Sejarah GeNose: dari Pemeriksa Kualitas Kopi, Kini Jadi Pendeteksi COVID-19

5 Januari 2021 18:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mengoperasikan alat deteksi dini COVID-19 bernama GeNose C19 di Gedung Binagraha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/1).  Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengoperasikan alat deteksi dini COVID-19 bernama GeNose C19 di Gedung Binagraha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/1). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Sejumlah ahli dari UGM menemukan alat bernama GeNose yang mampu mendeteksi COVID-19. Alat ini bekerja dengan cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC) yang terbentuk karena adanya infeksi yang keluar bersama napas.
ADVERTISEMENT
Embusan napas ini dimasukkan ke dalam kantong khusus untuk dideteksi menggunakan kecerdasan buatan atau AI.
Setelah mendapat izin edar dari Kemenkes pada 24 Desember 2020, alat ini jadi harapan dalam upaya penanganan COVID-19 di Indonesia. Sejauh ini beberapa instansi pemerintah sudah memesan alat ini termasuk Pemprov Jateng.
Profesor Kuwat Triyana adalah sosok di balik inovasi GeNose. Alat ini bukan alat yang dikembangkan kemarin sore. Sebab jauh sebelum COVID-19 menjangkit dunia, alat ini sudah dikembangkan Kuwat lebih dari 20 tahun lalu.
"Pertama ini, bukan baru kami buat, karena saya bekerja dengan alat ini membuat ini sejak 2008. Kalau jenengan cek di perpustakaan ITB waktu saya S2 dulu, ini sudah kita kerjakan 1995," kata Kuwat ditemui di Science Technopark (STP) UGM, Kalasan, Kabupaten Sleman, Selasa (5/1).
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang dikerjakan GeNose pada waktu itu? Kuwat menjelaskan awalnya alat ini dikembangkan untuk mengklasifikasi kualitas kopi. Dengan begitu kualitas kopi dapat diketahui dengan cepat.
"Dulu hanya untuk klasifikasi kopi kualitas 1, 2, 3. Teh (juga) gitu," katanya.
Tetapi seiring perkembangan zaman, teknologi terus berkembang. GeNose tak luput dari pengembangan. Alat ini kemudian menjadi alat pendeteksi gelatin babi.
"Kemudian berkembang menjadi deteksi ini gelatin babi atau bukan babi," ucap Kuwat.
Seorang wartawan meniup kantong nafas sebelum diuji dengan GeNos C19 di Gedung Binagraha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/1). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO

GeNose dan COVID-19

Pada akhir 2019, dunia kemudian dikejutkan dengan virus COVID-19 di Wuhan, China. Virus itu berkembang dengan cepat hingga masuk ke tanah air pada April 2020.
Sebagai peneliti, timbul keinginan Kuwat untuk ikut berperan memutus mata rantai penularan COVID-19. Dia mengubah sensor alat ini agar bisa mendeteksi virus corona.
ADVERTISEMENT
"Mulai COVID sejak ada COVID itu bulan akhir April (2020). Dimodifikasi bagian sirkuit dan sensornya kemudian langsung diterapkan," kata Kuwat.
"Sebenarnya peneliti 3 orang. Fisika MIPA 2 orang, kemudian dokter 1. Kita kembangkan total ada 6 orang (peneliti)," tambah dia.
Lokasi produksi GeNose di Science Technopark (STP) UGM, Kalasan, Kabupaten Sleman. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Karena mendeteksi virus melalui embusan, Kuwat menjelaskan agar orang yang memakai GeNose sebelumnya menghindari makanan berbau seperti jengkol. Hal itu untuk mencegah positif palsu.
"Iya (jangan makan jengkol dulu). Sudah ada di SOP lah. Seperti kita kalau mau cek darah seperti itu. Nanti kalau kita misalnya makan makanan di SOP sudah disebutkan kebanyakan terjadi positif palsu," ujarnya.
"Dia bukan orang yang positif bisa positif palsu. Makanya kumur dahulu 30 menit berikutnya kemudian tes lagi. Dan itu hampir semua negatif kalau itu bukan COVID," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Kini, Kuwat patut berbangga, setelah melalui serangkaian uji klinis hingga uji diagnosis alat yang dikembangkan ini diterima dengan baik oleh berbagai pihak. Namun, tantangan tetap muncul.
Dalam sebuah zoom meeting, Kepala KSP Moeldoko menantang GeNose bisa diproduksi 30 ribu unit per bulan. Terkait hal itu Kuwat menjawab dengan singkat.
"Kalau sudah ada yang mendanai kita kerjakan. Karena kapasitas mampu. Kalau sekarang sekitar 10 ribu per bulan," tutur dia.
Ketua Tim Peneliti GeNose UGM, Profesor Kuwat Triyana. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Profil Singkat Prof Kuwat Triyana Penemu GeNose

Sekilas tentang Kuwat. Dilansir dari situs resmi UGM, Kuwat merupakan dosen pada Departemen Fisika FMIPA UGM sekaligus peneliti di Institute of Halal Industry and System (IHIS) UGM.
Dia menekuni kajian fisika material dan instrumental sejak 2008 dan telah menghasilkan berbagai produk inovasi. Produk inovasi yang dihasilkannya antara lain masker anti polusi asap dan bakteri berbahan nanofiber.
ADVERTISEMENT
Ada juga hidung elektronik untuk deteksi cepat kontaminasi zat berbahaya dalam makanan, kedaluwarsa produk makanan, serta kehalalan produk, dan lidah elektronik untuk autentikasi halal, deteksi keaslian dan kualitas produk secara cepat, akurat, dan portabel.
Lalu, mengembangkan GeNose alat deteksi COVID-19 lewat embusan napas dengan kemampuan mendeteksi Covid-19 dalam tubuh manusia dalam waktu cepat kurang dari dua menit.
Kuwat mengenyam pendidikan S-1 nya di UGM jurusan Fisika pada tahun 1986. Dia lulus di tahun 1991 dan langsung bekerja sebagai seismolog di salah satu perusahaan swasta di Jakarta dan dosen di University of Dian Nuswantoro.
Selang beberapa tahun kemudian, pada tahun 1995, dia melanjutkan studinya di ITB. Kuwat lulus dari ITB tahun 1997 dengan menghasilkan tesis berjudul Prototype of Pattern Recognition System in Electronic Nose based on Artificial Neural Network.
ADVERTISEMENT
Lulus dari ITB, Kuwat kemudian menjadi dosen di UGM. Dia tak puas dengan gelar S-2. Pada tahun 2001, dia kuliah mengambil gelar doktor di Kyushu University, Jepang.
Dilansir dari situ acadstaff.ugm.ac.id, ada sejumlah penelitian Prof Kuwat yang fokus terhadap artificial intelligence (AI) terkait 'Nose'.
Antara lain adalah Penentuan Laju Kerusakan Ikan Dengan Electronic Nose Terkopel Support Vector Machine (2018); dan Electronic Nose Terkopel Support Vector Regression untuk Penentuan Kadar Nikotin Rokok Elektrik (2019).