Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Tak ada rasa sesal dalam diri Suhendri menolak tawaran duit Rp 10 miliar dari orang yang akan membeli hutan miliknya di Kelurahan Bukit Biru, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kakek berusia 78 tahun ini memilih mempertahankan lahan agroforestri yang sudah dirawatnya selama 30 tahun lebih itu.
ADVERTISEMENT
“Walaupun hutan saya mau dibeli 100 miliar Rupiah, tidak akan saya jual, apalagi Rp 10 miliar, percuma. Kalau dijual bakal rusak lah, nanti dibikinkan mal, perumahan,” kata Suhendri dilansir Karja, partner 1001 media kumparan, Jumat (8/11).
Di lahan seluas 1,5 hektare itu, tumbuh sekitar 60 spesies tanaman. Dengan konsep agroforestri, hutan milik Suhendri ditanami 2 jenis tanaman dengan 2 fungsi. Yakni, tanaman pangan untuk kebutuhan ekonomi dan tanaman kehutanan bagi keberlanjutan lingkungan hidup. Alasan tak menjual hutannya, tentu berkaitan dengan fungsi yang kedua.
"Ada bahasanya dari dulu, Pulau Kalimantan tidak boleh dirusak karena sebagai paru-paru dunia,” terang Suhendri.
Daripada memikirkan soal uang, Suhendri lebih khawatir kalau hutannya dirusak, aspek keselamatan manusia malah terancam. Sebab, suplai oksigen yang dibutuhkan bagi pernapasan bisa terganggu.
Pemikiran Suhendri bukanlah tanpa rujukan. Kalau saja ia berpikir pragmatis dan untuk kepentingan sesaat, bisa saja ia menjual lahan beserta pohon dan tanaman di atasnya.
ADVERTISEMENT
Kakek itu malah berpikir seperti para cendekiawan. Layaknya Joseph Priestley, saintis asal Inggris, yang pada abad 1774 diatribusikan sebagai penemu oksigen. Meskipun bukan cuma Priestley yang melakukan penelitian tentang gas itu di masa yang hampir sama.
Kala itu, Priestley melakukan dua uji coba sekaligus. Menaruh lilin dan tikus dalam sebuah wadah tertutup yang bisa membuat keduanya mati kehabisan udara. Lalu ia menaruh tanaman hijau dalam wadah yang dikenai sinar matahari itu.
Hasilnya, api lilin bisa menyala dan tikus bernapas 4 kali lebih lama. Itu karena ada gas yang Priestley namai sebagai ‘dephlogisticated air’. Ahli kimia Prancis bernama Antoine Lavoisier kemudian mempopulerkan gas itu dengan sebutan oksigen.
Priestley menyadari tumbuhan mengeluarkan oksigen ke udara dan bermanfaat bagi makhluk hidup yang menghirupnya. Namun, baru tahun 1799 prosesnya dijelaskan oleh ilmuwan Fisika Belanda, Jan Ingenhousz. Ia menyebutnya sebagai fotosintesis.
ADVERTISEMENT
“Mungkin, salah satu laboratorium besar alam untuk membersihkan dan memurnikan udara atmosfer kita ada pada substansi daun, dan digerakkan oleh pengaruh cahaya,” katanya sebagaimana dikutip dari Oxygen: A Four Billion Years History (2014) karya Donald E. Canfield.
Sederhananya, fotosintesis terjadi pada daun di tumbuhan dengan mengubah karbondioksida menjadi sumber makanan dan oksigen. Proses itu berlangsung dengan bantuan cahaya matahari dan air.
Bahaya Kekurangan Oksigen
Menurut NASA, jumlah oksigen di atmosfer bumi saat ini punya komposisi sebanyak 21 persen. Sebuah komposisi yang aman untuk proses pernapasan manusia antara 19,5 dan 23,5 persen berdasarkan regulasi Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat.
Kurang dari presentase itu sudah jelas berbahaya. Pada level 16-19,5 persen, mampu menyebabkan peningkatan frekuensi pernapasan, mempercepat detak jantung, dan gangguan berpikir atau koordinasi terjadi lebih cepat di lingkungan yang kekurangan oksigen.
ADVERTISEMENT
Komposisi oksigen yang hanya mencapai 6-10 persen di udara bisa membuat seseorang mual, muntah, dan kehilangan kesadaran. Menghirup kurang dari itu bahkan bisa bikin kejang, pernapasan berhenti, dan gagal jantung.
Beruntunglah jika hari ini komposisi oksigen bisa terjaga pada kadar yang menunjang kehidupan manusia. Menurut Scripps Institution of Oceanography, separuh oksigen itu diproduksi oleh organisme lautan alga (50 persen). Adapun separuhnya lagi hasil fotosintesis dari pepohonan di daratan.
“Tanpa fotosintesis (oksigenik), tidak akan ada oksigen di dalam atmosfer, tidak akan ada juga tumbuh-tumbuhan, hewan, dan siapapun yang menceritakan kisah (sejarah oksigen) ini,” ujar Canfield yang merupakan Profesor Ekologi di University of Southern Denmark itu.
Jika demikian, tak heran apabila Kakek Suhendri rela menolak uang Rp 10 miliar. Karena, baginya lingkungan lebih berharga demi keberlanjutan kehidupan.
ADVERTISEMENT