Saran Walhi ke Ridwan Kamil soal Pasangan Cerai Setor 100 Pohon

10 Desember 2019 16:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat meluncurkan aplikasi 'Sapawarga'. Foto: Dok. Humas Pemprov Jabar
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat meluncurkan aplikasi 'Sapawarga'. Foto: Dok. Humas Pemprov Jabar
ADVERTISEMENT
Walhi Jabar memberi tanggapan mengenai wacana Gubernur Jabar Ridwan Kamil atau dikenal Emil agar pasangan suami istri yang hendak bercerai mesti memberi 100 pohon.
ADVERTISEMENT
Ketua Walhi Jabar Meiki Wemly tidak mempermasalahkan ide itu dan mendukung pemerintah memulihkan lingkungan hidup asalkan tidak melanggar prinsip hak asasi manusia dan SARA.
Akan tetapi, Meiki menilai ada beberapa faktor yang mesti dipertimbangkan sekaligus disosialisasikan pemerintah terutama mengenai capaiannya. Dia menilai pemerintah perlu juga memberi sosialisasi mengenai arti penting penanaman pohon.
"Kami melihat kan ini output-nya lebih mengarah ke kuantitas mengumpulkan pohon, tetapi capaian bagaimana publik tersadarkan cara pandangnya terhadap arti penting pohon dan menanam pohon itu masih lemah kalau dengan skema seperti itu," kata dia melalui sambungan telepon, Selasa (10/12).
Jangan sampai, Meiki menuturkan, pengumpulan pohon jadi terkesan pemberian sanksi semata, tapi harus disertai sosialisasi dan penjelasan terkait maksudnya bahwa penanaman pohon dimaksudkan meningkatkan kepedulian masyarakat mengenai arti penting pohon.
ADVERTISEMENT
"Harus disertai dengan pemberian pemahaman melalui sosialisasi bahwasanya maksud dan tujuan sanksi ini atau denda menyediakan 100 pohon itu wujud untuk meningkatkan kepedulian publik atau individu terhadap arti penting pohon secara spesifik dan lingkungan secara umum," ujar Meiki.
Kerusakan bukit di kawasan Cimenyan, Bandung Utara Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Selain itu, lanjut Meiki, pemerintah juga mesti mempersiapkan pedoman teknis pengumpulan pohon tersebut. Jangan sampai, nantinya terjadi praktik barter atau suap antara pengumpul dan penerima pohonnya. Sebab, dia menilai praktik suap di Indonesia masih menjadi budaya yang kerap dipraktikkan.
"Baik itu yang ditawarkan oleh pihak pasutri ataupun pihak pengadilan kan itu bisa terjadi kan. Jadi jangan sampai terjadi praktik suap karena itu masih menjadi budaya di kita jadi ditawarkan 'Ya, udah daripada repot ganti uang saja, nanti kami yang belikan'. Nah, ini harus dipikirkan. Jadi sosialisasi dan pedoman teknisnya," beber Meiki.
ADVERTISEMENT
Intinya, Meiki mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan upaya apa pun yang dilakukan pemerintah dalam memulihkan lingkungan. Dia juga enggan menilai secara subjektif dan muncul kesan Walhi selalu tak bersepakat dengan pemerintah.
Kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda di Bandung Utara. Foto: Iqbal Tawakal/kumparan
"Kalau untuk strategi dan taktik dalam rangka penyelamatan lingkungan hidup dan secara spesifiknya di pohon kita tidak mempermasalahkan karena kita juga tidak mau jadi subjektif dan terkesan nanti menyerang atau selalu tidak bersepakat dengan kebijakan pemimpin daerah. Kami masih anggap baik tapi perlu dipikirkan dampak apa yang muncul," kata dia.
Kawasan Bandung Utara Bukan Lahan Kritis
Sementara itu, disinggung soal lahan kritis di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang jadi tujuan pengumpulan pohon, Meiki menilai mestinya definisi yang diberikan bukanlah 'lahan kritis' karena istilah lahan kritis merujuk pada lahan yang tidak dapat digunakan untuk budidaya kembali. Sementara, lahan di KBU masih digunakan warga untuk bertani.
ADVERTISEMENT
"Nah, ini ada yang mau kita tekankan sebenarnya Kawasan Bandung Utara itu tidak kritis karena definisi lahan kritis itu lahan yang tidak bisa diapa-apakan, artinya lahan yang tidak bisa ditanam, tidak bisa dibudidayakan, sebenarnya lahan di KBU itu kan masih produktif bukan lahan kritis," terang dia.
Bahkan, sambung Meiki, sejak zaman kolonial Belanda warga di sana telah mulai menanam teh dan kina. Namun demikian, dia menilai memang wawasan kesadaran lingkungan petani mesti ditingkatkan misalnya dengan menerapkan tegakkan pohon yang berguna untuk menyerap air.
"Jadi masih menerapkan pola pertanian yang kurang ramah lingkungan, tidak disertai dengan tegakkan pohon yang mempunyai kemampuan menyerap air dengan sistem pengakarannya," papar dia.
"Jadi kalau dibilang kritis sih tidak kritis menurut kami karena masih bisa ditanami pohon juga kan, tapi mungkin terminologinya bisa diubah jadi lebih ke arah tata guna lahannya," pungkas dia.
ADVERTISEMENT
Surat Edaran
Sebelumnya, surat edaran tentang sumbangan pohon ini, menurut Ridwan Kamil, menjadi bagian gerakan penanaman pohon di kawasan kritis, terutama Kawasan Bandung Utara (KBU) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum bagian hulu. Melalui gerakan tersebut, bencana yang disebabkan tanah gundul di gunung atau perbukitan bisa dikurangi bahkan dihentikan.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membuka Konferensi Musik Indonesia ke-2 di Soreang, Kabupaten Bandung. Foto: Dok. Humas Pemprov Jabar
Pemprov Jabar masih mengkaji aturan melalui surat edaran terkait sumbangan pohon dari masyarakat ini. Surat edaran tersebut tidak hanya berlaku untuk pasangan, tapi juga berlaku untuk para siswa, mahasiswa hingga PNS.
"Lulusan SD nyetor 10 pohon, lulusan SMP nyetor 10 pohon juga. Pohon itu ada yang Rp 10 ribu, Rp 20 ribu, ada Rp 50 ribu. Anggap saja kalau 10 pohon cuma nyumbang Rp 50 ribu. Kalau mau kelulusan demi lingkungan saya kira enggak ada masalah," kata Ridwan Kamil.
ADVERTISEMENT