Sangkal Fadli Zon, Sejarawan UGM Sebut Sukarno-Hatta Berperan dalam SU 1 Maret

7 Maret 2022 17:56 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Soekarno (kanan) dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Foto:  Bert Hardy/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Soekarno (kanan) dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Foto: Bert Hardy/Getty Images
ADVERTISEMENT
Sejarawan UGM Sri Margana menyebut bahwa Sukarno dan Mohammad Hatta turut berperan dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Kota Yogyakarta. Meski saat itu, keduanya bersama sejumlah menteri tengah diasingkan di Menumbing, Kepulauan Bangka Belitung.
ADVERTISEMENT
Pendapatnya ini berlawanan dengan Fadli Zon, doktor sejarah lulusan UI, yang menyatakan Soekarno-Hatta tak berperan dalam SU 1 Maret 1949 karena sedang ditawan Belanda.
Di akun Twiter pada 6 Maret 2022, Fadli Zon yang juga politikus Gerindra ini menulis bahwa Sukarno-Hatta ditawan Belanda, tak ada peran dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. "Tak ada data menyetujui apalagi menggerakkan," tulisnya mengomentari postingan Humas Pemda DIY.
Margana yang juga salah satu tenaga ahli penulis naskah akademik Hari Penegakan Kedaulatan Negara -- yang ditetapkan Presiden Jokowi jatuh pada 1 Maret -- mengatakan Sukarno dan Hatta tetap melakukan perjuangan dengan jalur diplomasi.
"Pak Dirman (Jenderal Sudirman) memutuskan untuk melanjutkan perjuangan melalui perlawanan gerilya, sementara Sukarno dan para menterinya berkukuh melakukan perjuangan secara diplomasi. Kemudian para menteri itu dan Sukarno serta Hatta ditangkap (Belanda) dan dibuang ke Menumbing," kata Margana saat acara Memahami Keppres No 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang ditayangkan di akun YouTube Humas Jogja, Senin (7/3).
ADVERTISEMENT
"Di sini kunci, walaupun mereka dipenjara mereka tetap melakukan perjuangan-perjuangan atau langkah-langkah diplomasi melalui apa yang disebut counter-counter propaganda," kata Margana.
Sejarawan UGM Sri Margana saat menjadi pembicara di acara Memahami Keppres No 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara di YouTube Humas Jogja, Senin (7/3). Foto: Dok. Istimewa
Langkah diplomasi ini penting karena saat itu Belanda terus mempropaganda ke dunia internasional bahwa Indonesia telah habis. Van Roijen bahkan menyebut Indonesia tinggal petingginya saja, sementara Jenderal Sudirman disebut sebagai ekstremis.
Belanda juga berkata ke dunia Internasional bahwa pemimpin Indonesia yang dipenjarakan dalam keadaan baik. Padahal fakta sebenarnya berkebalikan.
"Sebenarnya ada beberapa orang itu ditahan di dalam kamar 4x6 meter. Dan bagian depan ditutup kawat. Kenyataannya para tahanan politik ini tidak diperkenankan keluar dari kamar 4x6 ini," kata Margana.

