Saat Tamu Tak Diundang Menyusup ke Ruang Zoom Sidang Gugatan Rizal Ramli di MK
ADVERTISEMENT
Gugatan terhadap ambang batas capres atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen di Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan Rizal Ramli sudah dibacakan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Sidang tersebut digelar secara online lantaran Pemprov DKI Jakarta menerapkan PSBB ketat. Para pemohon dan majelis panel MK tersambung melalui aplikasi Zoom yang kemudian disiarkan langsung melalui YouTube resmi MK yakni Mahkamah Konstitusi RI.
Ada momen unik saat sidang pembacaan gugatan itu. Terdapat tamu tak diundang yang masuk ke room Zoom khusus sidang tersebut. Padahal hanya majelis panel MK dan para pemohon yang diperkenankan masuk ke room Zoom itu. Ketua majelis panel MK, Arief Hidayat, yang menyadari hal tersebut.
Arief menyadari ada yang 'menyusup' saat Rizal Ramli sedang membacakan alasan gugatannya.
"Mohon maaf saya potong sebentar. Itu ada dalam monitor kami ada yang namanya Arif Gunawan siapa itu? Di kuasa (hukum) tidak ada, prinsipal (pemohon -red) juga bukan, siapa itu?" tanya Arief kepada Rizal Ramli dan para kuasa hukumnya, termasuk Refly Harun, dalam sidang pada Senin (21/9).
Rizal yang tak mengetahuinya menduga pria tersebut berasal dari media yang meliput persidangan.
ADVERTISEMENT
"Kayaknya dari media barangkali," jawab Rizal.
Begitu pula Refly Harun yang tak mengetahui bagaimana pria tersebut bisa masuk. Ia menegaskan Arif Gunawan bukanlah bagian pihak pemohon.
"Bukan dari pemohon Yang Mulia, kami enggak tahu," ucap Refly.
Arief kemudian bertanya langsung kepada Arif Gunawan. Ia meminta Arif Gunawan untuk keluar dari ruang Zoom sidang tersebut lantaran bukan bagian dari pemohon.
"Pak Arif Gunawan tidak berhak mengikuti meski ini sidang daring, tapi Anda bukan prinsipal dan bukan kuasa hukum. Tolong yang tertib," ucap Arief.
Tak lama kemudian, MK kembali melanjutkan sidang usai pria tersebut keluar dari ruang Zoom.
Adapun dalam gugatannya, Rizal Ramli menilai syarat PT 20 persen telah menciptakan demokrasi kriminal. Sebab para calon kepala daerah hingga capres harus membayar sejumlah uang ke partai agar bisa maju dalam Pemilu.
ADVERTISEMENT