Seloroh Hakim MK Anwar Usman di Sidang Hak Cipta: Saya Gagal Jadi Aktor Terkenal

7 Agustus 2025 16:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Seloroh Hakim MK Anwar Usman di Sidang Hak Cipta: Saya Gagal Jadi Aktor Terkenal
Dalam persidangan itu, Anwar Usman juga sempat ngaku pernah dilatih oleh Ismail Soebardjo, salah satu sutradara besar Indonesia.
kumparanNEWS
Hakim Konstitusi Anwar Usman menghadiri sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024). Foto: ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Konstitusi Anwar Usman menghadiri sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024). Foto: ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bercerita gagal jadi aktor dalam persidangan soal hak cipta, dalam sidang lanjutan gugatan uji materi UU Hak Cipta, di Gedung MK, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Pada momen itu, Anwar ngaku sempat menekuni seni suara, teater, hingga film. Namun, ia gagal jadi aktor karena memilih fokus pada pendidikan.
"Beberapa sidang yang lalu saya juga menyampaikan bahwa saya penikmat seni, termasuk seni lagu. Bahkan, mohon maaf, saya juga pernah ikut teater, pernah ikut film juga di samping penyanyi," kata Anwar dalam persidangan, Kamis (7/8).
"Ya, bukan penyanyi profesional, karena saya memang lebih concern kepada sekolah, kuliah waktu itu. Sehingga saya gagal jadi aktor terkenal, hehehe," kata Anwar sedikit tertawa.
Anwar lalu bercerita pernah dilatih oleh Ismail Soebardjo, seorang sutradara besar Indonesia.
"Mungkin masih ingat Prof, sutradara terbaik Ismail Soebardjo, wah itu guru saya itu, dengan filmnya Perempuan dalam Pasungan," ucap Anwar.
ADVERTISEMENT
"Sutradara terbaik, kemudian aktor terbaik, Frans Tumbuan juga ikut dulu, Nungki Kusumastuti, ya termasuk ya Rano Karno itu juga anak buah Ismail Soebardjo dulu itu. Ya banyak lah," imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Anwar Usman kemudian mengaitkan dengan persoalan pembayaran royalti dalam UU Hak Cipta yang kini tengah diuji di MK.
Ia mengaku, sebagai salah satu penikmat seni, termasuk seni suara, masih belum mengetahui secara detail ihwal regulasi yang ada di dalam UU Hak Cipta. Khususnya, terkait pembayaran royalti saat menyanyikan sebuah lagu.
Dengan adanya polemik yang belakangan ramai dibahas terkait royalti tersebut, Anwar Usman kemudian bertanya kepada ahli yang dihadirkan dalam persidangan, Ahmad M. Ramli yang merupakan guru besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.
Ahmad M Ramli melakukan pengampunan pajak. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
"Nah, sekarang, bagaimana kira-kira menurut Prof dunia seni Indonesia tidak hilang dari bumi pertiwi ini? Artinya, pencipta, penyanyi juga dengan adanya regulasi misalnya, ya, mungkin tadi sudah disampaikan oleh Yang Mulia Prof Arief [Hidayat], regulasi lah yang menguntungkan semua pihak?" tanya Anwar Usman.
ADVERTISEMENT
"Bayangkan, misalnya Indonesia, apalagi kita negara kita ini tidak dalam baik-baik saja, tanpa ada seni yang menghibur?" sambung dia.
Terkait hal itu, Ahmad M. Ramli kemudian menekankan bahwa pendekatan yang mesti diambil adalah kolaborasi dan persuasi dengan semua pihak, terkhusus dengan pengguna dan penikmat lagu.
"Bagaimana agar dunia seni ini tidak hilang dari Indonesia, saya juga melihat bahwa membangun kolaborasi, persuasi itu jauh lebih penting. Oleh karena itu pendekatan dari awal yang kita lakukan adalah bukan kriminalisasi, tetapi monetisasi dan remunerasi," tutur Ramli.
"Karena apa? Ketika kita pendekatannya tidak remuneratif, maka kita akan kehilangan pasar kita. Jadi, pasar kita yang sesungguhnya itu adalah para pengguna itu," terangnya.