Komisi Tiga Negara

Counter propaganda dilakukan dengan menerbitkan dokumen 54 halaman yang memperlihatkan kampanye hitam Belanda kepada dunia internasional tentang Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tulisan tersebut sampai kepada Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices) pada 21 Januari 1949. Komisi Tiga Negara (KTN) ini adalah bentukan Dewan Keamanan PBB. Mereka terdiri dari Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. KTN berfungsi untuk memfasilitasi perundingan antara Indonesia dan Belanda pada masa itu.
Melalui dokumen tulisan M Roem dan Hatta tersebut, terungkap lah perlakuan Belanda kepada tahanan politik di Indonesia. KTN kemudian berkunjung ke tempat para tahanan politik itu dan dari situ diketahui bahwa Belanda telah berbohong.
KTN kemudian memberikan keleluasaan kepada para tahanan politik itu. Mereka bebas hidup di pulau seluas 4.500 mil itu. Termasuk Sukarno yang kemudian pindah ke Wisma Ranggam, Muntok, karena tak tahan dengan cuaca dingin.
ADVERTISEMENT
"Atas protes ini mereka dibebaskan dari rumah itu bahkan para tahanan politik boleh berkeliaran di seluruh pulau. Bebas bergerak di sana dan dijamin melakukan komunikasi dengan siapa pun. Hanya dengan jaminan kebebasan berkomunikasi itu upaya perundingan bisa dilakukan," kata Margana.
"Bagaimana mereka mau berunding kalau mereka tidak boleh berkomunikasi dengan tokoh-tokoh politik yang lain yang ada di tempat lain, termasuk yang ada di Yogya," jelasnya.

Diplomasi di Pengasingan Menjadi Kunci

Diplomasi yang dilakukan para tokoh di pengasingan itu menjadi kunci. Diplomasi tersebut kemudian didukung dengan militer untuk menunjukkan eksistensi Indonesia tidak hanya secara politik.
"Di sinilah kuncinya kemudian di Yogya bergerak. Sri Sultan HB IX mulai melancarkan ide-ide mengenai serangan umum 1 Maret," kata Margana.
ADVERTISEMENT
"Sultan satu dari sedikit menteri yang tidak ikut ditahan oleh Belanda sehingga beliau bisa memiliki sedikit banyak untuk bergerak, untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti menghubungkan dengan Jenderal Soedirman dan para tokoh yang diasingkan di Bangka itu. Beliau bahkan mengunjungi Sukarno dan Hatta di Menumbing," kata Margana.
Di Menumbing, Sultan HB IX juga memberikan dana dan mobil untuk revolusi Indonesia.
"Sebuah mobil untuk fasilitas para pemimpin politik yang ditahan untuk mobilisasi. Peran penting yang tidak bisa dikesampingkan," katanya.

Diplomasi Sukarno-Hatta Memicu SU 1 Maret

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) membacakan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara di Tetenger Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Keben Keraton Yogyakarta, Selasa (1/3). Foto: kumparan/Arfiansyah Panji Purnandaru
Julianto Ibrahim, sejarawan UGM, lainnya mengatakan, diplomasi Sukarno dan Hatta jadi pemicu Serangan Umum 1 Maret. Dokumen yang mereka kirim ke KTN menandakan Indonesia masih ada.
ADVERTISEMENT
"Sukarno menjaga diplomasi dan dalam proses berikutnya di Menumbing bisa berhubungan," kata Julianto.
Dia menjelaskan bahwa dokumen itu membuka mata Amerika. Belanda telah menyelewengkan dana Marshall Plan dari Amerika serikat sebesar 600 juta gulden.
Uang tersebut sejatinya untuk membantu ekonomi negara yang hancur akibat perang dunia kedua termasuk Belanda. Tetapi uang itu justru digunakan untuk menindas Indonesia.
"Seperti yang dilaporkan Senator Malone, dia lapor kecewa dengan Belanda karena dana Marshall Plan ternyata digunakan untuk menindas bangsa Indonesia," kata Julianto.
Setelah 1 Maret itu, Amerika mendesak Belanda untuk melakukan perundingan untuk memberikan kebebasan murni kepada Indonesia. Jika tidak, maka KTN tidak akan memberikan bantuan dana lagi ke Belanda.
"Mengapa pada saat setelah 1 Maret itu terjadi? Negara pertama yang menyerukan sidang dan bisa menekan Belanda adalah Amerika, karena kalau tidak mau sidang, Marshall Plan akan dicabut karena Belanda telah mendapat 600 juta golden. Dan mau dikasih 600 juta lagi. Kalau tidak mau bersidang maka 600 juta lagi yang berikutnya tidak akan diberikan," beber Julianto.
ADVERTISEMENT