Selama Pemilu 2019, Mabes Polri Terima 1.005 Laporan Hoaks

20 Agustus 2019 15:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemateri Focus Group Discussion HOAX dalam Pemilu 2019 bersama KPU di kantor KPU, Jakarta, Selasa (20/8). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemateri Focus Group Discussion HOAX dalam Pemilu 2019 bersama KPU di kantor KPU, Jakarta, Selasa (20/8). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mabes Polri merilis data terkait kejahatan siber selama pelaksanaan Pemilu 2019. Dari 2.800 laporan masyarakat seperti ujaran kebencian, hoaks, dan pengancaman, 1.005 laporan di antaranya berkaitan dengan Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
"Kami dari Direktorat Cyber seluruh Indonesia sudah terima kurang lebih 2.800 perkara siber selama 2018, di mana 35 persen dari perkara itu atau kurang lebih 1.005 perkara itu merupakan kasus-kasus yang berkaitan ujaran kebencian, hoaks, berita palsu, pengancaman," kata penyidik Dirsiber Mabes Polri, Kompol Ronald Sipayung, di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).
"Tren yang kita lihat, jumlah yang 1.005 hingga Juni lalu itu, sebagian besar sangat berkaitan erat dan berhubungan langsung dengan pesta demokrasi yang kita laksanakan," tambahnya.
Ilustrasi hoaks Foto: Shutterstock
Ronald menuturkan, berdasarkan hasil analisa Cyber Crime, penyebaran hoaks mulai mengalami peningkatan sejak November hingga Desember 2018. Bahkan, hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilpres, penyebaran hoaks di media sosial masih cukup signifikan.
ADVERTISEMENT
"Kita lihat mulai November-Desember 2018 itu sudah tampak tren peningkatan pada tahapan kampanye, sampai dengan putusan pun masih terjadi berkaitan kasus-kasus hoaks, ujaran kebencian, berita bohong, yang berkaitan dengan pemilu," ucap Ronald.
Menurutnya, penyebaran hoaks terkait Pemilu 2019 banyak ditemukan di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Meski masih ada, namun penyebaran hoaks dan laporan masyarakat mulai mengalami penurunan setelah putusan MK.
"Baru satu dua bulan ini terjadi penurunan signifikan. Jadi kita saat ini sudah tidak terlalu tidak disibukkan dengan kejadian-kejadian berkaitan dengan pemilu," tutur dia.
"Platform yang paling banyak digunakan untuk melakukan hal ini (hoaks), yang paling tinggi adalah FB (Facebook). Tadi disampaikan para narsum yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia, yang kedua Twitter, dan ketiga IG," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Upaya Penindakan dan Antisipasi Mabes Polri
Ronald menjelaskan, dari 1.005 laporan terkait Pemilu 2019 itu, sebagian besar sudah ditangani dan dilakukan penindakan hukum oleh Mabes Polri. Sebagai contoh, Mabes Polri telah menangkap penyebar hoaks soal 7 kontainer yang telah tercoblos.
"Berkaitan penindakan hukum, kita enggak asal melakukan tindakan hukum kepada orang yang tidak memiliki posisi atau peran yang penting. Contoh kasus kontainer itu yang ditangkap itu kreator, kemudian ada beberapa orang dibawah sekitar 5-6 orang itu adalah bagian lapis kedua yang memang menjalankan berperan menyebarkan," jelas Ronald.
"Kita juga membedakan bagaimana masyarakat yang hanya ikut-ikutan menyebarluaskan, kita perlakukan sama dengan orang yang sengaja menciptakan," lanjutnya.
Ilustrasi Surat Suara Foto: Antara/Darwin Fatir
Dalam upaya penegakan hukum, Ronald mengatakan, Mabes Polri hanya menindak tegas para pihak yang menjadi kreator. Sedangkan pihak yang hanya ikut menyebarkan atau simpatisan tidak dilakukan penangkapan.
ADVERTISEMENT
"Biasanya dalam kelompok mereka ini kita enggak dilakukan penindakan hukum. Mungkin kita panggil, kita lakukan pemeriksaan, kemudian kita pulangkan, kita kembalikan. Karena kita tahu peran mereka dalam perkara ini motifnya berbeda dengan yang memang sengaja meng-kreatorkan atau meneruskan berita bohong," tutur Ronald.
Lebih lanjut, pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan lembaga lain seperti Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta media platform untuk menghentikan peredaran informasi hoaks. Selain itu, Mabes Polri juga rutin melakukan patroli siber dan sosialisasi dengan kelompok masyarakat agar hoaks tidak semakin menyebar.
"Bagaimana kita bisa mencegah atau blokir supaya akun-akun atau pihak yang berusaha untuk menyebarluaskan ujaran kebencian, hoaks, dan berita bohong. Sehingga bisa secara tepat waktu, tak timbulkan dampak, efek, yang lebih luas ke masyarakat," pungkasnya.
ADVERTISEMENT