak, dan Lampung.
Namun berdasarkan hasil audit BPK, kerugian negara terkait pengadaan QCC hanya mencapai USD 22.828,94 atau bila dikonversikan senilai Rp 328 juta.
Meski demikian audit BPK tersebut cuma menghitung kerugian pemeliharaan 3 unit QCC, tidak termasuk biaya pembangunan dan pengiriman. Sebab hingga proses penghitungan rampung, BPK belum mendapatkan bukti harga yang dipatok HDHM terhadap 3 QCC tersebut.
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutterstock
Walau demikian, KPK mencoba cara lain menghitung kerugian negara dengan meminta bantuan ahli ITB. KPK meminta bantuan ahli ITB untuk menghitung berapa harga QCC tersebut, termasuk ongkos kirimnya dari China ke Indonesia.
Hasilnya menurut penghitungan ahli ITB, Harga Pokok Produksi (HPP) hanya sebesar USD 2.996.123 untuk QCC Palembang, USD 3.356.742 untuk QCC Panjang Lampung, dan USD 3.314.520 untuk QCC Pontianak.
ADVERTISEMENT
Adapun nilai kontrak pengadaan 3 unit QCC antara Pelindo II dan HDHM mencapai USD 15.554.000. Sehingga bila dibandingkan, terdapat selisih USD 5.886.615 antara penghitungan ahli ITB dengan nilai kontrak Pelindo dengan HDHM. Adapun selisih tersebut jika dikonversikan mencapai Rp 84.784.915.845.