Sejarah: Pancasila Sudah Hidup di Sumatera Barat Sebelum RI Merdeka

3 September 2020 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kerajaan Pagaruyung, Sumatera / Istana "Istano Basa". Foto: flickr
zoom-in-whitePerbesar
Kerajaan Pagaruyung, Sumatera / Istana "Istano Basa". Foto: flickr
ADVERTISEMENT
Ketua DPR, Puan Maharani, seolah meragukan Pancasila bagi masyarakat Sumatera Barat, dengan mengungkap harapan semoga Sumbar jadi provinsi yang mendukung negara Pancasila.
ADVERTISEMENT
Tokoh Sumatera Barat, Buya Mas'oed Abidin, menilai ada pemahaman yang ahistoris mempertanyakan Pancasila kepada warga Minang. Sebab, nilai-nilai Pancasila sudah lama hidup di masyarakat Sumbar.
"Bukan orang Sumbar tak Pancasilais, tapi Pancasila sudah ada dalam hati orang Sumbar sejak lama sebelum merdeka. Keadilan sosial itu sudah diperjuangkan orang Sumbar saat Perang Padri menentang Belanda tidak adil," ucap Buya Mas'oed saat berbincang dengan kumparan, Kamis (3/9).
Perang Padri yang disebut Buya Masoed, terjadi di Sumatra Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1803-1838. Perang ini awalnya akibat masalah agama, kemudian menjadi peperangan melawan penjajahan (Belanda).
Buya Mas'oed juga menyebut Perang Belasting pada 15-16 Juni 1908 yang melibatkan rakyat Sumatera Barat melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang disebut melawan ketidakadilan. Perang bersenjata itu akibat penerapan pajak kepada masyarakat.
Pakaian adat Ketua DPR Puan Maharani Tengkuluk Bai Bai, Jambi. Foto: kumparan
"Perang Belasing 1908 itu karena tidak adil, maka perjuangan keadilan sudah dimiliki masyarakat Sumbar sebelum kemerdekaan," lanjut ulama berusia 85 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, penulis Ensiklopedi Minangkabau itu menjelaskan demokrasi Indonesia Pancasila yaitu musyawarah mufakat, sudah dilakoni masyarakat Minang sejak abad 12.
Ada pepatah yang diyakini yaitu Penghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, intinya pemimpin mengedepankan mufakat, dan mufakat itu berdasarkan kepada kebenaran, al-haq.
"Kebenaran itu yang tegak sendiri. Ini sudah ada sejak abad 12," tegasnya.
Nilai Pancasila lain yang dipegang masyarakat Sumbar adalah nilai-nilai toleransi, persatuan Indonesia. Menurut Buya Mas'oed, masyarakat Sumbar hidup berdampingan antarpemeluk agama.
Rumah Gadang Mirip Rumah Panggung Bila Dilihat Dari Depan Foto: Flickr / Peter Nijenhuis
"Di Sumbar banyak gereja, ada di Bukit Tinggi, Payakumbuh, Padang Panjang, Padang. 4 Daerah ada gereja sejak zaman Belanda, sampai sekarang belum satu buah batu pun melayang ke gereja. Jangankan dibakar, belum pernah melayang satu batu pun," paparnya.
ADVERTISEMENT
Pada 1947-1949, Buya Hamka pernah menjadikan gereja sebagai kantor komando untuk peperangan melawan Belanda. Namun setelah Belanda pergi, gereja itu diserahkan lagi kepada pendeta sebagaimana fungsi awalnya.
Hingga pada zaman kemerdekaan, tokoh-tokoh asal Sumbar terlibat dalam pembangunan sendi-sendi bernegara. Sebut saja Mohammad Yamin yang merumuskan Sumpah Pemuda.
"Mohammad Yamin dia tidak menyatakan diri orang Minang, tapi banggakan diri sebagai orang Indonesia. Karena nilai Pancasila sudah ada dalam kehidupan masyarakat Sumbar," ujar Buya Mas'oed.
Buya hamka. Foto: Wikipedia

Masyarakat Tak Suka PDIP

Buya Mas'oed lalu menanggapi kegelisahan Ketua Umum PDIP, Megawati, yang menyebut partai tak mendapat tempat di hati masyarakat Sumbar. Menurutnya, PDIP perlu memahami sejarah dan kultur masyarakat Minang.
"Kenapa PDIP tidak disukai orang Minang, orang Minang itu adalah orang yang cerdas dalam berpolitik. Nah, kecerdasan mereka tidak perlu diajarkan parpol," ucap Buya Mas'oed.
ADVERTISEMENT
"Lihat kemarin waktu Pemilu antara Jokowi dan Prabowo. Sumbar itu hanya sekian persen dari jumlah Indonesia. Tapi mereka (warga Sumbar) memilih yang akan kalah, aneh kan? Itu pelajaran bukan dari parpol, tapi dia sudah jenuh ingin yang baru. Makanya yang baru yang dipilih, bukan berarti tidak cinta PDIP," imbuhnya.
Buya Mas'oed menyarankan PDIP jika ingin diterima masyarakat Sumbar, dengan menyelami karakter masyarakat. Tidak bisa dengan pendekatan politik praktis.
"PDIP harus bertapa ke hati masyarakat, bukan sekadar ngomong sesuka hati," tuturnya.
"Kalau dia enggak berurat ke hati umat, orang mulai jenuh dengan partai karena sudah diperjualbelikan oleh orang, bukan partai yang jual diri," pungkasnya.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.
ADVERTISEMENT