Sekilas Persoalan Uji Materi UU Hak Cipta

Adapun gugatan uji materi UU Hak Cipta tersebut dilayangkan oleh sejumlah musisi antara lain; Bernadya, Nadin Amizah, Raisa Andriana, Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, hingga Nazril Irham atau akrab disapa Ariel.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonannya, mereka mengajukan pengujian materi Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para penyanyi dan pencipta musik ini menyadari adanya isu hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan hak konstitusionalnya dalam norma yang diuji tersebut.
Pasal 9 ayat (3) berbunyi, "Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan."
Kemudian, Pasal 23 ayat (5) berbunyi, “Setiap Orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."
ADVERTISEMENT
Berikutnya, Pasal 81 berbunyi, "Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (21)."
Pasal 87 ayat (1) berbunyi, "Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial."
Pasal 113 ayat (2) berbunyi, "Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
Ilustrasi hak cipta. Foto: Shutter Stock
Para Pemohon menjelaskan bahwa permohonan ini berangkat dari beberapa kasus yang menimpa sejumlah musisi.
ADVERTISEMENT
Misalnya yang dialami Agnes Monica atau lebih dikenal Agnezmo. Agnezmo digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, pencipta dari lagu “Bilang Saja”. Sebab, Agnezmo dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias.
Musisi lainnya yang terkena permasalahan yang serupa ialah grup band The Groove, Sammy Simorangkir, dan Once Mekel yang harus meminta izin secara langsung dan membayar royalti yang tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Para Pemohon menjelaskan, seperti halnya dengan penggunaan hak-hak ekonomi lainnya oleh orang lain dengan seizin pencipta, dalam penggunaan hak ekonomi pertunjukannya (performing rights), pencipta tetap berhak untuk mendapatkan imbalan yang wajar berupa royalti.
Meski penggunaan hak ekonomi pertunjukan tersebut dinilai dapat dilakukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta. Royalti tersebut harus dibayarkan oleh pengguna melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
ADVERTISEMENT
Konsisten dengan ketentuan di mana royalti untuk menggunakan hak ekonomi pertunjukan (performing rights) dibayarkan melalui mekanisme LMK.
Konsekuensi dari keanggotaan dalam LMK adalah beralihnya wewenang pengelolaan hak ekonomi kepada LMK yang melekat pada lembaga tersebut. Karena itu, dalam setiap tindakan hukum terkait pengelolaan, maupun penegakan hak ekonomi atas karya cipta, pencipta sudah memberikan izin digunakan ciptaannya dalam suatu pertunjukan (performing) pada saat pencipta tersebut menjadi seorang anggota LMK.
Menurut para Pemohon, sistem blanket license yang diterapkan di Indonesia sangat masuk akal. Sebab, untuk memaksimalkan nilai ekonomi, sangat tidak mungkin bagi pencipta untuk mengawasi semua pertunjukan musik yang diadakan di Indonesia.
Apalagi untuk menagih royalti performing rights satu persatu dari penggunaan yang mungkin terjadi ratusan hingga ribuan kali di waktu yang bersamaan di seluruh dunia. Dengan diterapkannya sistem blanket license tersebut, para Pemohon menilai tata kelola penghimpunan dan pendistribusian royalti dapat dilaksanakan secara berkeadilan dan berkepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Apalagi untuk menagih royalti performing rights satu persatu dari penggunaan yang mungkin terjadi ratusan hingga ribuan kali di waktu yang bersamaan di seluruh dunia. Dengan diterapkannya sistem blanket license tersebut, para Pemohon menilai tata kelola penghimpunan dan pendistribusian royalti dapat dilaksanakan secara berkeadilan dan berkepastian hukum.
Namun, pada realitanya, para Pemohon menyebut bahwa apa yang diamanatkan dalam UU Hak Cipta belum dapat terwujud karena masih banyak timbul polemik dan gejolak. Khususnya terkait sistem perizinan dan royalti sebagai akibat dari inkonsistensi dalam pelaksanaan undang-undang dan/atau kekeliruan dalam penafsirannya.