Sederet Hak Perempuan di Aceh yang Masih Terabaikan

25 Maret 2018 17:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kampanye stop kekerasan terhadap perempuan (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye stop kekerasan terhadap perempuan (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK) Provinsi Aceh, meminta pemerintah untuk menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap perempuan. LBH-APIK menyebutkan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat setiap tahunnya, dalam hal ini adalah kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
“Kekerasan seksual semakin berkembang dan beragam, sementara hukum materiil dan formil yang mengaturnya sangat terbatas,” kata Roslina Rasyid, pimpinan LBH APIK Aceh, saat menghadiri kampanye antikekerasan terhadap perempuan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Minggu (25/3).
Menurut Roslina, kerentanan perempuan dapat dilihat dengan jelas pada berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan yang kian meningkat polanya. Bahkan dalam beberapa kasus, tindak kekerasan terhadap perempuan justru memperoleh legitimasi atas nama agama, adat istiadat, maupun hukum yang berlaku.
“Membutuhkan waktu yang panjang untuk memperjuangkan kepentingan dan posisi perempuan yang sejak dulu telah termarginalkan,” sebutnya.
Kampanye stop kekerasan terhadap perempuan (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye stop kekerasan terhadap perempuan (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Di samping itu, aksi kampanye anti kekerasan terhadap perempuan tersebut juga bersamaan dengan peringatan hari hak atas kebenaran, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Evi Narti Zein menyampaikan hak-hak korban konflik Aceh juga harus dipenuh semua pihak. Pemerintah maupun masyarakat umum diminta untuk mendukung kerja-kerja pengungkapan kebenaran yang saat ini sedang dikerjakan oleh KKR Aceh.
ADVERTISEMENT
Proses pengungkapan kebenaran dilakukan KKR, saat ini ialah melalui pengambilan pernyataan kepada saksi dan korban yang berada di wilayah kabupaten/kota di Aceh.
“Berkaitan dengan perayaan IWD ini kami mengingatkan semua pihak bahwa perempuan juga berhak tahu atas peristiwa kekerasan atau kekejaman pelanggaran HAM yang dialami perempuan selama konflik dan hingga kini belum dipenuhi,” kata Evi.
Di sisi lain, kata Evi konflik juga berpengaruh pada proses pencatatan perkawinan perempuan. Berdasarkan pendataan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), ditemukan masih banyak korban konflik di Aceh yang menikah siri di masa konflik dan hingga sekarang pernikahannya masih belum tercatat.
Pimpinan RPuK, Lela Jauhari, menyatakan secara kebijakan Aceh memiliki Pergub no. 25 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Itsbat Nikah Pelayanan Terpadu Satu Hari, bagi korban konflik dan tsunami Aceh secara gratis. Pihaknya mengharapkan komitmen pemerintahan Aceh, dan pemerintah di tingkat kabupaten/kota untuk mengalokasikan anggaran bagi berjalannya Pergub ini secara maksimal di Aceh.
ADVERTISEMENT
“Karena anggaran yang tersedia masih sangat minim. Menurut sumber Dinas Syariat Islam Aceh, 22.000 pasangan korban konflik dan tsunami masih antri menunggu layanan ini. Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan, karena pernikahan siri menjadikan perempuan dan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga,” ujarnya.
Kampanye stop kekerasan terhadap perempuan (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye stop kekerasan terhadap perempuan (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), Direktur Flower Aceh, Riswati menyatakan bahwa Perempuan dan HKSR merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika bicara isu perempuan maka melekat erat tentang bagaimana perempuan dapat mengakses hak kesehatan seksual dan reproduksinya.
Kata dia, dari hasil data dilapangan masih banyak persoalan yang dialami perempuan terkait dengan rekproduksinya, yaitu tingginya angka kematian Ibu (AKI), angka kematian bayi baru lahir, pernikahan usia anak, aborsi illegal, kehamilan tidak diinginkan, HIV AIDS, tidak memiliki kontrol terhadap tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Riswanto menilai hal ini menjadi target kekerasan seksual, serta akses layanan publik untuk HKSR perempuan yang belum memadai di berbagai wilayah di Aceh.
“Segelumit persoalan yang dialami perempuan, menjadi dilema ditengah-tengah upaya membangun masyarakat Aceh yang sejahtera dan bermartabat. Upaya untuk pemenuhan HKSR perempuan dapat dilakukan dengan menurunkan angka kekerasan seksual,” imbuhnya.