Sebelum Umumkan PSBB, Jokowi Harusnya Tetapkan Status Darurat Kesehatan

30 Maret 2020 18:36 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi memilih upaya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk upaya memerangi virus corona. Namun, Jokowi seharusnya menetapkan terlebih dahulu status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Yang harus dipahami adalah, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ini merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM). Artinya, pemberlakuan PSBB harus didahului dengan penetapan status KKM oleh Presiden," kata Praktisi Hukum Publik, Mas Achmad Santosa, dalam keterangannya kepada kumparan. Senin (30/3).
Praktisi Hukum Publik, Mas Achmad Santosa. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
PSBB memang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 pada Pasal 59. Yakni pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Mas Achmad Santosa atau akrab disapa Ota ini menjelaskan kenapa harus ada penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) terlebih dahulu sebelum pemberlakuan PSBB.
Dia menjelaskan, Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) merupakan kejadian yang bersifat luar biasa. Peristiwa itu ditandai dengan penyebaran penyakit menular yang bisa membahayakan kesehatan. Hal itu berpotensi menyebar hingga lintas wilayah bahkan lintas negara.
ADVERTISEMENT
"KKM ini ditetapkan atau dicabut oleh pemerintah pusat , dalam hal ini Presiden," kata Ota.
Penumpang duduk di bangku yang telah diberi stiker panduan jarak antarpenumpang di rangkaian gerbong kereta LRT, Palembang. Foto: AFP/Abdul QODIR
Menurut dia, PSBB merupakan salah satu respons mitigasi dari KKM. PSBB yang membatasi aktivitas masyarakat pun dinilai dapat diartikan sebagai pelanggaran prinsip prinsip demokrasi dan HAM.
Maka itu, dipandang perlu ada alasan pembenar mengenai hal tersebut. Yakni, adanya penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM).
"Melalui penetapan status KKM oleh kepala pemerintahan yaitu Presiden. Pemberlakuan atau penetapan karantina wilayah maupun PSBB dilakukan oleh Menteri Kesehatan (bukan oleh Presiden) setelah Presiden menetapkan KKM," papar Ota.
Foto aerial kendaraan melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (23/3). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Berdasarkan UU, PSBB mencakup meliburkan kegiatan di sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, penutupan suatu wilayah yang jadi episentrum COVID-19 juga bisa dikategorikan sebagai PSBB. Sepanjang bertujuan untuk mencegah penyebaran corona meluas.
"Walaupun mencegah orang keluar dari wilayah tertentu, dan mencegah orang masuk ke wilayah tertentu lebih pas merupakan bagian dari kebijakan Karantina Wilayah. Tetapi menurut saya bisa juga diartikan sebagai bagian dari Pembatasan Sosial," kata Ota.
Berdasarkan UU, terdapat pula sanksi yang bisa diterapkan bagi mereka yang melanggar soal penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan ini. Yakni pidana maksimal 1 tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.
Tak hanya perorangan, hukuman juga bisa dijerat kepada korporasi. Termasuk perintah pengurus korporasi dan pengendali kegiatan korporasi. Hukumannya pun lebih berat, yakni pidana maksimal ditambah 2/3."
ADVERTISEMENT
Saya setuju pendekatan persuasif dilakukan terhadap pelanggar tetapi dalam kondisi saat ini sepertinya sikap tegas sangat diperlakukan," kata dia.
Saat ini, pemerintah masih menyusun PP terkait pelaksanaan teknis dari UU tersebut. Diharapkan PP tersebut segera rampung.
"Saya berharap PP ini bisa diselesaikan dalam beberapa hari ini karena sifatnya yang mendesak. Dengan adanya PP ini kita bisa mengetahui langkah-langkah konkret PSBB dari pemerintah. Saya berharap PP-nya mengatur sangat komprehensif," pungkas Ota.